KABARBURSA.COM - Keuntungan industri di China masih belum pulih betul. Dua bulan pertama tahun ini, profit industri tercatat turun 0,3 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Meski begitu, penurunan ini jauh lebih landai dibanding tahun 2024 yang merosot sampai 3,3 persen. Data ini dirilis Biro Statistik Nasional China pada Kamis, 27 Maret 2025 dan dihitung berdasarkan rata-rata dua bulan pertama tahun agar tidak bias akibat libur panjang Imlek.
Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Kamis, salah satu ahli statistik di biro tersebut, Yu Weining, mengatakan perbaikan ini sebagian besar terbantu oleh program tukar-tambah barang konsumsi dan insentif pembaruan peralatan industri yang diluncurkan Beijing tahun lalu. Tapi, Yu juga mengingatkan banyak pelaku usaha masih menghadapi situasi yang berat akibat ketidakpastian global yang makin besar.
Sejak musim gugur tahun lalu, China sudah habis-habisan mengeluarkan jurus pertumbuhan ekonomi—dari pemangkasan suku bunga, suntikan dana ke pasar, pelonggaran aturan properti, hingga pinjaman pemerintah yang digeber besar-besaran. Hasilnya, stabilisasi ekonomi mulai terasa. Tapi kekhawatiran soal tarif dari Amerika Serikat masih jadi ganjalan utama.
Di tengah pasar properti yang belum pulih dan ancaman perang dagang dari AS, para pejabat China kini mulai membidik sumber-sumber pertumbuhan baru dari sektor teknologi. Salah satunya adalah konsep “ekonomi rendah langit”—yakni industri transportasi udara di ketinggian rendah, baik dengan pilot maupun tanpa awak, untuk kebutuhan mobilitas pribadi maupun pengiriman barang.
Sejak tahun lalu, kota-kota besar di China berlomba merancang strategi untuk mengembangkan moda transportasi futuristik seperti mobil terbang—meski analis menilai realisasinya masih butuh waktu lama. Tapi ada satu bentuk kendaraan yang dinilai lebih realistis dalam waktu dekat, yaitu pesawat electric vertical take-off and landing (eVTOL)—pesawat listrik dengan kemampuan lepas landas dan mendarat vertikal, mirip gabungan antara drone besar dan helikopter mungil.
Menurut analis Gavekal Dragonomics, Tilly Zhang, China punya bekal kuat di bidang teknologi baterai dan rantai pasok yang bisa jadi fondasi utama untuk mengembangkan kendaraan jenis ini. Selain eVTOL, pemerintah lokal juga mulai menggelontorkan dana besar untuk mendukung pengembangan drone sipil, yang digadang-gadang bisa mempercepat pengiriman jarak pendek.
Beberapa startup seperti Volant dan AutoFlight mulai mendapat suntikan modal besar, baik dari pemerintah maupun investor swasta. Sejumlah provinsi bahkan sudah membuat dana khusus untuk mendukung sektor ini. Tapi belum ada jaminan apakah ekonomi rendah langit benar-benar bisa menjadi mesin pertumbuhan baru. Analis menilai jalannya masih panjang dan penuh tantangan, terutama terkait faktor keselamatan publik.
Sektor lain yang juga jadi andalan Beijing untuk memperkuat produktivitas industri adalah kecerdasan buatan (AI). Menurut proyeksi Goldman Sachs, AI bisa mulai menyumbang tambahan pertumbuhan ekonomi China mulai 2026. Dalam jangka panjang, AI diperkirakan menyumbang tambahan hampir 1 persen terhadap pertumbuhan PDB tahunan China pada akhir dekade ini.
Investasi terkait AI pun diperkirakan akan melonjak dalam beberapa tahun ke depan. Pemerintah juga sedang mendorong penggunaan robot humanoid di pabrik-pabrik. Kombinasi AI dan robot ini dipandang bisa menjadi senjata baru China untuk memperkuat posisi sebagai raksasa industri dunia. Tapi, di sisi lain, kemajuan ini bisa memperparah tekanan di pasar tenaga kerja, terutama bagi pekerja berkeahlian rendah yang jumlahnya masih besar.
Dengan semua gebrakan ini, jelas China sedang memutar arah ekonominya—meninggalkan ketergantungan pada properti dan memburu pertumbuhan lewat teknologi mutakhir. Tapi, apakah strategi ini bisa menyelamatkan ekonomi mereka di tengah ketidakpastian global? Masih perlu waktu untuk menjawabnya.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi China
Meski laju keuntungan industri China belum sepenuhnya pulih, sinyal-sinyal optimisme justru mulai bermunculan dari sektor lain—sejumlah bank global kini kompak memperbarui proyeksi pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu ke arah yang lebih cerah.
Dalam sebulan terakhir, sejumlah bank papan atas seperti HSBC, ANZ, dan Citi kompak mengerek proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China. Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Rabu, 26 maret 2025, HSBC dan ANZ kini memperkirakan pertumbuhan ekonomi China mencapai 4,8 persen, sementara Citi sedikit di bawah di angka 4,7 persen. Padahal sebelumnya, ketiganya masih bermain di kisaran 4,2 hingga 4,5 persen. Perkiraan anyar ini makin mendekati target ambisius pemerintah China yang membidik pertumbuhan sekitar 5 persen.
Sementara itu, Morgan Stanley, BBVA, dan Nomura juga ikut-ikutan merevisi prediksi mereka meski tetap lebih konservatif. Ketiga bank tersebut kini mematok angka 4,5 persen, naik dari estimasi awal yang hanya di kisaran 4 persen. Revisi ini tidak datang tiba-tiba. Pekan lalu, China melaporkan serangkaian data ekonomi awal tahun yang bikin kening banyak analis mengernyit—bukan karena bingung, tapi karena kagum. Konsumsi masyarakat yang tercermin dalam penjualan ritel tumbuh lebih cepat, sementara investasi dan produksi industri pun naik melebihi ekspektasi.
Pasar properti yang selama ini jadi titik lemah juga mulai menunjukkan tanda-tanda stabil. Penjualan rumah dari 100 pengembang terbesar naik 1,2 persen pada Februari dibanding tahun lalu, meskipun bulan sebelumnya masih minus 3,2 persen. Ini seperti percikan kecil di tengah bara: belum meledak, tapi cukup memberi harapan.
Tak berhenti di situ, pemerintah China mengumumkan bakal menambah utang untuk mendanai stimulus baru. Fokusnya kini beralih ke penguatan konsumsi domestik lewat peningkatan pendapatan rumah tangga dan jaminan sosial. Ada juga komitmen untuk menjaga stabilitas pasar properti dan saham, meski rinciannya masih disimpan rapat.
Menurut catatan analis HSBC, kombinasi tekad pemerintah yang lebih kuat, respons kebijakan yang lebih cepat, dan data aktivitas ekonomi yang menggembirakan menjadi alasan utama mereka kini lebih optimistis. Dan rupanya bukan cuma para ekonom yang mulai sumringah. Investor yang menjadi klien Goldman Sachs pun mulai melirik China lagi.
Sektor kecerdasan buatan menjadi bintang baru, ditambah pelonggaran regulasi yang membuat sektor swasta bisa bernapas lebih lega. Meski begitu, Goldman tetap mengingatkan bahwa kebijakan masih jadi kunci utama. “Tunas-tunas hijau mulai tumbuh di beberapa sudut ekonomi, tapi hasil akhirnya tetap tergantung dari seberapa serius pemerintah mengawal kebijakan,” tulis mereka.
Di sisi lain, BBVA menyoroti bahwa tarif baru dari AS sejauh ini belum seekstrem ancaman kampanye Donald Trump. Trump memang mengancam akan mematok tarif hingga 60 persen untuk produk-produk China, tapi sejauh ini baru 20 persen yang benar-benar diterapkan. Namun ancaman tetap ancaman. BBVA memperingatkan kalau tarif 60 persen bisa benar-benar terjadi, tergantung dari hasil negosiasi AS-China.
Sayangnya, di balik geliat pertumbuhan ini, China masih harus menghadapi risiko-risiko yang tak bisa diabaikan. Para ekonom menilai belum ada jaminan stimulus saat ini cukup untuk memulihkan pasar properti yang sedang terseok. Belum lagi kekhawatiran konsumen yang masih dihantui tekanan disinflasi, lemahnya kepercayaan diri, dan pasar kerja yang belum benar-benar pulih.
Morgan Stanley pun mengingatkan, jika respons kebijakan China terhadap tarif AS terlalu reaktif, pemulihan ekonomi yang lebih luas bisa ikut terganggu. "Kami masih meyakini kerangka kebijakan yang dipakai pemerintah adalah untuk menjaga dasar pertumbuhan, bukan menciptakan reflasi cepat dengan stimulus besar-besaran," tulis mereka.
Jadi meskipun langit sudah mulai cerah, awan gelap belum sepenuhnya pergi. Namun buat para pemodal dan pembuat kebijakan, setidaknya ada secercah harapan dari Timur yang bisa digenggam.(*)