Logo
>

Kisruh Data dan Peran Pengecer di Balik Carut-Marut Pupuk Subsidi

Pengawasan terhadap pengecer pupuk untuk mencegah praktik penimbunan yang merugikan petani.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Kisruh Data dan Peran Pengecer di Balik Carut-Marut Pupuk Subsidi
Petani bawang di Bogor, Jawa Barat. Foto: KabarBursa/Abbas

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ketahanan pangan nasional masih dibayangi masalah klasik yang belum juga terselesaikan: distribusi pupuk bersubsidi yang tak kunjung merata. 

    Meski pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi, persoalan di lapangan tetap rumit. Mulai dari data petani yang tidak akurat hingga praktik curang pengecer yang bermain sebagai “calo” kuota, semua ini memperpanjang daftar pekerjaan rumah di sektor pertanian.

    Pemerintah menargetkan agar penyaluran pupuk bersubsidi dapat berjalan tepat sasaran—baik dari jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, mutu, hingga penerima. Jenis pupuk yang disubsidi antara lain Urea, Nitrogen Phosphor Kalium (NPK), Organik, Superphosphate (SP-36), dan Zwavelzure Ammoniak (ZA). Namun, target mulia ini belum sepenuhnya tercapai di lapangan.

    Petani Muda, Khanif Irsyad Fahri  mengatakan mengungkap persoalan mendasar yang menjadi biang kerok tidak meratanya pupuk subsidi: data penerima yang tidak akurat dan permainan distribusi di tingkat pengecer.

    “Datanya itu emang nggak akurat. Jadi emang harus diperbarui tuh datanya," kata Khanif kepada Kabar Bursa saat ditemui di Jakarta Selasa 15 April 2025.

    Untuk diketahui, berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) tahun 2025, terdapat sekitar 14,74 juta petani yang membutuhkan pupuk bersubsidi, dengan total luas lahan mencapai 25,25 juta hektare.

    Dari data tersebut, kebutuhan pupuk nasional diperkirakan mencapai 14,50 juta ton. Namun sayangnya, pemerintah hanya mampu mengalokasikan sekitar 9,55 juta ton atau sekitar 66 persen dari total kebutuhan, menyisakan kekurangan yang cukup signifikan di lapangan.

    Meskipun realisasi penyaluran pupuk bersubsidi berdasarkan alokasi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2024 sempat mencatat angka 100,7 persen atau sekitar 7,34 juta ton, capaian itu belum mampu menjawab kebutuhan terbaru.

    Jika mengacu pada alokasi yang telah diperbarui dalam Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 51 Tahun 2024 sebesar 9,55 juta ton, realisasi penyaluran pupuk tersebut baru mencapai 76,9 persen, menunjukkan masih adanya celah distribusi yang belum teratasi.

    Menurut Khanif hal itu terjadi karena seringkali penerima pupuk subsidi bukanlah seorang petani. Sementara petani yang memiliki lahan luas hanya mendapat jatah sedikit. Akibatnya, kebutuhan pupuk tidak terpenuhi secara merata.

    "Misal, ada yang nggak jadi petani tapi dapet kuota pupuk dan akhirnya dijual,” tambahnya.

    Lebih parah lagi, skema subsidi yang seharusnya disesuaikan dengan luas lahan petani justru acap kali dijadikan celah permainan oleh pihak pengecer.

    Di banyak kasus, distribusi pupuk tidak mengikuti kebutuhan riil petani di lapangan, melainkan disesuaikan dengan kepentingan pihak tertentu yang memanfaatkan ketimpangan data untuk meraup untung.

    Alhasil, banyak petani yang seharusnya berhak justru tak mendapatkan alokasi sesuai kebutuhan, sementara pihak lain yang tidak berhak malah bisa mengaksesnya.

    “Sawahnya banyak tapi mereka ga dapet pupuk,” terang dia.

    Situasi ini makin rumit karena keterbatasan pasokan yang disediakan pemerintah. Dari total kebutuhan pupuk bersubsidi sebanyak 14,50 juta ton, hanya 9,55 juta ton yang dialokasikan.

    Kekurangan terbesar terjadi pada pupuk organik yang hanya terpenuhi 31 persen—yakni 0,50 juta ton dari kebutuhan 1,62 juta ton. Untuk pupuk NPK, pemenuhannya hanya 59 persen (4,42 juta ton dari kebutuhan 7,44 juta ton), sedangkan pupuk Urea masih relatif lebih baik dengan capaian 85 persen (4,63 juta ton dari 5,44 juta ton).

    "Biasanya tukang pupuk itu udah nerima semua kartu petani. Nah, kartu petani itu yang akhirnya dijual ke atas, ke pemerintah yang nge-subsidi itu. Jadi calo. Kan ada pupuk subsidi. Kuotanya terbatas tuh. Bisa jadi kuotanya dimainkan," ungkapnya.

    Karena itu, menurut Khanif untuk mengatasi masalah ini, ia menekankan perlunya pemerintah untuk melakukan pembaruan data sebagai langkah awal. Pasalnya ia melihat banyak petani yang tidak mendapat akses pupuk karena keterbatasan data yang digunakan.

    "Kalau datanya bener, kemungkinan nanti bisa lebih terarah lah," lanjutnya.

    Ia juga menekankan pentingnya pengawasan terhadap pengecer pupuk untuk mencegah praktik penimbunan yang merugikan petani.

    Pasalnya, tidak sedikit toko pupuk yang sengaja menyimpan stok demi meraup keuntungan, yang pada akhirnya membuat harga pupuk melonjak di pasaran.

    "Tukang pupuk-tukang pupuk itu jangan sampai mereka nimbun pupuk. Kalau misalnya mereka menyimpan stok, otomatis ya harganya jadi mahal lah," jelasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.