KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah dunia kembali melesat pada perdagangan Rabu waktu Houston, 10 September 2024, dipicu meningkatnya ketegangan geopolitik di Eropa Timur dan Timur Tengah yang memicu kekhawatiran gangguan pasokan.
Minyak mentah Brent, acuan internasional, ditutup menguat USD1,10 atau 1,7 persen menjadi USD67,49 per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI), patokan Amerika Serikat, turut naik USD1,04 atau 1,7 persen ke level USD63,67 per barel.
Lonjakan harga minyak terutama didorong oleh insiden di Polandia, ketika negara anggota NATO tersebut menembak jatuh drone Rusia yang memasuki wilayah udaranya di tengah serangan masif Moskow ke Ukraina barat.
Situasi ini menambah ketidakpastian geopolitik hanya sehari setelah pasar diguncang kabar serangan Israel terhadap pimpinan Hamas di Doha, Qatar.
Sentimen geopolitik semacam ini sering kali menciptakan dorongan harga jangka pendek, meski para analis menilai efeknya biasanya mereda kecuali benar-benar mengganggu arus pasokan minyak global.
Di sisi lain, tekanan datang dari laporan Energy Information Administration (EIA) yang menunjukkan lonjakan besar pada persediaan minyak mentah AS. Data pekan yang berakhir 5 September mencatat peningkatan 3,9 juta barel, berbanding terbalik dengan ekspektasi penurunan sekitar 1 juta barel.
Stok bensin naik 1,5 juta barel, jauh di atas perkiraan penurunan, sementara persediaan distilat bahkan melesat 4,7 juta barel dibanding proyeksi kenaikan tipis.
Kondisi ini dianggap sebagai sinyal melemahnya permintaan bahan bakar setelah berakhirnya driving season musim panas, sekaligus pertanda potensi perlambatan ekonomi.
John Kilduff, mitra di Again Capital, menilai laporan persediaan tersebut sangat bearish karena memperlihatkan lemahnya permintaan domestik, ditambah ekspor energi AS yang rendah. Hal ini, menurutnya, bisa menjadi cerminan perlambatan ekonomi bukan hanya di Amerika Serikat tetapi juga secara global.
Sejalan dengan itu, EIA juga telah memperingatkan bahwa harga minyak mentah kemungkinan menghadapi tekanan tambahan dalam beberapa bulan mendatang, seiring peningkatan produksi dari OPEC+ termasuk Rusia.
Desakan Trump terhadap Uni Eropa Beri Sentimen Negatif
Dari perspektif kebijakan, sentimen pasar turut dipengaruhi oleh desakan Presiden AS Donald Trump agar Uni Eropa menjatuhkan tarif besar terhadap impor dari China dan India, dua pembeli utama minyak Rusia, sebagai bentuk tekanan terhadap Moskow.
Meski begitu, Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen menegaskan Eropa lebih fokus pada percepatan penghapusan ketergantungan energi fosil Rusia, ketimbang mengenakan tarif besar pada mitra dagang strategis seperti China dan India.
Selain faktor geopolitik dan data stok, ekspektasi terhadap kebijakan moneter The Federal Reserve juga memberi arah bagi pasar energi. Investor menilai pemangkasan suku bunga pada pertemuan 16–17 September dapat mendorong aktivitas ekonomi sekaligus meningkatkan permintaan energi.
Namun, dengan membengkaknya stok minyak dan lemahnya permintaan bensin, ekspektasi tersebut belum mampu menahan bayang-bayang surplus yang membebani harga.
Dengan demikian, meski Brent dan WTI kompak naik lebih dari 1 persen pada sesi terakhir, prospek harga minyak dunia tetap menghadapi tarik-menarik antara kekhawatiran geopolitik yang menopang reli jangka pendek dan sinyal fundamental berupa lonjakan persediaan yang membatasi ruang kenaikan.
Ke depan, pasar minyak diperkirakan masih akan bergerak fluktuatif, bergantung pada perkembangan geopolitik, keputusan The Fed, serta dinamika pasokan global dari OPEC+ dan sekutunya.(*)
 
      