KABARBURSA.COM - Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dihimpun sektor perbankan dari kalangan perseorangan tercatat mengalami perlambatan pertumbuhan dalam beberapa bulan terakhir.
Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI) yang dipublikasi Jumat, 21 Maret 2025. DPK perseorangan terkontraksi 1,8 persen atau atau tumbuh 5,1 persen atau sebesar sebesar Rp3.998,7 triliun secara tahunan (yoy) pada Februari 2025. Angka ini menurun dibanding posisi Januari yang mencapai Rp4.012,3 triliun.
Peneliti Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF, Abdul Manap Pulungan, menilai penurunan DPK khususnya dari sektor perseorangan menjadi sinyal bahwa kondisi ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah, sedang tidak baik-baik saja.
“Kalau pertumbuhan DPK itu melambat, terutama kan di sektor perseorangan itu karena memang kondisi ekonomi kita yang sedang tidak baik,” ujar Manap saat dihubungi KabarBursa.com, Jumat 9 Mei 2025
Ia menjelaskan, masyarakat menarik simpanan mereka bukan untuk berinvestasi atau meningkatkan konsumsi barang tahan lama, melainkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Ini mencerminkan tekanan ekonomi, khususnya pada kelompok masyarakat kelas menengah yang tidak mendapatkan stimulus atau bantuan dari pemerintah.
“Jadi orang benar-benar menarik tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi kan itu terjadi terutama di kelas menengah karena mereka tidak mendapatkan stimulus dari pemerintah. Sementara kelas yang bawah ini kan termiskin dalam bidang pendapatan itu masih mendapatkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT),” jelasnya.
Menabung Tidak Sama dengan Meningkatkan Daya Beli
Abdul Manap menyoroti adanya anomaly yang menunjukkan meskipun tabungan masyarakat berkurang, daya beli tak serta merta meningkat. Hal ini bertentangan dengan logika ekonomi konvensional, di mana penarikan simpanan seharusnya mendorong konsumsi.
“Kalau menyimpan uang harusnya daya beli meningkat,” ujarnya.
Namun kenyataannya, konsumsi rumah tangga tetap lemah. Masyarakat cenderung berhemat, mengalokasikan dana untuk kebutuhan sehari-hari saja, sehingga tidak memberi efek signifikan pada pertumbuhan ekonomi.
“Jadi kan tadi kita paham bahwa ketika kita berbicara komposisi ekonomi kita itu sebagian besar di konsumsi rumah tangga. Kalau semuanya berhemat, nanti konsumsi rumah tangganya turun terus tuh. Kalau konsumsi rumah tangga turun berarti kan berpengaruh terhadap industri. Orang nggak belanja, belanjanya hanya ala kadarnya gitu kan. Padahal ini akan nanti menyebabkan pertumbuhan ekonomi kita terus menurun,” jelas Manap.
Abdul Manap pun juga melihat momen Ramadhan dan lebaran yang biasanya menjadi pendorong konsumsi pun tidak memberikan efek besar tahun ini. Menurutnya, meskipun Tunjangan Hari Raya (THR) sudah diberikan, dampaknya minim.
“THR ada dampaknya tapi nggak signifikan karena banyak yang nggak pulang kampung, orang sekarang lebih memilih menghemat. Tapi menghemat aja, simpanannya cuma tumbuh dikit,” paparnya.
Dana Mengalir ke Emas dan SBI
Selain ditarik untuk konsumsi, Manap juga melihat kemungkinan adanya shifting dana dari tabungan bank ke instrumen investasi lain yang dianggap lebih menguntungkan, seperti emas dan Surat Berharga Indonesia (SBI).
“Di sisi lain bisa jadi ada shifting dari dana di bank bergerak ke rekening pemerintah. Karena kemarin kan yield SBI cukup tinggi. Yield SBI-nya cukup tinggi sehingga orang memanfaatkan momentum menarik dananya dari perbankan menaruhnya dari SBI,” ungkapnya.
Selain SBI, emas juga menjadi pilihan masyarakat. Harga emas yang terus naik memicu gelombang pembelian, yang turut menarik dana dari sektor perbankan.
“Atau bisa juga karena harga emas. Karena kemarin pada beli emas. Jadi orang menarik duitnya, taruh emas. Karena kemarin kan heboh banget soal emas,” imbuhnya.
Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I Capai 4,87 Persen
Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal pertama 2025. Angka tersebut ditopang oleh performa kuat dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mengalami lonjakan hingga 10,52 persen—menjadi sektor dengan pertumbuhan tertinggi pada periode ini.
Namun, di balik capaian tersebut, BPS juga mencatat adanya kontraksi sebesar 0,98 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq). Penurunan ini memunculkan kekhawatiran terhadap daya tahan ekonomi nasional saat memasuki triwulan kedua tahun ini.
Direktur Neraca Produksi BPS, Puji Agus Kurniawan, menyampaikan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku pada periode Januari hingga Maret 2025 mencapai Rp5.665,9 triliun. Jika dihitung berdasarkan harga konstan 2010, nilainya mencapai Rp3.264,5 triliun.
Puji menjelaskan bahwa kontraksi kuartalan kali ini utamanya dipicu oleh pelemahan aktivitas dalam negeri, yang salah satunya terlihat dari rendahnya penyerapan anggaran negara. “Penurunan signifikan dalam konsumsi pemerintah sebesar 39,89 persen menjadi penyebab utama kontraksi. Ini mencerminkan pola musiman sekaligus tantangan struktural dalam realisasi belanja fiskal,” jelasnya dalam konferensi Berita Resmi Statistik, Senin (5/5/2025).
Dari sisi sektor usaha, pertanian kembali menjadi penopang utama pertumbuhan. Selain itu, sektor jasa lainnya, jasa perusahaan, serta transportasi dan pergudangan juga menunjukkan performa positif. Sebaliknya, sektor pertambangan dan penggalian mengalami tekanan cukup besar dengan kontraksi 7,42 persen secara kuartalan, di tengah gejolak harga komoditas global.
Beralih ke sisi pengeluaran, ekspor barang dan jasa mencatat pertumbuhan 6,78 persen yoy, menjadi salah satu penggerak utama perekonomian di tengah pelemahan konsumsi rumah tangga. Konsumsi domestik, yang berkontribusi 54,53 persen terhadap struktur PDB, hanya tumbuh 4,89 persen—dinilai belum cukup untuk mengimbangi tekanan ekonomi dari dalam dan luar negeri.
Direktur Neraca Pengeluaran BPS, Pipit Helly Sorayan, mencatat bahwa tekanan tak hanya terjadi pada konsumsi pemerintah.
“Ekspor dan impor barang serta jasa masing-masing terkontraksi 6,11 persen dan 10,20 persen secara kuartalan. Ini memberikan sinyal perlambatan aktivitas ekonomi yang lebih luas,” ujarnya.
Jika dilihat secara spasial, Pulau Jawa tetap menjadi motor penggerak utama ekonomi nasional dengan kontribusi sebesar 57,43 persen dan pertumbuhan 4,99 persen. Sementara Sulawesi mencatat pertumbuhan tertinggi secara regional sebesar 6,40 persen. Namun, ketimpangan masih terjadi, terutama di wilayah timur seperti Maluku dan Papua yang hanya tumbuh 1,69 persen.(*)