KABARBURSA.COM – Pemerintah menargetkan pembentukan 80.000 Koperasi Merah Putih sebagai bagian dari prioritas pembangunan nasional era Prabowo-Gibran.
Target ambisius ini menempatkan koperasi sebagai pilar pembangunan desa, dan disebut sejalan dengan amanat konstitusi khususnya Pasal 33 UUD 1945.
Namun, Ekonom Dr Handi Risza Idris menilai, kebijakan ini patut dikritisi secara tajam. Sebab, Koperasi Merah Putih belum tentu menjadi solusi konkret atas persoalan ekonomi desa. Ada potensi besar kebijakan ini menjadi beban baru, baik bagi UMKM maupun pemerintahan daerah.
“Koperasi Merah Putih tidak akan memberikan dampak besar bagi pembangunan ekonomi, karena hanya mentake-over bisnis yang sudah ada,” kata Handi dalam kererangan tertulis, di Jakarta, Sabtu, 12 Juli 2025.
Menurut dia, esensi koperasi semestinya berdiri di atas semangat kolektif dan asas kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Ketika koperasi justru dijadikan sebagai instrumen proyek besar tanpa perencanaan matang, potensi penyimpangan tujuan menjadi sangat besar.
“Prinsip koperasi itu penting dan dibutuhkan, tetapi jika tidak didirikan berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong, maka ada unsur atau tujuan lain yang masuk. Ini perlu dikawal,” tegasnya.
Belajar dari Gagalnya KUD
Handi juga mengingatkan agar pemerintah tidak mengulang sejarah kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD) yang banyak dikendalikan oleh kepentingan pusat. Koperasi semacam itu cenderung gagal memberdayakan warga karena minim partisipasi dan lebih mengandalkan komando dari atas.
“Koperasi yang terlalu banyak di-drive oleh pusat justru menurunkan semangat otonomi daerah. Padahal, pemerintah daerah seharusnya diberi ruang lebih untuk tumbuh dan mengatur dirinya sendiri,” jelas Handi.
Ia menilai, koperasi yang dibangun dari atas ke bawah cenderung mengabaikan kebutuhan riil masyarakat desa. Akibatnya, koperasi hanya menjadi simbol kebijakan tanpa keberlanjutan ekonomi yang jelas.
Dr. Handi juga menggarisbawahi lemahnya kerangka regulasi yang mendasari program koperasi masif ini. Meskipun sudah ada Surat Edaran Menteri Koperasi dan UKM Nomor 1 Tahun 2025, menurutnya, aturan tersebut tidak cukup kuat untuk menjamin tata kelola yang akuntabel dan efisien.
“Kalau melihat SE itu, rasanya masih kurang dalam mengatur hal-hal yang esensial. Perlu regulasi yang lebih solid, bukan sekadar imbauan administratif,” katanya.
Lebih lanjut, ia menyoroti soal sumber pendanaan yang berasal dari dana desa, BUMDes, atau APBDes. Ia mempertanyakan efektivitas skema tersebut, mengingat banyak desa masih menghadapi tantangan tata kelola anggaran dan kapasitas sumber daya manusia.
Handi mengingatkan bahwa kehadiran koperasi baru dalam bentuk takeover atas bisnis eksisting justru dapat mengganggu ekosistem UMKM yang sudah terbentuk secara organik.
“Alih-alih memperkuat UMKM, model ini bisa membuat pelaku usaha kecil terpuruk karena terjadi duplikasi usaha. Apalagi kalau koperasi mendapatkan privilese dari dana publik,” ujarnya.
Hingga 31 Mei 2025 telah terbentuk 72.600 Koperasi Merah Putih, baik yang benar-benar baru maupun hasil pengembangan koperasi yang telah ada. Namun, Handi menilai angka fantastis itu bukan jaminan keberhasilan jika tidak dibarengi dengan kesiapan kelembagaan dan keberpihakan terhadap masyarakat lokal.
“Kalau ini hanya kejar target jumlah, bukan kualitas dan daya tahan, maka berisiko besar terhadap efektivitas pembangunan. Ini bukan sekadar urusan angka,” pungkasnya.(*)