Logo
>

Kebijakan Plin-Plan Ancam Kredibilitas Ekonomi Nasional

Semua contoh itu menimbulkan pertanyaan besar mengenai arah dan kualitas koordinasi kebijakan pemerintah

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Kebijakan Plin-Plan Ancam Kredibilitas Ekonomi Nasional
Kawasan perkantoran Sudirman, Jakarta Selatan. Foto: KabarBursa.com/Abbas

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Ketidakkonsistenan pemerintah dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan publik kembali menjadi sorotan tajam. Perubahan arah kebijakan yang terjadi dalam waktu singkat dinilai berdampak langsung terhadap stabilitas ekonomi dan menciptakan ketidakpastian di tengah masyarakat.

    Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai bahwa gejolak tersebut mengindikasikan lemahnya fondasi tata kelola kebijakan publik di Indonesia. Ia menyoroti bahwa pemerintah tampak lemah dalam hal perencanaan, tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap visi pembangunan, dan gagal menjaga konsistensi lintas lembaga.

    “Enam kebijakan yang berubah arah di tengah jalan memperlihatkan gejala serius dalam tata kelola kebijakan publik,” terang dia kepada Kabarbursa.com, Kamis 5 Juni 2025.

    Syafruddin merujuk pada sejumlah kebijakan pemerintah yang mendadak berubah atau dibatalkan. Mulai dari pembatalan diskon listrik 50 persen yang sempat diumumkan resmi, perubahan sikap terhadap ekspor beras, kegagalan menghadapi tarif dagang dari Amerika Serikat, penundaan program Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk lansia, peluncuran peta jalan pensiun dini PLTU sambil tetap memfasilitasi kreditnya, hingga pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan.

    Menurutnya, semua contoh itu menimbulkan pertanyaan besar mengenai arah dan kualitas koordinasi kebijakan pemerintah. Ia menyebut pembatalan subsidi listrik, misalnya, mencederai kredibilitas fiskal negara. 

    Publik, kata dia, menyaksikan langsung bagaimana birokrasi tampak belum siap menyelaraskan kebijakan yang diumumkan dengan realitas anggaran yang tersedia.

    “Dan kali ini, pemerintah justru menghapus harapan masyarakat kecil yang sempat tergugah oleh wacana keringanan biaya hidup,” kata dia.

    Ketidaksiapan semacam itu menurutnya menunjukkan kelemahan manajemen fiskal dan buruknya komunikasi publik. Kebijakan yang diumumkan tanpa proses penganggaran yang matang bukan hanya menunjukkan lemahnya teknokrasi, tetapi juga membuka ruang spekulasi yang merugikan stabilitas ekonomi.

    Ia juga menyoroti perubahan sikap pemerintah dalam soal ekspor beras. Keputusan yang awalnya menolak ekspor kemudian tiba-tiba membuka keran ekspor, menunjukkan lemahnya konsolidasi data dan analisis pasokan. 

    Menurut Syafruddin, ketidakkonsistenan dalam kebijakan pangan berpotensi besar memicu ketidakpastian, terutama bagi petani dan pelaku usaha distribusi.

    “Sehingga setiap perubahan harus berbasis data akurat dan dirancang jangka menengah, bukan berdasarkan tekanan sesaat,” tambahnya.

    Tak kalah serius, Syafruddin menilai kegagalan pemerintah dalam menegosiasikan tarif dagang dengan Amerika Serikat sebagai bukti lemahnya diplomasi ekonomi. 

    Alih-alih menekan tarif, hasil akhir justru sebaliknya: kenaikan tarif yang memukul pelaku ekspor nasional. 

    Ia menilai hal ini sebagai tanda buruknya koordinasi lintas kementerian serta absennya strategi perdagangan luar negeri yang solid.

    “Ini juga menunjukkan bahwa strategi perdagangan internasional kita belum dibangun secara strategis dan lintas sektor,” kata dia.

    Kritik juga diarahkan pada janji kampanye seperti KIS Lansia yang hingga kini belum direalisasikan.Menurut Syafruddin, janji kampanye seharusnya menjadi pijakan awal arah kebijakan setelah pemilu. 

    Jika tidak segera dilaksanakan, maka publik akan menganggap janji tersebut hanya alat politik belaka. “Janji kampanye seharusnya menjadi dasar arah kebijakan pasca pemilu,” ungkapnya.

    Ia juga menilai bahwa perubahan arah kebijakan yang terjadi begitu mudah menandakan belum adanya standar baku dalam penyusunan kebijakan publik. 

    Menurutnya, kebijakan yang baik seharusnya melalui tahapan terukur seperti penyusunan naskah akademik, konsultasi publik, uji kelayakan fiskal, hingga pembahasan lintas kementerian. 

    Semua itu seharusnya menjadi protokol tetap dan tidak boleh dilompati hanya demi manuver politik jangka pendek.

    “Pola kebijakan yang mencla-mencle tidak hanya memperlihatkan kelemahan teknokrasi, tetapi juga menyiratkan krisis kepercayaan internal dalam tubuh birokrasi sendiri,” terang dia.

    Syafruddin menekankan pentingnya konsistensi dan ketegasan dalam pengambilan kebijakan. Masyarakat, menurutnya, berharap pemerintah tampil visioner dan mampu menjaga arah kebijakan secara berkelanjutan.

    “Pemerintah harus segera mengevaluasi sistem perumusan kebijakannya, memperbaiki sistem koordinasi lintas sektor, serta menegakkan standar tata kelola berbasis data dan kebutuhan rakyat,” pungkasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.