KABARBURSA.COM - Pemerintah India kemarin, 28 September 2024, mengumumkan pelonggaran kebijakan ekspor beras non-basmati. Langkah tersebut diambil menstabilkan harga di pasar global sekaligus mengatasi kelebihan pasokan domestik. Pemerintah India menetapkan harga minimum ekspor sebesar USD490 per ton (sekitar Rp7.411.176 per ton) untuk beras putih non-basmati. Tidak hanya itu, pajak penjualan ekspor beras parboiled juga dipangkas dari 20 persen menjadi 10 persen.
Sejak 2022, India telah menerapkan berbagai pembatasan ekspor beras untuk melindungi keamanan pangan dalam negeri dan mengendalikan inflasi. Kebijakan tersebut terbukti efektif dalam menjaga stabilitas harga beras domestik, namun juga menyebabkan lonjakan harga beras di Asia, yang mencapai level tertinggi sejak 2008. Dengan stabilnya harga domestik dan kelebihan pasokan yang terdeteksi, pemerintah India merasa perlu untuk membuka kembali ekspor beras.
Data dari Departemen Pertanian AS menunjukkan bahwa India kini menghadapi kelebihan pasokan beras, yang telah mendorong pelonggaran kebijakan ini. Ekspor beras India tercatat turun hampir 25 persen selama empat bulan pertama tahun fiskal 2024, mencapai 5,26 juta ton. Pembukaan kembali ekspor ini diharapkan dapat menguntungkan negara-negara pengimpor, termasuk Indonesia dan Senegal, dengan menurunkan biaya impor.
Peluang Impor Beras untuk Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang diperkirakan akan mengambil manfaat dari pelonggaran kebijakan ekspor beras non-basmati India. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia masih melakukan impor beras yang cukup besar. Pada Januari hingga Agustus 2024, total impor beras Indonesia mencapai 3,05 juta ton dengan nilai USD1,91 miliar, yang menyumbang 1,05 persen dari total nilai impor non-migas Indonesia.
Dari data tersebut, impor beras pada bulan Agustus 2024 tercatat sebanyak 202,66 ribu ton, menurun dibandingkan bulan Juli 2024 yang mencapai 208,80 ribu ton, serta dibandingkan Agustus 2023 yang mencapai 259,17 ribu ton.
Adapun tiga negara penyedia utama beras untuk Indonesia adalah:
- Thailand: 1,13 juta ton dengan nilai USD734,78 juta.
- Vietnam: 870 ribu ton dengan nilai USD542,86 juta.
- Pakistan: 460 ribu ton dengan nilai USD290,56 juta.
Dengan pelonggaran ekspor India, Indonesia dapat meningkatkan porsi beras yang diimpor dari India. Beras non-basmati India dikenal dengan kualitasnya yang baik dan harga yang bersaing, yang dapat menjadi alternatif untuk beras yang diimpor dari negara-negara lain.
Lalu, kenapa Indonesia harus mengimpor beras?
Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan, produksi beras di Indonesia selalu mengalami fluktuasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti krisis iklim, semakin berkurangnya lahan pertanian, dan kondisi tanah serta akses pengairan. Produksi padi pada periode Januari-April 2024 juga turun 17,54 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu,saat mencapai 22,55 juta ton.
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Bustanul Arifin, menjelaskan bahwa perubahan iklim, berkurangnya lahan pertanian, dan penurunan faktor produksi lainnya seringkali menghambat pencapaian target produksi. Oleh karena itu, dibutuhkan sumber penyediaan lain sebagai solusi untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan beras di pasar.
Namun, dari suatu kebijakan ada saja hal yang dibuat rugi, yaitu petani lokal dan emiten terkait. Jika harga beras impor lebih rendah daripada harga beras lokal, ini dapat memicu penurunan harga di pasar domestik. Akibatnya, petani lokal mengalami kesulitan dalam menjual hasil panen mereka, yang dapat berdampak pada pendapatan dan keberlangsungan usaha pertanian di Indonesia.
Jika dilihat dari emiten terkait, PT Wahana Inti Makmur Tbk dengan kode emiten NASI, sangat terdampak. Berdiri di tengah persaingan ketat industri, NASI adalah perusahaan yang terdaftar dengan kapitalisasi pasar sebesar 68 triliun dan nilai enterprise mencapai 79 triliun. Dengan jumlah saham beredar mencapai 807,4 juta, perusahaan ini berfokus pada pengembangan dan inovasi yang berkelanjutan, meskipun menghadapi tantangan dari pasar.
Mengutip data Stockbit, Minggu, 29 September 2024, perdagangan saham NASI per Jumat,27 September turun sebesar 4 poin, atau -4,55 persen. Saham dibuka pada harga Rp88, menunjukkan bahwa terdapat penurunan nilai sepanjang hari perdagangan.
Volume perdagangan (Lot) NASI tercatat sebanyak 57 ribu lot dengan frekuensi perdagangan 690, yang menunjukkan bahwa ada banyak aktivitas perdagangan selama periode ini. Untuk frekuensi beli (F Buy) terlihat cukup tinggi, yaitu 1,9 juta dengan frekuensi jual (F Sell) 662,2 ribu. Ini menunjukkan bahwa jumlah saham yang dijual jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang dibeli.
Dari perdagangan tersebut, nilai transaksi yang berhasil dikumpulkan pada hari itu sebesar Rp486,6 juta.
Laporan keuangan terbaru menunjukkan bahwa NASI mencatatkan total pendapatan sebesar Rp91 triliun untuk TTM (Trailing Twelve Months), dengan pertumbuhan pendapatan kuartalan sebesar 25,23 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Jika kita lihat lebih dekat, pertumbuhan pendapatan kuartalan untuk Q1 2024 mencapai 190 miliar, meningkat dari Rp213 miliar pada periode yang sama tahun lalu, dan di Q2 2024, pendapatan mencapai Rp166 miliar, yang merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan 90 miliar pada Q2 2023.
Profitabilitas dan Margin NASI
Pendapatan yang terus meningkat juga diikuti dengan perbaikan dalam margin profitabilitas. Margin laba kotor perusahaan untuk kuartal terakhir adalah 14,36 persen, sementara margin laba operasi mencapai 2,60 persen. Ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya tumbuh dalam hal pendapatan, tetapi juga dalam hal efisiensi operasional, yang merupakan salah satu prinsip investasi Buffett: fokus pada perusahaan yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga mengelola biaya dengan baik.
Kualitas dan Nilai
Warren Buffett dikenal dengan filosofi investasinya yang berfokus pada perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif dan potensi pertumbuhan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, NASI menunjukkan beberapa aspek yang sejalan dengan pendekatan tersebut:
- Keunggulan Kompetitif: Meskipun dihadapkan pada tantangan industri, NASI tetap menunjukkan pertumbuhan pendapatan yang stabil. Hal ini menunjukkan adanya keunggulan kompetitif yang memungkinkan perusahaan untuk bertahan dan berkembang dalam pasar yang kompetitif.
- Stabilitas Keuangan: Dengan total aset mencapai Rp78 triliun dan total liabilitas sebesar Rp18 triliun, NASI memiliki posisi keuangan yang solid. Rasio utang terhadap ekuitas yang rendah (0,19) menunjukkan bahwa perusahaan tidak terlalu bergantung pada utang untuk pendanaan, yang meningkatkan daya tarik investasi.
- Pengelolaan yang Baik: Dengan rasio likuiditas (current ratio) sebesar 3,16 dan quick ratio 2,43, perusahaan menunjukkan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban jangka pendek. Hal ini sejalan dengan prinsip Buffett untuk berinvestasi pada perusahaan yang dikelola dengan baik dan memiliki stabilitas finansial.
Peluang Masa Depan
Dengan adanya kelebihan pasokan beras yang terjadi saat ini, langkah pemerintah India yang membuka kembali ekspor beras non-basmati memberikan peluang bagi perusahaan seperti NASI untuk meningkatkan volume penjualan. Terutama, Indonesia sebagai salah satu importir besar beras dapat memanfaatkan harga yang lebih kompetitif di pasar global. Jika NASI dapat menangkap peluang ini dengan baik, pertumbuhan pendapatan dapat terus berlanjut.
Dalam jangka panjang, diversifikasi produk dan inovasi dalam proses produksi juga dapat menjadi strategi penting bagi NASI untuk meningkatkan daya saingnya dan memperluas pangsa pasar.
Berdasarkan analisis di atas, NASI menunjukkan pertumbuhan pendapatan yang kuat dengan potensi pertumbuhan yang menjanjikan di masa depan. Pendekatan investasi Warren Buffett yang berfokus pada keunggulan kompetitif, stabilitas keuangan, dan pengelolaan yang baik dapat diterapkan untuk menilai kelayakan investasi pada perusahaan ini.
Dengan memanfaatkan peluang di pasar global, NASI berpotensi untuk menjadi salah satu pemain kunci di industri beras, yang akan berkontribusi pada pertumbuhan berkelanjutan dan nilai bagi pemegang saham.(*)