Logo
>

Kebijakan Tarif Trump Upaya Tekan Mitra Dagang Amerika

Bahwa tarif yang dikenakan AS tidak proporsional dan lebih bersifat politis dibandingkan koreksi neraca dagang.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Kebijakan Tarif Trump Upaya Tekan Mitra Dagang Amerika
Ilustrasi Donald Trump. Foto: KabarBursa/Andrew

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggebrak kebijakan perdagangan global dengan menerapkan tarif resiprokal hingga 54 persen terhadap lebih dari 60 negara mitra dagang, termasuk Indonesia. 

    Kebijakan ini disebut sebagai langkah menuju perdagangan yang lebih adil. Namun, apakah benar ini merupakan bentuk fair trade atau justru menciptakan ketidakadilan baru?

    Syafruddin Karimi dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas menyoroti dampak kebijakan ini terhadap Indonesia. 

    Ia menegaskan bahwa tarif yang dikenakan AS tidak proporsional dan lebih bersifat politis dibandingkan koreksi neraca dagang. 

    “Indonesia dikenai tarif 32 persen, padahal defisit perdagangannya dengan AS hanya sekitar USD 18 miliar,” ujar dia dalam keterangannya di Jakarta Kamis 3 April 2025.

    Sebagai perbandingan, Vietnam yang memiliki defisit USD 123 miliar dikenai tarif 46 persen, sementara Tiongkok dengan defisit hampir USD 300 miliar hanya dikenai tarif 34 persen. 

    “Ini menunjukkan bahwa kebijakan ini bukan lagi soal koreksi neraca dagang, melainkan strategi geopolitik untuk menekan negara-negara mitra agar tunduk pada kepentingan ekonomi domestik AS,” tambah Syafruddin.

    Lebih lanjut, ia mempertanyakan apakah konsep fair trade yang diterapkan AS benar-benar adil. Mengingat dalam literatur perdagangan internasional, fair trade merujuk pada sistem yang menjamin akses pasar yang adil, perlindungan hak pekerja, dan keberlanjutan lingkungan. 

    "Namun, dalam praktik yang diterapkan oleh Trump, fair trade bergeser menjadi fear trade, yakni perdagangan berbasis tekanan tarif, sanksi, dan ancaman pengucilan dari pasar,” jelasnya.

    Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, kini berada dalam posisi sulit akibat kebijakan ini. Vietnam, Thailand, dan Kamboja turut terkena tarif antara 30 hingga 49 persen, padahal kawasan ini merupakan pilar penting dalam rantai pasok global, terutama setelah pandemi. 

    "Ketimbang memperkuat kolaborasi, Trump justru menciptakan polarisasi,” tegas Syafruddin.

     Kebijakan Tarif Resiprokal 

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggebrak panggung ekonomi global. Kali ini bukan lewat perang kata-kata, melainkan lewat daftar panjang tarif baru yang disodorkan ke dunia. Dari China hingga Indonesia, puluhan negara ditetapkan sebagai target kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Trump dalam pidatonya di Rose Garden, Gedung Putih.

    Trump menyebut kebijakan ini sebagai upaya mengembalikan keadilan dalam perdagangan internasional. “Negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijadikan korban dalam sistem dagang global yang timpang,” kata Trump dalam pidato yang mengundang tepuk tangan sebagian pendukungnya, namun juga kritik keras dari sejumlah ekonom dan anggota parlemen.

    Menurut data resmi yang diunggah akun Instagram @potus, tarif baru diberlakukan berdasarkan besarnya defisit perdagangan bilateral AS dengan negara mitranya. China, sebagai eksportir terbesar ke Amerika, ditetapkan mendapat tarif sebesar 34 persen. Vietnam menyusul dengan 46 persen. Indonesia tak luput dari daftar, dikenakan tarif sebesar 32 persen—angka yang jauh lebih tinggi dibanding tarif normal yang sebelumnya berkisar di bawah 5 persen.

    Daftar ini bukan asal tunjuk. Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) bahkan menyusun perhitungan matematis untuk menetapkan tarif resiprokal tersebut. Rumusnya adalah:  Δτᵢ = (xᵢ - mᵢ) / (ε * φ * mᵢ)

    Artinya, besaran perubahan tarif ditentukan oleh selisih antara ekspor dan impor masing-masing negara terhadap AS, dikalikan dengan dua parameter teknis, yakni elastisitas permintaan impor (ε) dan tingkat pengaruh tarif terhadap harga (φ). Jika suatu negara memiliki surplus besar terhadap AS, maka tarifnya akan tinggi, karena dianggap mengambil keuntungan lebih banyak dari pasar AS.

    Menurut ringkasan dokumen USTR, parameter ε ditetapkan sebesar 4, sedangkan φ sebesar 0,25. Data ekspor dan impor digunakan dari statistik tahun 2024. Dengan pendekatan ini, tarif resiprokal yang ditetapkan bervariasi antara 10 persen hingga 99 persen. Rata-rata tarif secara global mencapai 41 persen bila dihitung berdasarkan volume impor.

    Lantas, siapa saja yang paling terdampak?

    China jelas jadi sasaran utama, dengan tarif yang mencapai 34 persen. Tarif ini disebut “diskon” karena nilai awal perhitungan mencapai 67 persen. Vietnam yang selama ini dipandang sebagai alternatif bagi banyak investor yang keluar dari China, ternyata kena lebih besar, yakni 46 persen dari semula 90 persen. Indonesia, yang dianggap memiliki hambatan dagang non-tarif cukup tinggi, juga masuk daftar dengan angka 32 persen, turun dari hitungan mentah sebesar 64 persen.

    Beberapa negara tetangga juga tak lepas dari jeratan. Malaysia dikenai tarif 24 persen, Thailand 36 persen, sementara Singapura tetap mendapat tarif minimal 10 persen. Negara-negara seperti Bangladesh (37 persen), Kamboja (49 persen), dan Sri Lanka (44 persen) juga masuk kategori “dijatuhi tarif tinggi”.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.