KABARBURSA.COM - Lonjakan angka pengangguran muda menjadi ancaman nyata bagi masa depan perekonomian Indonesia.
Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) usia 15–24 tahun mencapai 16,16 persen. Angka ini lebih dari tiga kali lipat rata-rata nasional yang hanya sebesar 4,76 persen.
Situasi ini kian mengkhawatirkan karena lebih dari separuh, tepatnya 52,64 persen, dari total 7,47 juta penganggur nasional berasal dari kelompok usia muda.
CORE Indonesia menilai kondisi tersebut bukan sekadar statistik temporer, melainkan gejala struktural yang telah lama mengakar dalam sistem ekonomi nasional. Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, menegaskan bahwa tingginya pengangguran anak muda menunjukkan kegagalan pembangunan ekonomi dalam menyediakan lapangan kerja yang inklusif dan produktif.
“Sejak dekade 1990-an, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak diiringi oleh penciptaan lapangan kerja berkualitas untuk kaum muda. Bonus demografi hanya bisa menghasilkan dividen jika ditopang oleh ekosistem ketenagakerjaan yang responsif,” kata Faisal dalam laporan COREinsight, edisi Mei 2025, dikutip Rabu, 21 Mei 2025.
Indonesia kini menghadapi risiko gagal panen bonus demografi, suatu periode emas di mana penduduk usia produktif mendominasi komposisi penduduk. Alih-alih memperkuat mesin ekonomi, lonjakan pengangguran muda justru memperbesar potensi output gap.
Situasi ini diperparah dengan stagnasi penurunan pengangguran muda sejak 2010. Jika pada 2005–2010 angka pengangguran muda berhasil ditekan hingga 42 persen, maka sepanjang 2011–2024 penurunannya hanya sebesar 9 persen.
Kondisi ini memperlihatkan lemahnya dampak kebijakan ketenagakerjaan selama satu dekade terakhir.
Meskipun berbagai program pelatihan dan vokasi digulirkan, angka NEET (Not in Employment, Education or Training) pada 2023 masih sangat tinggi, yakni mencapai 21,4 persen. Angka ini jauh di atas Vietnam (10,8 persen), Malaysia (10,2 persen), bahkan rata-rata dunia yang berada di angka 20,4 persen.
Fenomena ini menunjukkan bahwa semakin banyak anak muda yang tidak terserap pasar kerja maupun pendidikan.
Sementara itu, industrialisasi yang diharapkan menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja justru mengalami stagnasi.
Dalam periode Agustus 2024 hingga Februari 2025, lebih dari 1,38 juta pekerja kehilangan pekerjaan. Sebagian besar pemutusan hubungan kerja terjadi di sektor konstruksi, manufaktur, dan jasa lainnya, yang selama ini menjadi andalan lapangan kerja nasional.
Dampaknya paling besar dirasakan oleh anak muda, terutama lulusan SMK dan diploma, yang kini terpaksa masuk ke sektor informal berupah rendah.
Dalam laporannya, CORE Indonesia menyebut bahwa transformasi ekonomi Indonesia mengalami “lompatan tidak mulus” dari sektor agraris langsung ke sektor jasa, tanpa melalui fase industrialisasi yang kuat. Fenomena ini disebut sebagai premature servicization, yang menghasilkan pertumbuhan sektor jasa yang dominan informal dan kurang mampu menyerap tenaga kerja muda secara luas.
Di sisi lain, ketimpangan antara sistem pendidikan dan kebutuhan industri juga menjadi akar masalah. Kurikulum vokasi dinilai belum selaras dengan kebutuhan dunia usaha. Pelatihan masih bersifat formalitas, minim keterlibatan industri, dan tak memiliki skema rekrutmen yang konkret.
“Kalau kita tidak cepat menyinkronkan arah pendidikan dan kebijakan investasi, maka anak-anak muda hanya akan menjadi korban ekonomi. Mereka menganggur di usia produktif, dan ini berbahaya secara makro,” ujar Yusuf Rendy Manilet, ekonom CORE Indonesia yang juga menjadi penulis utama laporan tersebut.
Potensi kehilangan produktivitas dalam skala nasional pun tak bisa diabaikan. CORE mencatat bahwa sekitar 44 persen anak muda yang bekerja, terjebak dalam sektor informal.
Artinya, tidak hanya angka pengangguran yang tinggi, kualitas pekerjaan yang tersedia pun berada di bawah standar upah dan tanpa perlindungan sosial yang memadai.
Jika tidak ditangani segera, Indonesia berisiko masuk dalam jebakan “getting old before getting rich”, menjadi tua sebelum sempat menjadi negara maju.
Momentum bonus demografi yang hanya datang sekali dalam sejarah bisa berlalu tanpa menghasilkan dampak ekonomi yang signifikan.
“Ini bukan lagi alarm dini. Ini sudah sirine merah bagi sistem ekonomi kita,” tegas Faisal.
Pemerintah didorong untuk mengubah paradigma pembangunan tenaga kerja, dari sekadar mencetak program pelatihan menjadi upaya sistemik menyambungkan pendidikan, industri, dan arah investasi.
Tanpa itu, generasi muda Indonesia berisiko kehilangan masa depan ekonominya, dan negara kehilangan peluang pertumbuhan yang seharusnya bisa dinikmati saat ini. (*)
 
      