Logo
>

Indonesia Gabung BRICS: Cara Prabowo Lawan Donald Trump?

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Indonesia Gabung BRICS: Cara Prabowo Lawan Donald Trump?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Di tengah ancaman sanksi Amerika Serikat terhadap negara-negara yang menggunakan mata uang lokal selain dolar, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dinilai memicu respons positif dari pasar.

    Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi menilai, keputusan bergabung dengan BRICS merupakan cara Prabowo menunjukkan keberanian terhadap dominasi Amerika Serikat (AS) usai Donald Trump kembali terpilih.

    “Setelah Trump terpilih, dia mengeluarkan pernyataan bahwa negara mana pun, baik anggota BRICS maupun lainnya, yang tidak menggunakan dolar sebagai alat transaksi akan dikenakan sanksi 100 persen. Ini menciptakan gejolak yang luar biasa," ujar Ibrahim kepada kabarbursa.com, pada Senin, 13 Januari 2025.

    Menurutnya, ancaman tersebut sempat memicu ketakutan di kalangan investor global, terutama karena Trump juga mengumumkan kebijakan perang dagang dengan berbagai negara.

    Trump menyatakan bakal memulai perang dagang dengan China, Kanada, Meksiko dan Eropa. Selain negara tersebut, negara yang memiliki surplus perdagangan seperti Taiwan dan Vietnam juga tak lolos dari tarif tinggi.

    Ibrahim menilai Prabowo memiliki cukup keberanian dengan bergabung dengan BRICS. Menurutnya, langkah ini merupakan simbol ketegasan dalam mendukung perdagangan global yang lebih inklusif dan tidak bergantung kepada dolar.

    “Keputusan ini membuat pasar optimis. Investor melihat Indonesia tidak gentar menghadapi ancaman Trump dan justru mengambil langkah strategis untuk memperkuat posisinya di panggung ekonomi global,” ungkapnya.

    Ia juga melihat langkah Indonesia masuk BRICS sebagai strategi menghadapi gejolak geopolitik yang melibatkan Timur Tengah dan Eropa. Menurutnya, selama ini Trump memanfaatkan isu-isu tersebut sebagai alat kampanye dengan janji menyelesaikan konflik usai dirinya dilantik.

    Meski gejolak politik dan ekonomi ini memperkuat dolar, namun ia melihat pasar Indonesia justru kian bergairah karena investor menilai apa yang dilakukan Prabowo adalah menjaga stabilitas ekonomi domestik.

    Keinginan Sejak Era SBY

    Wacara pemerintah untuk gabung ke poros ekonomi BRICS sudah mencuat sejak era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Wacana ini terus bergulir hingga masa Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, selama dua dekade tersebut, Indonesia menghadapi berbagai kendala untuk bergabung sebagai anggota resmi.

    “Sejak zaman SBY, baik di periode pertama maupun kedua, isu BRICS sudah kencang sekali. Begitu pula pada masa Jokowi. Namun, persyaratan untuk masuk sebagai anggota BRICS sangat berat. Ekonomi harus stabil dan tumbuh di angka 5 persen ke atas, baru bisa bergabung,” jelasnya.

    Ia mengingatkan, pada era SBY, wacana BRICS muncul di tengah tekanan ekonomi, termasuk pelemahan nilai tukar rupiah akibat penguatan dolar AS. Pada saat itu, gagasan menggunakan mata uang lokal sebagai alat transaksi bilateral muncul sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan pada dolar.

    “Saya masih ingat banyak sekali pernyataan dari mantan Presiden ke-6 tentang BRICS, apalagi saat itu terjadi krisis ekonomi akibat dolar yang begitu kuat. Ada secercah harapan untuk menggunakan mata uang lokal,” ujarnya.

    Memasuki era Presiden Jokowi, wacana bergabung dengan BRICS semakin menguat, meski Indonesia belum menjadi anggota resmi. Ibrahim mencatat, langkah konkret masuk BRICS mulai dilakukan dengan penerapan transaksi bilateral menggunakan mata uang lokal, terutama dengan mitra dagang utama seperti Tiongkok, Jepang, dan negara-negara ASEAN.

    “Perdagangan terbesar Indonesia menggunakan rupiah itu dengan Tiongkok. Selain itu, kita juga melakukan transaksi dengan Jepang, Korea, dan ASEAN menggunakan mata uang lokal,” ungkapnya.

    Namun, menurut Ibrahim, mata uang lokal masih belum mampu menandingi dominasi dolar AS. Bahkan saat pandemi Covid-19, dolar terus menunjukkan kekuatannya, mencapai puncaknya pada momen Lebaran dengan nilai tukar rupiah yang melemah hingga Rp16.000 per dolar AS.

    Meski negara-negara anggota BRICS telah menggunakan mata uang lokal, namun menurutnya porsinya belum signifikan melawan kedigdayaan dolar dan presentasenya masih sekitar 30-40 persen.

    Tantangan Setelah Gabung BRICS

    Bergabung dengan BRICS membawa harapan besar untuk memperkuat posisi ekonomi Indonesia di kancah global, termasuk diversifikasi mata uang dalam transaksi internasional.

    “Meskipun mata uang rupiah belum kuat, tapi Indonesia sudah mulai melaiukan ekspor impor dengan negara-negara tetangga dengan menggunakan mata uang lokal,” terangnya

    Namun, Ibrahim menekankan bahwa pasar akan terus memantau apakah langkah ini benar-benar efektif mengurangi ketergantungan pada dolar AS.

    “Ini bukan hanya soal bergabung dengan BRICS, tapi juga bagaimana Indonesia bisa meningkatkan daya saing ekonomi dan memastikan mata uang lokal lebih berdaya di tengah dominasi dolar,” ujarnya. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.