KABARBURSA.COM - Harga batu bara dunia kembali tergelincir pada Kamis, 4 September 2025, setelah pemerintah India mengumumkan revisi aturan pajak yang secara langsung menekan permintaan impor.
Berdasarkan data Refinitiv, harga batu bara di pasar global ditutup di level USD109,75 per ton, turun tipis 0,09 persen. Angka ini berbalik arah setelah sehari sebelumnya sempat menguat 0,14 persen, menandakan pasar kini semakin dibayangi faktor struktural baru dari salah satu konsumen batu bara terbesar dunia.
Kebijakan India menjadi pemicu utama pelemahan harga. Pemerintah menaikkan pajak konsumsi batu bara domestik dari 5 persen menjadi 18 persen, tetapi sekaligus menghapus pungutan karbon tetap sebesar INR 400 per ton metrik.
Perubahan formula pajak ini justru membuat harga batu bara lokal lebih kompetitif dibandingkan impor, sebab hilangnya beban cess lebih besar daripada kenaikan pajak konsumsi. Dampaknya, bagi pembangkit listrik maupun industri seperti peleburan logam, harga batu bara domestik turun signifikan antara 5 persen hingga hampir 20 persen dibandingkan kondisi sebelumnya.
Bagi Indonesia, langkah India ini jelas membawa konsekuensi pahit. Sebagai pemasok utama batu bara termal untuk India, berkurangnya selisih harga antara batu bara lokal dan impor akan langsung menekan volume ekspor.
Investor dan pelaku pasar sudah mengantisipasi melemahnya permintaan dari India, yang selama ini menjadi salah satu jangkar perdagangan batu bara global. Situasi ini menambah tekanan pada harga internasional yang sebelumnya sudah melemah akibat kombinasi faktor perlambatan permintaan listrik di Asia, meningkatnya kapasitas energi terbarukan, serta volatilitas harga energi dunia.
Efisiensi atau Hidupkan Kembali Coal India?
Para analis menilai kebijakan India bukan hanya soal efisiensi fiskal, melainkan strategi untuk menghidupkan kembali Coal India, perusahaan milik negara yang menyumbang sekitar 75 persen produksi nasional.
Dengan biaya yang lebih rendah, Coal India berpotensi meningkatkan penjualan yang sempat tertekan oleh permintaan listrik lemah dan persaingan energi surya. Bahkan, kalkulasi Moody’s ICRA menunjukkan bahwa langkah ini dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik berbahan bakar batu bara sebesar INR 0,12 per kilowatt hour.
Meski begitu, apakah penurunan ini akan dirasakan langsung konsumen masih bergantung pada kebijakan perusahaan distribusi listrik di India, banyak di antaranya masih berjuang dengan tumpukan utang.
Di sisi lain, perbandingan dengan energi terbarukan semakin jelas. Penurunan tarif pajak panel surya ke 5 persen membuat biaya listrik tenaga surya juga turun, meski hanya sekitar INR 0,10 per kWh. Artinya, sekalipun India berupaya memperbaiki daya saing batu bara lokal, dorongan menuju transisi energi tetap berlangsung.
Hal ini menimbulkan sentimen ganda di pasar, di satu sisi harga batu bara domestik India turun dan mengurangi permintaan impor, di sisi lain tren jangka panjang menunjukkan bauran energi negara itu akan semakin condong ke sumber terbarukan.
Pasar global merespons perkembangan ini dengan kehati-hatian. Harga batu bara internasional melemah tipis, tetapi tren jangka menengah tampak rentan jika permintaan dari India terus menyusut.
Sebagai eksportir utama, Indonesia, Australia, dan Afrika Selatan berpotensi menghadapi tekanan serius pada pendapatan ekspor. Pada akhirnya, kombinasi kebijakan fiskal India, tren energi terbarukan, dan melemahnya permintaan global menjadi penentu utama arah harga batu bara dunia dalam beberapa bulan ke depan.
Saat ini, sentimen jelas condong ke arah negatif, menandakan bahwa reli harga batu bara akan semakin sulit berlanjut tanpa katalis baru.(*)