KABARBURSA.COM – Memanasnya perang antara Israel dan Iran pada Juni 2025 ini menandai titik balik berbahaya dalam tatanan geopolitik global. Krisis ini tidak hanya memicu kecemasan militer di Timur Tengah, tetapi juga mengguncang stabilitas ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
Terlebih lagi, saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada tekanan fiskal serius akibat lonjakan harga minyak mentah dunia yang menembus 100 dolar AS per barel.
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai, krisis ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan hasil kumulatif dari pendekatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah Donald Trump yang mengedepankan logika bisnis dalam diplomasi global.
“Perang Israel–Iran yang meletus pada Juni 2025 menjadi puncak dari kebijakan luar negeri gaya Donald Trump yang selama ini mengedepankan logika bisnis dalam urusan geopolitik,” ujarnya pada Minggu, 15 Juni 2025.
Ia menjelaskan, sejak membatalkan kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) pada 2018, Trump telah merusak mekanisme damai yang selama bertahun-tahun dibangun oleh komunitas internasional.
“Trump memperlakukan dunia sebagai arena negosiasi transaksional, bukan sebagai tatanan yang harus dijaga stabilitasnya,” ujar Syafruddin.
Akibat pendekatan tekanan maksimal yang berlarut-larut, Iran kembali mengembangkan program pengayaan uranium. Sementara itu, Israel merasa mendapatkan legitimasi tidak langsung untuk melancarkan serangan terbuka ke situs nuklir dan tokoh strategis Iran.
“Dukungan militer AS meski tak diumumkan secara formal melalui pengisian bahan bakar jet Israel dan peluncuran sistem pertahanan rudal, membuktikan bahwa Amerika bukan lagi penonton, tapi sudah jadi peserta aktif dalam konflik ini,” tambahnya.
Trump juga tak menunjukkan sinyal meredakan konflik. Sebaliknya, ia memberi tenggat waktu kepada Iran untuk kembali ke meja perundingan, seolah menjadikan krisis ini kelanjutan dari negosiasi dagang dengan taruhan yang jauh lebih berbahaya.
“Ini bukan lagi perang tarif. Ini adalah strategi negosiasi yang dibungkus ancaman militer, yang menempatkan nyawa jutaan orang sebagai bagian dari risiko kalkulatif,” kata Syafruddin.
Dampak langsung dari konflik ini sangat terasa di pasar global. Harga minyak melonjak tajam seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap terganggunya arus pengiriman melalui Selat Hormuz, jalur vital ekspor minyak dunia.
“Ketika rudal saling menghujam dan Selat Hormuz terancam blokade, harga minyak langsung melonjak di atas 100 dolar per barel. Ini bukan sekadar lonjakan biasa; ini adalah alarm keras bagi negara-negara pengimpor energi seperti Indonesia,” jelasnya.
Dampak Perang Iran-Israel bagi Indonesia
Bagi Indonesia, lonjakan harga minyak menjadi beban berat bagi anggaran negara. Pemerintah kini menghadapi dilema klasik antara menyesuaikan harga BBM atau mempertahankan subsidi besar-besaran yang menggerus ruang fiskal.
“Kenaikan harga minyak otomatis memperbesar beban APBN lewat subsidi energi, memperlebar defisit transaksi berjalan, dan mendorong inflasi,” ujar Syafruddin.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia tidak bisa berdiri diam atau bersikap seolah-olah berada di luar pusaran. Ketergantungan pada impor energi membuat posisi Indonesia sangat rentan terhadap volatilitas geopolitik global. Pemerintah dituntut mengambil langkah antisipatif dan menjaga keseimbangan antara stabilitas fiskal dan perlindungan daya beli masyarakat.
Syafruddin mengingatkan bahwa dunia saat ini tengah bergulat dengan potensi konflik regional yang bisa menjalar menjadi bencana global, dan bahwa gaya kepemimpinan berbasis ancaman bukanlah solusi jangka panjang.
“Jika kebijakan luar negeri dijalankan seperti bisnis berisiko tinggi, maka dunia tidak akan mendapat perdamaian—yang tersisa hanyalah pasar ketakutan yang dikelola oleh mereka yang merasa kebal dari akibatnya,” kata dia.(*)