KABARBURSA.COM - Data inflasi per November 2024 menunjukkan adanya tekanan harga yang signifikan di berbagai sektor. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa tingkat inflasi year on year (yoy) pada bulan November tercatat sebesar 1,55 persen, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) mencapai 106,33.
"Angka ini menunjukkan kenaikan dari 104,71 pada November 2023, menandakan tantangan yang semakin besar bagi daya beli masyarakat," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, Senin, 2 Desember 2024.
Amalia menambahkan, berdasarkan data BPS, inflasi yoy dipengaruhi oleh kenaikan harga pada sebagian besar kelompok pengeluaran. Kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya mencatatkan inflasi tertinggi, yaitu 7,26 persen, diikuti oleh kelompok pendidikan dengan kenaikan 1,89 persen. Kelompok lainnya yang mengalami kenaikan signifikan meliputi kelompok makanan, minuman, dan tembakau (1,68 persen), serta kelompok kesehatan (1,65 persen).
"Komoditas-komoditas utama yang menyumbang inflasi yoy meliputi beras, bawang merah, bawang putih, tomat, daging ayam ras, ikan segar, dan minyak goreng," tutur Amalia. Bahkan, harga rokok dan tembakau juga mengalami lonjakan, yang turut menambah beban konsumen.
Sebaliknya, ada beberapa kelompok yang mengalami penurunan harga, seperti kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan yang mengalami deflasi sebesar 0,28 persen. Penurunan harga juga terjadi pada komoditas cabai merah, cabai rawit, dan beberapa jenis sayuran yang mengalami deflasi yoy.
Untuk tingkat inflasi month to month (mtm), November 2024 tercatat mengalami kenaikan sebesar 0,30 persen, menunjukkan bahwa harga di bulan tersebut mengalami kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan inflasi year to date (ytod) mencapai 1,12 persen, mengindikasikan tren inflasi yang relatif terkendali di sepanjang tahun 2024, meskipun masih menunjukkan tekanan yang perlu diwaspadai.
Tingkat inflasi komponen inti juga menunjukkan tren yang signifikan. Inflasi yoy komponen inti tercatat sebesar 2,26 persen, dengan inflasi mtm sebesar 0,17 persen, dan inflasi ytd mencapai 2,09 persen. Ini menunjukkan bahwa tekanan inflasi lebih kuat dirasakan pada komponen harga yang mencakup barang dan jasa yang tidak tergolong dalam bahan pangan bergejolak.
Di tingkat provinsi, Papua Tengah tercatat sebagai wilayah dengan inflasi yoy tertinggi, mencapai 4,35 persen dengan IHK sebesar 110,39. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga di berbagai komoditas penting, yang berdampak pada biaya hidup masyarakat di daerah tersebut.
"Di sisi lain, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat inflasi yoy terendah dengan angka hanya 0,22 persen dan IHK sebesar 103,58, menunjukkan stabilitas harga yang relatif lebih baik," ujar dia, menambahkan.
Sementara itu, di tingkat kabupaten/kota, Kabupaten Nabire menjadi yang tertinggi dengan inflasi yoy mencapai 4,48 persen (IHK 110,75), sedangkan Kabupaten Muara Enim mencatat inflasi terendah dengan angka 0,08 persen dan IHK 108,43. Ada pula catatan deflasi di Kabupaten Timor Tengah Selatan sebesar 1,54 persen (IHK 104,77) dan di Tanjung Pandan sebesar 0,09 persen (IHK 105,29), menandakan adanya penurunan harga di daerah tersebut.
Kondisi inflasi yang terus meningkat ini menambah tantangan bagi perekonomian Indonesia. Kenaikan harga barang dan jasa mempengaruhi daya beli masyarakat, terutama di tengah pemulihan pasca-pandemi. Terlebih lagi, kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya yang mengalami lonjakan harga hingga 7,26 persen menunjukkan bahwa tekanan inflasi ini tidak hanya terfokus pada kebutuhan dasar, tetapi juga pada layanan dan barang konsumsi yang lebih spesifik.
Untuk mengatasi masalah ini, para pemangku kebijakan diharapkan dapat menyesuaikan langkah-langkah kebijakan moneter dan fiskal yang responsif. Perhatian terhadap distribusi barang dan pengendalian harga menjadi krusial untuk memastikan daya beli masyarakat tetap terjaga, serta mengurangi dampak inflasi pada sektor-sektor ekonomi yang paling rentan.
Dengan data ini, terlihat jelas bahwa inflasi yang terjadi bukan hanya soal angka, tetapi berimplikasi langsung pada perekonomian masyarakat. Dalam menghadapi potensi lonjakan lebih lanjut, diperlukan koordinasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk menciptakan strategi yang dapat mengurangi dampak inflasi serta menjaga stabilitas ekonomi.
Inflasi yang tercatat sebesar 1,55 persen yoy dengan angka Indeks Harga Konsumen (IHK) di 106,33 menunjukkan adanya tekanan harga yang signifikan, terutama dalam sektor-sektor penting seperti perawatan pribadi, pendidikan, makanan, dan kesehatan. Ini tentu mempengaruhi performa sejumlah emiten di pasar saham.
1. Sektor Konsumer dan Ritel
Emiten-emiten besar di sektor konsumer seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) akan menghadapi peningkatan harga bahan baku dan distribusi dapat menyebabkan biaya operasional yang lebih tinggi, yang dapat mempengaruhi margin laba.
Kenaikan harga barang dan jasa yang melibatkan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya, dengan inflasi yang mencapai 7,26 persen, menambah tekanan pada konsumen dan dapat mempengaruhi penjualan.
2. Sektor Kesehatan
Emiten seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) berpotensi mengalami dampak dari inflasi pada biaya bahan baku dan produksi obat-obatan serta produk kesehatan. Inflasi pada sektor kesehatan sebesar 1,65 persen berpotensi menyebabkan lonjakan biaya produksi yang dapat mempengaruhi margin keuntungan perusahaan. Namun, permintaan untuk produk kesehatan cenderung tidak terlalu elastis, sehingga perusahaan dapat menyesuaikan harga dengan risiko yang lebih rendah.
4. Sektor Pendidikan
Emiten yang terlibat dalam sektor pendidikan, seperti PT Educare Indonesia Tbk (EDUC), dapat menghadapi peningkatan biaya yang berhubungan dengan inflasi pada kelompok pendidikan sebesar 1,89 persen. Kenaikan harga bahan baku, serta biaya tenaga kerja dan pemeliharaan fasilitas pendidikan, dapat mengurangi margin keuntungan. (*)