KABARBURSA.COM - Krisis properti yang melanda China selama beberapa tahun terakhir diperkirakan akan berlanjut hingga 2025, dengan harga dan penjualan yang tetap lesu meskipun pemerintah telah mengeluarkan stimulus untuk merangsang permintaan, demikian menurut Fitch Ratings.
Harga rumah baru di China diperkirakan akan turun 5 persen lagi tahun depan, sebagaimana dilaporkan oleh biro statistik resmi China, dengan laju penurunan yang mirip dengan tahun ini, ujar Wang Ying, direktur pelaksana di Fitch yang berbasis di Shanghai. Wang juga memperkirakan penjualan rumah baru akan merosot sekitar 10 persen lagi.
“Puncak untuk sektor real estat masih belum tercapai,” kata Wang seperti dilansir bloomberg di Jakarta, Kamis 28 November 2024. “Apakah perbaikan yang terlihat baru-baru ini dapat berlanjut, masih penuh dengan ketidakpastian.”
Dalam dua bulan terakhir, China telah meluncurkan serangkaian kebijakan terkuat untuk menghidupkan kembali pasar properti. Kebijakan tersebut termasuk pemotongan suku bunga pinjaman hipotek, pelonggaran pembatasan pembelian properti di kota-kota besar, serta penurunan pajak pembelian rumah.
Guangzhou, pusat perdagangan utama, menjadi kota pertama yang menghapus seluruh pembatasan pembelian properti hunian. Beijing, Shanghai, dan Shenzhen juga mulai memperlonggar aturan, memberi lebih banyak kesempatan bagi warga untuk membeli rumah di kawasan pinggiran kota, sementara beberapa daerah lain memperbolehkan pembelian rumah lebih banyak.
Langkah-langkah tersebut berhasil meredakan penurunan harga rumah di China untuk bulan kedua berturut-turut pada Oktober lalu. Namun, pemulihan penjualan sebagian besar hanya terlihat di kota-kota besar, tanpa meluas ke kota-kota kecil, kata Wang. Yang lebih mengkhawatirkan, harga di pasar rumah yang sudah ada terus turun, sementara jumlah properti yang belum terjual terus menumpuk, menandakan bahwa sektor yang masih diawasi ketat di kota-kota besar belum mencapai titik terendah, tambahnya.
Kondisi ini akan menambah tekanan pada perbankan China, yang sudah bergulat dengan margin terendah, laba yang terus menurun, dan meningkatnya jumlah utang macet dari peminjam korporat. Margin bunga bersih bank-bank China tercatat hanya 1,5 persen pada kuartal ketiga, yang merupakan yang terendah di kawasan Asia Pasifik, dan diperkirakan akan terus menyusut pada tahun depan, jelas Vivian Xue, direktur lembaga keuangan di Fitch.
Rasio pinjaman bermasalah pada hipotek rumah juga mengalami peningkatan tipis, sekitar 10 hingga 20 basis poin dalam beberapa kuartal terakhir. Hal ini disebabkan oleh ekspektasi pendapatan yang suram dan lambatnya penyelesaian proyek perumahan, yang mengurangi keinginan pembeli untuk melunasi hipotek mereka, ujar Xue.
Kemungkinan Gagal Bayar
Pengembang properti terkemuka asal China, Road King Infrastructure Ltd, kini berada di ujung tanduk. Perusahaan ini memperingatkan para investornya tentang kemungkinan gagal bayar jika proposal pembelian kembali sebagian obligasi dengan harga diskon tidak disetujui. Langkah ini diharapkan bisa memberi perusahaan lebih banyak waktu untuk melunasi sisa utang mereka.
Road King menawarkan untuk membeli kembali lima obligasi dolar offshore dengan harga antara USD257,50 hingga USD515 per USD1.000 nilai pokok. Namun, total dana yang dialokasikan maksimal hanya USD60 juta. Selain itu, perusahaan ini juga berencana memperpanjang jatuh tempo obligasi lainnya selama 3,5 tahun dari tanggal awal jatuh tempo.
Dalam pengajuan terbaru pada Kamis 20 Juni 2024 kemarin, Road King menyatakan bahwa jika Penawaran Tender dan Permintaan Persetujuan tidak berhasil, mereka mungkin tidak bisa memenuhi kewajiban pembayaran mereka. Portofolio perusahaan ini mencakup apartemen hunian di daratan China dan Hong Kong, serta operasi jalan tol di Indonesia.
Jika upaya ini gagal, Road King menyatakan akan mempertimbangkan opsi lain, termasuk merestrukturisasi semua pinjaman luar negeri. Langkah ini menunjukkan bahwa sektor properti di China masih mengalami krisis likuiditas, meskipun pemerintah China telah mengeluarkan berbagai kebijakan pendukung.
Sebagian besar saldo kas Road King disimpan di China dan dialokasikan untuk modal kerja proyek-proyek di negara tersebut, termasuk biaya konstruksi, pembayaran bunga, dan pelunasan pinjaman proyek. Hanya sebagian kecil sumber daya yang tersedia untuk mengirim uang ke luar negeri, guna memenuhi penawaran tender dan permintaan persetujuan yang jatuh tempo pada Juli 2024.
Pada Kamis, obligasi dolar 6,7 persen milik Road King yang jatuh tempo pada September diperdagangkan di 52 sen dolar per dolar, menurut data Bloomberg. Ini menunjukkan kekhawatiran investor terhadap kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya.
Tahun 2024 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi sektor properti di China. Krisis likuiditas yang melanda sejumlah pengembang besar mencerminkan ketidakstabilan yang sedang berlangsung. Meskipun pemerintah China telah berupaya memberikan berbagai kebijakan pendukung, banyak perusahaan masih berjuang untuk memenuhi kewajiban finansial mereka.
Penurunan Penjualan dan Harga Properti
Penurunan penjualan properti di China terus berlanjut. Data menunjukkan bahwa penjualan rumah baru di kota-kota besar mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini diperburuk oleh penurunan harga properti, yang membuat banyak pengembang kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup untuk menutupi biaya operasional dan kewajiban utang mereka.
Pengembang besar seperti Evergrande dan Road King Infrastructure Ltd. menjadi contoh nyata dari krisis likuiditas yang melanda sektor ini. Evergrande, misalnya, telah berjuang untuk mengelola utang yang sangat besar dan telah gagal membayar beberapa kewajiban utangnya. Road King, di sisi lain, baru-baru ini memperingatkan investor tentang kemungkinan gagal bayar jika proposal restrukturisasi utang tidak disetujui.
Pemerintah China telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendukung sektor properti, termasuk pelonggaran peraturan pinjaman dan dorongan untuk pembangunan perumahan yang lebih terjangkau. Namun, dampak dari kebijakan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh pasar. Banyak pengembang masih mengalami kesulitan mendapatkan pembiayaan yang diperlukan untuk melanjutkan proyek mereka.
Meski situasi saat ini tampak suram, ada harapan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah akan mulai menunjukkan hasil dalam jangka menengah hingga panjang. Pengembang yang mampu beradaptasi dengan kondisi pasar yang berubah dan yang memiliki manajemen keuangan yang kuat mungkin akan keluar dari krisis ini dengan posisi yang lebih baik.
Penurunan signifikan dalam penjualan dan harga properti di kota-kota besar. Banyak pengembang besar mengalami kesulitan keuangan yang serius. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan, namun dampaknya belum sepenuhnya terasa. Optimisme hati-hati terhadap pemulihan jangka menengah hingga panjang.
Kinerja properti di China saat ini mencerminkan periode yang penuh tantangan, dengan banyaknya pengembang yang harus menavigasi krisis likuiditas dan adaptasi terhadap kebijakan baru. Namun, dengan strategi yang tepat dan dukungan kebijakan yang berkelanjutan, ada potensi untuk pemulihan yang stabil di masa depan.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.