KABARBURSA.COM — Sengketa dagang antara Indonesia dan Uni Eropa (UE) memasuki babak penting setelah dua putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam kasus ekspor stainless steel dan biodiesel berpihak pada Indonesia. Meski demikian, UE dinilai belum menunjukkan komitmen penuh untuk mematuhi hasil keputusan panel tersebut.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan menegaskan dorongan agar UE segera mengadopsi putusan Panel Sengketa DS618 WTO terkait kebijakan countervailing duties (CVD) biodiesel asal Indonesia. Panel yang diumumkan pada 26 September 2025 itu menyatakan kebijakan bea masuk imbalan UE telah melanggar aturan perdagangan internasional.
“Keputusan UE untuk mengajukan banding terhadap putusan Panel Sengketa DS618 tidak relevan. Proses pengambilan keputusan panel telah dilakukan sesuai prosedur, serta dipimpin panelis berpengalaman dan kredibel. Langkah banding ini kurang sejalan dengan semangat penguatan hubungan ekonomi,” tegas Menteri Perdagangan Budi Santoso di Jakarta, dikutip Senin, 6 Oktober 2025.
UE diketahui menuduh Indonesia memberikan subsidi ilegal yang menyebabkan ancaman kerugian material bagi industri biodiesel Eropa. Berdasarkan tuduhan tersebut, sejak November 2019, UE mengenakan bea masuk imbalan sebesar 8–18 persen terhadap biodiesel asal Indonesia. Pemerintah Indonesia kemudian menggugat langkah tersebut ke WTO pada Agustus 2023. Dua tahun berselang, pada Agustus 2025, Panel WTO resmi memenangkan Indonesia dalam kasus DS618.
Menteri Perdagangan menegaskan, pemerintah menghormati hak prosedural UE untuk mengajukan banding. Namun, banding itu diajukan ke Badan Banding WTO yang saat ini tidak berfungsi akibat blokade Amerika Serikat terhadap pengisian keanggotaan, sehingga tidak ada kuorum untuk memproses perkara banding.
“Banding memang hak setiap anggota WTO. Namun, langkah UE ini bisa dipandang sebagai upaya mengulur waktu. Karena itu, Indonesia mendorong UE bekerja sama secara konstruktif, mengadopsi putusan panel, serta turut mengatasi kelumpuhan sistem penyelesaian sengketa WTO,” ujar Budi Santoso.Ia menambahkan, pemerintah akan menempuh langkah strategis untuk mengamankan dan memperluas akses pasar biodiesel ke UE.
Sementara, Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai kepatuhan terhadap putusan WTO bukan hanya soal teknis hukum, tetapi menyangkut integritas dan konsistensi kebijakan Eropa dalam sistem perdagangan global.
“Uni Eropa selalu menempatkan diri sebagai penjaga tatanan berbasis aturan. Kini saatnya mereka membuktikan itu bukan sekadar slogan,” ujar Syafruddin.
Menurutnya, mematuhi keputusan WTO akan memberi tiga keuntungan strategis bagi UE. Pertama, kepastian hukum bagi pelaku usaha, terutama produsen dan importir yang membutuhkan stabilitas kebijakan dalam merancang investasi jangka panjang.
“Kepastian aturan menekan biaya ketidakpastian dan memperkuat prediktabilitas yang selalu dikampanyekan UE,” katanya.
Kedua, lanjut Syafruddin, reputasi Eropa sebagai “normative power” akan tetap terjaga. Jika UE mengabaikan putusan WTO, dunia akan melihat adanya standar ganda dalam praktik kebijakan perdagangannya.
“Ketika Eropa menuntut kepatuhan dari negara lain, mereka juga harus konsisten menaatinya,” tegasnya.
Ketiga, kepatuhan terhadap putusan WTO akan memperkuat multilateralisme global. Sistem penyelesaian sengketa WTO hanya dapat berfungsi efektif bila semua anggota menghormati hasilnya, termasuk ketika keputusan itu tidak menguntungkan pihak tertentu.
“Kalau Eropa memperpanjang proses banding tanpa solusi, itu justru memperburuk iklim investasi dan melemahkan kredibilitas mereka di mata mitra dagang,” ujar Syafruddin menambahkan.
Peluang Baru bagi Indonesia
Bagi Indonesia, putusan WTO menjadi momentum penting memperluas ekspor untuk bidang stainless steel dengan akses pasar yang lebih bersih dari hambatan dagang. Namun, Syafruddin mengingatkan bahwa keberhasilan ekspor tetap bergantung pada kemampuan memenuhi standar teknis dan keberlanjutan yang makin ketat di pasar Eropa.
“Indonesia harus siap dengan produk yang memenuhi standar lingkungan dan efisiensi energi. Kita tidak boleh terlena dengan kemenangan hukum semata,” ujarnya.
Di sisi lain, jika UE menaati putusan WTO, industri Eropa sendiri akan diuntungkan. Pasokan bahan baku yang lebih stabil akan menurunkan biaya produksi sektor hilir seperti otomotif dan peralatan rumah tangga. Konsumen pun akan menikmati harga yang lebih kompetitif.
“Rantai pasok yang efisien justru memperkuat daya saing industri Eropa. Ini sejalan dengan semangat mereka untuk ekonomi hijau dan inovatif,” tutur Syafruddin.
Transisi Tanpa Pelanggaran
Syafruddin juga menilai kekhawatiran UE terhadap dampak sosial ekonomi dari penurunan proteksi sebenarnya bisa diatasi melalui kebijakan transisi yang sesuai aturan WTO.
“Dukungan riset, efisiensi energi, dekarbonisasi, atau peningkatan keterampilan tenaga kerja adalah instrumen sah. Itu cara yang benar untuk memperkuat industri, bukan dengan menutup perdagangan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa langkah UE untuk mematuhi putusan WTO justru akan menunjukkan bahwa rule of law benar-benar menjadi kompas kebijakan, bukan sekadar jargon diplomatik.
“Mematuhi putusan, mengoreksi kebijakan, dan memperkuat sistem perdagangan global akan menjaga reputasi Eropa,” ucap Syafruddin.
Indonesia, tambahnya, siap menyambut kompetisi yang adil dan terbuka. Putusan WTO memberikan dasar kuat bagi Indonesia untuk mempercepat industrialisasi bernilai tambah, terutama di sektor logam dan manufaktur berorientasi ekspor.
“Kemenangan sejati bukan saat kita menangkan gugatan, tapi ketika semua pihak menghormati hukum dan berdagang secara setara,” kata Syafruddin.(*)