KABARBURSA.COM - Pada September 2024, pemerintah Irak mengambil langkah signifikan dengan mengurangi produksi minyak mentah di bawah kuota yang ditetapkan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC+). Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari komitmen Irak untuk menjaga keseimbangan pasar minyak global, meskipun pengurangan tersebut menempatkan produksi Irak di bawah tingkat yang disepakati dalam perjanjian OPEC+.
Menurut laporan perusahaan minyak Irak, SOMO (State Oil Marketing Organization), Irak mengurangi produksi minyak sebesar 260.000 barel per hari, sehingga total produksinya turun menjadi 3,94 juta barel per hari sepanjang September. Angka ini 60.000 barel per hari lebih rendah dari kuota yang ditetapkan oleh OPEC+. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh upaya kepemimpinan OPEC+ yang terus mendorong anggotanya, termasuk Irak, untuk mematuhi pengurangan produksi yang telah dijanjikan sejak awal tahun.
Secara rinci, pengurangan produksi terjadi di dua wilayah utama Irak. Di wilayah Kurdistan, yang semi-otonom, produksi minyak berkurang sebesar 140.000 barel per hari. Sementara itu, di wilayah selatan Irak, yang menjadi pusat produksi minyak terbesar di negara ini, pengurangan mencapai 120.000 barel per hari. Ladang-ladang minyak utama seperti Majnoon di Basra dan Nasiriyah juga mengalami penurunan produksi yang signifikan.
Kepala Divisi Riset Pasar SOMO, Mohammed Al-Najjar, menjelaskan bahwa pengurangan sebesar 100.000 barel per hari dilakukan di ladang-ladang minyak di Basra, termasuk Majnoon, mulai 27 Agustus 2024. Selain itu, ladang minyak Nasiriyah turut berkontribusi dengan pengurangan 20.000 barel per hari.
Di Kurdistan, Menteri Sumber Daya Alam sementara, Mohammad Salih, juga mengumumkan bahwa produksi minyak di wilayah tersebut telah berkurang hingga 50 persen menjadi 140.000 barel per hari pada awal September.
Pengaruh Terhadap Pasar dan OPEC+
Pengurangan produksi Irak terjadi di tengah fluktuasi harga minyak global. Meski harga minyak sempat melonjak akibat ketegangan geopolitik di Timur Tengah, harga minyak berjangka tetap 10 persen di bawah puncaknya pada Juli 2024. Melambatnya permintaan global dan peningkatan produksi dari Amerika Serikat turut membebani harga minyak, yang saat ini berada di sekitar USD 79 per barel untuk Brent. Harga ini dinilai terlalu rendah untuk beberapa negara anggota OPEC, yang membutuhkan harga lebih tinggi untuk menutupi pengeluaran pemerintah mereka.
Langkah pengurangan produksi ini merupakan bagian dari upaya kolektif OPEC+ untuk menstabilkan pasar minyak mentah global dan mencegah terjadinya surplus. Irak, bersama dengan negara-negara seperti Rusia dan Kazakhstan, terus mendapatkan tekanan dari OPEC+ untuk sepenuhnya mengimplementasikan pengurangan yang disepakati. Pengurangan tambahan ini juga bertujuan untuk mengkompensasi kelebihan produksi yang terjadi sebelumnya.
Meskipun beberapa analis memperkirakan bahwa produksi minyak Irak pada September mencapai 4,25 juta barel per hari, angka resmi dari SOMO menunjukkan angka yang lebih rendah. Sekretariat OPEC di Wina diharapkan akan merilis estimasi mereka dalam beberapa minggu ke depan, menggunakan data dari berbagai sumber eksternal untuk mengevaluasi kepatuhan anggota terhadap perjanjian.
Tantangan dan Rencana OPEC+
Langkah Irak dalam menurunkan produksi minyak merupakan bagian dari rangkaian pengurangan yang dimulai OPEC+ sejak akhir 2022 untuk menjaga stabilitas harga. Kelompok yang terdiri dari 23 negara, dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia, kini berupaya secara bertahap memulihkan produksi sekitar 2,2 juta barel per hari yang terhenti. Namun, rencana ini terus tertunda karena kondisi pasar yang rapuh dan ketidakpastian permintaan global.
OPEC+ berencana untuk memulai kenaikan produksi bulanan pertama pada Desember 2024. Namun, langkah ini masih bergantung pada kondisi pasar dan kepatuhan anggota terhadap pengurangan yang telah disepakati. Analis dari RBC Capital LLC menyebut bahwa Arab Saudi mungkin mempercepat peningkatan produksi jika anggota OPEC+ lainnya tidak mematuhi pengurangan yang dijanjikan.
Harga Minyak Dunia
Harga minyak dunia kembali merosot pada Jumat, 11 Oktober 2024, meskipun mencatat kenaikan mingguan kedua berturut-turut. Penurunan ini terjadi saat investor mencermati potensi gangguan pasokan akibat ketegangan di Timur Tengah serta dampak dari Badai Milton yang menghantam Florida.
Berdasarkan laporan Reuters, harga minyak mentah Brent turun sebesar 36 sen atau 0,45 persen menjadi USD79,04 per barel. Sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) melemah 29 sen atau 0,38 persen ke level USD75,56 per barel. Walaupun terjadi penurunan harian, secara mingguan kedua acuan minyak ini tetap mencatat kenaikan lebih dari 1 persen.
Kepala Ekonom Matador Economics, Tim Snyder, mengungkapkan bahwa ketegangan meningkat setelah Israel mempertimbangkan kemungkinan respons terhadap serangan Iran. “Jika Israel menghancurkan infrastruktur minyak dan gas Iran, harga minyak akan melonjak,” ujar Snyder.
Iran, yang diduga meluncurkan lebih dari 180 rudal ke Israel pada awal Oktober, meningkatkan potensi respons yang dapat memengaruhi pasar energi global. Namun, hingga kini Israel belum mengambil langkah militer.
Analis di Again Capital, John Kilduff, menyebut harga WTI di level USD75 per barel masih tergolong wajar di tengah ketidakpastian yang tinggi ini. Sementara itu, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, memperingatkan bahwa serangan terhadap Iran akan mematikan, tepat sasaran, dan mengejutkan.
Ketegangan ini juga memicu kekhawatiran di antara negara-negara Teluk, yang mendesak Amerika Serikat untuk mencegah serangan Israel terhadap Iran, khawatir fasilitas minyak mereka dapat menjadi target balasan Iran dan sekutunya.
Selain faktor geopolitik, badai Milton yang melanda Florida juga memberikan tekanan pada harga minyak. Meskipun menewaskan setidaknya 10 orang dan memutus aliran listrik ke jutaan penduduk, badai ini berpotensi menurunkan konsumsi bahan bakar di negara bagian tersebut. Florida, sebagai konsumen bensin terbesar ketiga di Amerika Serikat, sangat bergantung pada impor bahan bakar, yang sempat terganggu akibat badai.
Di sisi lain, pemulihan produksi minyak Libya hingga 1,25 juta barel per hari setelah krisis di bank sentral, serta laporan pendapatan yang melemah dari beberapa perusahaan minyak besar seperti BP, turut berkontribusi pada penurunan sentimen pasar. BP melaporkan bahwa laba kuartal ketiga mereka menurun hingga USD600 juta akibat melemahnya margin kilang dan menurunnya permintaan bahan bakar secara global.
Ahli strategi pasar dari IG, Yeap Jun Rong, menambahkan bahwa cadangan minyak mentah yang tinggi serta pelonggaran kebijakan moneter yang lebih lambat dari The Fed juga menjadi faktor yang menahan kenaikan harga minyak baru-baru ini.(*)