KABARBURSA.COM – Sambil menggembar-gemborkan transisi energi lewat pembangkit berbahan bakar gas dan energi terbarukan, pemerintah Malaysia justru diam-diam tancap gas pada listrik batu bara. Lonjakan permintaan pusat-pusat data digital yang haus daya membuat negeri jiran kembali akrab dengan si hitam legam itu.
Data dari Grid System Operator (GSO) menunjukkan bahwa produksi listrik dari batu bara di Semenanjung Malaysia—wilayah yang menyumbang sekitar 80 persen kebutuhan listrik nasional—melonjak hampir 9 persen pada Mei dan Juni 2025. Kenaikan itu tiga kali lipat lebih tinggi dari pertumbuhan permintaan listrik secara keseluruhan, yang hanya 3 persen. Paruh pertama Juli, lonjakan lebih tajam lagi: listrik batu bara tumbuh 16,8 persen, sementara permintaan hanya naik 5,2 persen.
Kondisi itu didorong dua faktor utama, yakni harga batu bara dunia yang sedang murah dan sistem harga listrik Malaysia yang dikendalikan pemerintah alias tidak fleksibel. “Harga batu bara yang rendah, ditambah tarif listrik yang dipatok, telah membuat pembangkit gas tidak menarik tahun ini,” kata analis LNG dari Energy Aspects, Kesher Sumeet, dikutip dari Reuters di Jakarta, Selasa, 22 Juli 2025.
Akibatnya, Malaysia mencatat rekor impor batu bara: 20,9 juta ton metrik dalam enam bulan pertama 2025, menurut firma analitik Kpler. Pangsa batu bara dalam bauran energi Malaysia kini mencapai hampir 60 persen—tertinggi sejak pandemi COVID-19. Sebaliknya, kontribusi gas alam terus menurun dan diperkirakan menyentuh titik terendah sejak ekonomi sempat mandek akibat wabah global itu.
Sepuluh bulan berturut-turut, output listrik berbahan gas terus menyusut, dengan rata-rata penurunan bulanan 11,3 persen hingga Juni. Pada Juli awal, penyusutan bahkan mencapai 15,3 persen.
Kondisi ini menjadi paradoks tersendiri bagi Malaysia—salah satu pengekspor LNG terbesar dunia—yang justru mulai mempertimbangkan untuk mengimpor gas karena permintaan naik dan cadangan menyusut. “Malaysia akan tetap bergantung pada batu bara dalam jangka pendek dan menengah karena biayanya hampir 40 persen lebih murah,” ujar analis Rystad Energy, Raksit Pattanapitoon.
Namun perubahan tak bisa dihindari. Pemerintah berencana menambah kapasitas listrik berbahan gas hingga 50 persen dan menggandakan kapasitas energi terbarukan pada 2030. Targetnya: mengurangi dominasi batu bara dan meladeni permintaan listrik yang bakal makin menggila dari sektor pusat data. Diprediksi, pada akhir dekade ini, pusat data akan menyedot 52 persen kebutuhan listrik di Semenanjung Malaysia—bandingkan dengan 2 persen saja saat ini.
Tenaga Nasional Berhad, perusahaan listrik pelat merah, memperkirakan permintaan listrik sepanjang 2025 akan tumbuh hingga 4,5 persen. Pada kuartal pertama sempat turun akibat lesunya konsumsi rumah tangga, tapi tren ke depan menunjukkan sebaliknya: data adalah minyak baru, dan pusat data haus daya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.