KABARBURSA.COM – Janji manis pemangkasan suku bunga yang akan dilakukan oleh Bank Sentral Federal Reserve, menekan hanga minyak dunia. Pada perdagangan Rabu waktu New York, atau Kamis pagi WIB, 16 Oktober 2025, baik Brent maupun West Texas Intermediate (WTI) menutup sesi di level terendah dalam lima bulan terakhir.
Minyak mentah berjangka Brent merosot 0,8 persen ke USD61,91 per barel. Sementara WTI, acuan Amerika Serikat, turun 0,7 persen ke USD58,27 per barel. Penurunan kali ini menegaskan betapa rentannya pasar minyak terhadap guncangan geopolitik. Energi dunia kini dikendalikan bukan oleh pasokan, tapi oleh politik.
Sumber tekanan pertama datang dari ketegangan dagang yang kembali memanas antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China. Saling balas tarif di pelabuhan dan ancaman pembatasan ekspor telah menciptakan awan gelap di atas rantai pasok global.
Ketegangan itu memantik kekhawatiran baru akan perlambatan perdagangan internasional. Tentu saja ini menjadi kabar buruk bagi permintaan minyak yang sangat bergantung pada aktivitas industri dan transportasi global.
Presiden Donald Trump menegaskan kemungkinan menaikkan tarif impor terhadap barang-barang asal China hingga 100 persen serta memperketat ekspor perangkat lunak mulai 1 November. Di sisi lain, Beijing membalas dengan pengetatan ekspor logam tanah jarang. Kedua isu menandakan hubungan kedua negara kian menjauh dari kompromi.
Bank of America tak segan memperingatkan bahwa harga Brent bisa jatuh di bawah USD50 per barel jika konflik dagang terus memburuk, sementara produksi OPEC+ tetap bertumbuh.
Laporan terbaru dari International Energy Agency (IEA) memperburuk suasana. Lembaga itu memproyeksikan surplus pasokan minyak global mencapai hingga 4 juta barel per hari pada 2025, naik dari proyeksi sebelumnya.
Lonjakan produksi dari negara-negara OPEC+ dan lemahnya permintaan energi akibat perlambatan ekonomi, menjadi kombinasi yang menekan harga lebih dalam.
Sementara itu, dari Washington, Gubernur Federal Reserve Stephen Miran memperingatkan bahwa perang tarif AS–China menjadi ancaman serius bagi prospek ekonomi. Ia menegaskan pentingnya pemangkasan suku bunga acuan guna menopang pertumbuhan dan menjaga permintaan energi tetap hidup.
Ironisnya, meski komentar dovish The Fed biasanya menjadi kabar baik bagi aset berisiko, kali ini pasar justru membaca pesan itu sebagai tanda kelemahan ekonomi. Dengan kata lain, suku bunga rendah bukan lagi stimulus, melainkan penyangga rapuh yang menutupi retaknya pondasi ekonomi global.
Di sisi lain, sinyal deflasi dari China, seperti penurunan harga konsumen dan produsen sepanjang September, menunjukkan lemahnya sisi permintaan. Sektor properti yang tak kunjung pulih semakin membebani konsumsi energi dan industri berat. Kombinasi faktor ini membuat harga minyak tak lagi punya alasan untuk bertahan di level tinggi.
Panasnya Geopolitik Inggris-Rusia
Sementara dari Eropa, Inggris kembali memanaskan arena geopolitik dengan menjatuhkan sanksi terhadap dua raksasa minyak Rusia, Lukoil dan Rosneft, serta 51 kapal tanker yang diduga membantu Moskow menghindari embargo energi.
Langkah ini sejatinya dimaksudkan untuk memperketat tekanan terhadap Rusia, tetapi efeknya terhadap harga minyak global masih minim karena pasar lebih sibuk menghitung potensi pelemahan permintaan daripada terganggunya pasokan.
Rusia tetap menjadi produsen minyak terbesar kedua di dunia, dan setiap gangguan pasokan dari negeri itu selalu menjadi katalis sementara bagi reli harga. Namun kali ini, bahkan sanksi pun gagal membalikkan arah pasar yang terjebak dalam siklus ketakutan dan kelebihan pasokan.
Dari sisi fundamental, laporan stok minyak dari American Petroleum Institute (API) dan Energy Information Administration (EIA) yang tertunda karena libur nasional juga menjadi faktor pengganjal pergerakan harga. Analis
memperkirakan kenaikan persediaan sekitar 0,3 juta barel, peningkatan ketiga berturut-turut yang menandakan konsumsi domestik AS mulai melambat. Jika prediksi ini akurat, maka pasar akan mendapat sinyal tambahan bahwa tekanan pada harga belum akan mereda dalam waktu dekat.
Dengan segala ketidakpastian ini, harga minyak kini berada di persimpangan yang tidak nyaman. Di satu sisi, pelaku pasar menanti pemangkasan suku bunga The Fed yang diharapkan menghidupkan kembali permintaan energi.
Di sisi lain, bayangan resesi global dan potensi surplus minyak hingga 2026 membuat setiap reli harga tampak seperti jeda singkat sebelum kejatuhan berikutnya.
Harga Brent di kisaran USD61 dan WTI di bawah USD59 bukan hanya statistik, tetapi refleksi dari krisis keyakinan yang lebih luas. Di saat emas memantul ke rekor tertinggi dan dolar mulai melemah, minyak justru terpuruk di antara retorika politik dan realitas ekonomi yang dingin. Dunia mungkin tidak kehabisan energi, tapi jelas kehabisan arah.(*)