KABARBURSA.COM – Setelah sempat menggegerkan dunia dengan program Made in China 2025, Beijing kini memutar haluan. Arah pembangunan ekonomi diarahkan pada sektor-sektor teknologi mutakhir yang masih dalam tahap embrionik. Strategi ini diberi nama baru: industri masa depan.
Langkah ini tak sekadar respons atas stagnasi ekonomi domestik, tetapi juga bagian dari persaingan strategis dengan Amerika Serikat. Pemerintah China berambisi menjadi kekuatan utama dalam revolusi industri generasi berikutnya, mulai dari robot humanoid, komputasi kuantum, hingga antarmuka otak-komputer.
Apa Itu Industri Masa Depan?
Dilansir dari South China Morning Post di Jakarta, Ahad, 13 Juli 2025, istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Presiden Xi Jinping pada 2020. Konsepnya merujuk pada sektor teknologi yang masih dalam tahap awal pengembangan, namun diyakini memiliki potensi transformatif bagi ekonomi global.
Dalam Rencana Lima Tahun 2021–2025, pemerintah China menetapkan tujuh bidang prioritas, yakni kecerdasan buatan berbasis otak, informasi kuantum, teknologi genetik, jaringan masa depan, eksplorasi laut dalam dan luar angkasa, serta energi dan penyimpanan hidrogen.
Daftar ini terus bertambah. Pada 2024, Kementerian Industri dan Teknologi Informasi China (MIIT) mengeluarkan pedoman baru yang mencakup sektor-sektor seperti robot humanoid, jaringan 6G, pusat data AI skala besar, hingga pesawat generasi terbaru.
Sejauh Mana Progresnya?
Hangzhou, ibu kota Provinsi Zhejiang, kini digadang-gadang sebagai Silicon Valley versi China. Enam startup teknologi dari kota ini—dikenal sebagai "Enam Naga Kecil"—telah menarik perhatian dunia. Mereka adalah DeepSeek, Game Science (pengembang Black Myth: Wukong), Unitree, Deep Robotics, BrainCo (terinspirasi dari Neuralink milik Elon Musk), dan Manycore yang fokus pada kecerdasan spasial.
Menurut Morgan Stanley, China kini menjadi rumah bagi 56 persen perusahaan humanoid publik di dunia, dan 45 persen integrator sistem humanoid global.
Tak hanya di bidang robotik, sektor bioteknologi China juga mengalami lonjakan pesat. Hingga Maret 2025, China telah menyetujui lima terapi CAR-T untuk pengobatan kanker darah. Ini menjadikannya negara kedua setelah AS dalam jumlah lisensi terapi ini.
Perusahaan biotek seperti WuXi AppTec bahkan disebut oleh parlemen AS sebagai “Huawei-nya bioteknologi,” karena dinilai punya potensi mengendalikan rantai pasok global.
Ke Mana Arah Selanjutnya?
Pemerintah China tak tanggung-tanggung mengucurkan dana dan insentif untuk mempercepat lompatan inovasi. Tahun lalu, MIIT memperkenalkan model baru, yakni tantangan teknologi terbuka, di mana perusahaan atau institusi riset yang bisa memecahkan persoalan teknis dalam dua tahun akan diberi akses prioritas terhadap pendanaan dan dukungan negara.
Untuk 2025, target utama pemerintah adalah terobosan dalam teknologi kuantum, manufaktur skala atom, dan hidrogen bersih.
Namun, kemajuan pesat ini juga membawa tantangan. Di tengah lesunya pasar tenaga kerja, perusahaan teknologi canggih justru mengalami krisis talenta. Beberapa perusahaan robotika menawarkan gaji hingga empat kali lipat dari rata-rata nasional untuk menarik insinyur dan pengembang berpengalaman.
Demi melancarkan pembiayaan inovasi, pemerintah berencana kembali mengizinkan startup yang belum untung untuk melantai di bursa teknologi. Hal ini disampaikan Kepala Otoritas Bursa, Wu Qing, dalam Forum Lujiazui Juni lalu.
Dalam forum yang sama, Gubernur Bank Sentral Pan Gongsheng menyatakan Shanghai akan menguji instrumen keuangan baru, seperti obligasi inovasi berbasis teknologi dan pembiayaan perdagangan berbasis blockchain. Skema ini akan melibatkan pembagian risiko dan dukungan bagi perusahaan modal ventura yang menerbitkan obligasi teknologi.(*)