Logo
>

Kadin: Bonus Demografi Jadi Malapetaka jika Lapangan Kerja Tak Bertambah

Kondisi global yang tidak menentu turut memberikan dampak sistemik ke dalam negeri

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Kadin:  Bonus Demografi Jadi Malapetaka jika Lapangan Kerja Tak Bertambah
Kawasan perkantoran Sudirman, Jakarta Selatan. Foto: dok KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM — Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid, menyampaikan peringatan serius terhadap arah perekonomian Indonesia yang tengah menghadapi tantangan struktural, terutama menyangkut lapangan kerja dan daya beli masyarakat.

    Menurut Arsjad, kondisi global yang tidak menentu turut memberikan dampak sistemik ke dalam negeri. Mulai dari konflik geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina, ketegangan di Timur Tengah, hingga dinamika politik AS yang ia sebut sebagai "Trump Effect", telah menciptakan tekanan ekonomi yang meluas. “China saja sebagai negara yang pertumbuhan ekonominya kemarin terus naik, saat ini sedang cenderung turun,” ujarnya dalam keterangan Senin 21 Juli 2025

    Namun, ia menilai bahwa fokus Indonesia seharusnya tidak semata tertuju pada pertumbuhan ekonomi yang berkutat di angka 4,7 persen. Arsjad menggarisbawahi bahwa isu utama yang mendesak adalah terus merosotnya daya beli masyarakat. Dalam penilaiannya, masyarakat kini berada dalam situasi sulit secara finansial. “Masyarakat bisa dikatakan tidak punya uang saat ini. Karena itu daya beli turun,” kata dia.

    Salah satu indikator memburuknya kondisi domestik menurutnya dapat dilihat dari data ketenagakerjaan. Meski tingkat pengangguran terbuka turun ke 4,7 persen, jumlah pengangguran justru meningkat menjadi lebih dari 7,28 juta orang. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa hampir 60 persen angkatan kerja Indonesia masih berada di sektor informal.

    “Menjadi pertanyaan besar kemudian, apakah lapangan kerja mencukupi untuk memperbaiki keadaan,” tegasnya.

    Ia menjelaskan secara sederhana, bahwa hanya ada dua sumber pendapatan masyarakat saat ini: pedagang yang meraih keuntungan dari usaha, dan pekerja yang memperoleh penghasilan dari gaji, bonus, atau tunjangan lainnya. Bila kedua sumber ini terganggu, maka konsekuensinya adalah stagnasi ekonomi. “Jika dua sumber itu tidak lagi ada, maka growth economy tidak akan ada lagi, pasti menurun tajam,” ujarnya.

    Arsjad menyoroti bahwa sumber utama penciptaan lapangan kerja berasal dari investasi. Namun, investasi yang masuk belakangan ini cenderung bersifat capital intensive, bukan labour intensive, sehingga tidak banyak menyerap tenaga kerja. Di sisi lain, iklim investasi nasional masih dibayangi oleh berbagai hambatan mendasar seperti perizinan yang berbelit, sengketa tanah, dan praktik premanisme di lapangan.

    “Untuk menciptakan investasi, baik investasi kecil ataupun besar, tantangannya banyak sekali,” jelasnya.

    Ia juga menyinggung meningkatnya tren migrasi tenaga kerja terampil Indonesia ke luar negeri. Dari perawat hingga insinyur, para pekerja ini lebih memilih bekerja di luar negeri karena imbal hasil yang jauh lebih tinggi. “Pastinya mereka bukan tidak cinta negara ini, tapi di luar negeri upah yang diterima bisa 5–8 kali lebih besar dari jumlah upah di dalam negeri,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Arsjad menyebut bahwa situasi “kabur dulu aja” mencerminkan realitas minimnya lapangan kerja berkualitas di dalam negeri. Dengan jumlah angkatan kerja produktif yang akan terus membesar karena bonus demografi, Indonesia berpotensi menghadapi bencana sosial jika lapangan kerja tak kunjung tersedia.

    “Bonus demografi Indonesia yang digadang-gadang menyediakan jumlah tenaga kerja produktif sampai 70% akan menjadi malapetaka jika tidak diperhatikan serius,” tegas Arsjad.

    Sebagai solusi, ia menawarkan pendekatan “3G” sebagai strategi terstruktur yang mencakup tiga pilar utama: Grow People, Gear Up Industry, dan Go Green.

    Grow People, menurutnya, harus menjadi upaya untuk membentuk talenta global yang tak hanya siap kerja, tetapi juga siap memimpin dan berinovasi. Ia menyoroti bahwa mayoritas angkatan kerja Indonesia saat ini justru didominasi lulusan SMP dan SD, di tengah menurunnya kualitas kecerdasan nasional. “Hari ini hanya 10% lulusan S1, selebihnya adalah lulusan SMA-SMK dan SMP dan SD,” paparnya.

    Sementara itu, Gear Up Industry menekankan pentingnya reindustrialisasi berbasis nilai tambah dan pemerataan ekonomi, salah satunya melalui hilirisasi mineral dan perluasan manufaktur di luar Jawa dengan melibatkan UMKM. Strategi ini, menurutnya, berpotensi memberi tambahan hingga USD 25 miliar terhadap PDB nasional.

    Adapun pilar terakhir, Go Green, diharapkan mampu menjadikan transisi energi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru. Ini termasuk upaya re-skilling pekerja sektor tinggi emisi, pembiayaan hijau untuk UMKM, dan pelibatan masyarakat lokal dalam proyek energi bersih.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.