KABARBURSA.COM, JAKARTA - Sorotan matanya tajam. Dahinya mengkerut. Dari podium istana berlogo garuda. Siang itu Prabowo mengumumkan nilai program janji kampanyenya kisaran Rp15 ribu per anak. Ia berulang tegaskan kalau angka segitu cukup. Memenuhi makan anak anak sekolah dan ibu hamil.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu inisiatif besar yang diusung oleh pemerintah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk meningkatkan kualitas kesehatan generasi muda Indonesia. Program ini bertujuan memberikan asupan makanan bergizi bagi anak-anak di seluruh negeri, dengan harapan dapat menekan angka stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Namun, meskipun program ini memiliki tujuan yang ambisius, realisasinya di lapangan menghadapi berbagai tantangan, termasuk keterbatasan anggaran. Awalnya, pemerintah mengajukan anggaran yang cukup besar, tetapi dalam perjalanannya mengalami pemangkasan yang berdampak pada kualitas serta efektivitas implementasi program.
Sementara itu, berdasarkan peraturannya, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024, pemerintah menunjuk Badan Gizi Nasional (BGN) untuk menjalankan tugas dalam pemenuhan gizi nasional. Program MBG diarahkan kepada kelompok-kelompok utama yang membutuhkan perhatian khusus dalam asupan nutrisi mereka. Salah satu kelompok utama yang menjadi sasaran program ini adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan dasar, menengah, kejuruan, keagamaan, khusus, layanan khusus, dan pesantren.
Artinya, anak-anak dalam masa pertumbuhan memerlukan gizi yang optimal guna mendukung proses belajar dan perkembangan kognitif mereka, sehingga program ini hadir sebagai solusi untuk memastikan kebutuhan tersebut terpenuhi.
Artikel ini akan mengupas lebih dalam mengenai visi besar di balik program MBG, realita anggaran yang mengalami pemangkasan, serta berbagai kendala di lapangan yang menghambat pelaksanaannya.
Visi dan Ambisi Program MBG
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan komitmen pemerintah dalam memastikan seluruh anak-anak Indonesia mendapatkan asupan makanan bergizi melalui program MBG.
“Yang jelas dari pemerintah pusat, kita siap semua anak-anak Indonesia akan kita beri makan tahun 2025 ini,” ucap Presiden kepada awak media usai menghadiri Musyawarah Nasional Konsolidasi Persatuan Kadin Indonesia pada Kamis, 16 Januari 2025 di The Ritz Carlton, Jakarta.
Program ini resmi dimulai pada 6 Januari 2025 dan diharapkan dapat menjadi langkah besar dalam meningkatkan kualitas kesehatan generasi muda Indonesia. Prabowo juga mengajak seluruh pihak untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan program ini.
“Kemudian dari pemda (pemerintah daerah) juga ingin ikut serta, para gubernur, para bupati ingin ikut serta monggo. Kita buka siapa pun yang mau ikut serta boleh,” katanya.
Dalam pelaksanaannya, sinergi antara seluruh pihak terkait dibutuhkan untuk memastikan program MBG berjalan sesuai tujuan. Kepala Negara menekankan bahwa pelaksanaan program ini harus efisien dan tepat sasaran. “Yang penting efisien, yang penting sampai ke sasaran, dan tidak ada kebocoran,” lanjutnya.
Pada Jumat, 17 Januari 2025, Presiden memimpin rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, dengan sejumlah menteri untuk membahas percepatan implementasi MBG. Kepala Badan Gizi Nasional atau BGN, Dadan Hindayana, menyebut bahwa program ini merupakan investasi strategis dalam mendukung pembangunan SDM menuju Indonesia Emas 2045.
“Ini kelihatannya akan menjadi fokus perhatian untuk Indonesia juga demikian karena ini adalah investasi terbesar sumber daya manusia untuk menyambut Indonesia emas 2045,” ujarnya.
Hingga pertengahan Januari 2025, program ini telah menjangkau 31 provinsi dan melibatkan 238 satuan pelayanan pemenuhan gizi. Presiden menyampaikan apresiasi atas berjalannya program ini yang mendapat dukungan luas dari berbagai kementerian dan lembaga.
Presiden juga menekankan pentingnya sinergi lintas sektor untuk memastikan kelancaran program ini. Kepala BGN menuturkan bahwa Presiden menaruh perhatian besar pada percepatan program agar seluruh anak Indonesia mendapatkan asupan makanan bergizi.
“Mulai dari perencanaan di Bappenas, bantuan Kementerian Pertahanan, TNI Polri, Menteri Desa, Menteri Koperasi, Menteri UMKM, Menteri Dalam Negeri, kemudian Menteri BUMN dan lain-lain supaya kami bisa segera melayani lebih banyak lagi anak di seluruh Indonesia termasuk ibu hamil, menyusui dan anak balita,” lanjutnya.
Program Makan Sehat Bergizi di salah satu sekolah dasar negeri di Jakarta. Foto: Abbas/KabarBursa.com
Presiden Prabowo menargetkan seluruh anak di Indonesia akan mendapatkan akses makan bergizi gratis pada akhir 2025. Namun, ia mengakui bahwa terdapat hambatan dalam distribusi yang bersifat fisik dan administratif, serta pentingnya pengamanan dana agar tidak terjadi penyelewengan.
“Makan bergizi ini secara fisik tidak mudah untuk segera ke seluruh rakyat. Untuk itu, saya Prabowo Subianto Presiden Republik Indonesia, saya minta maaf kepada semua orang tua, kepada semua anak-anak yang belum menerima. Tapi saya yakini bahwa tahun 2025, akhir 2025 semua anak Indonesia akan dapat makan bergizi,” ucap Presiden.
Presiden Prabowo menegaskan bahwa proyek MBG bukanlah proyek yang ringan, tetapi pemerintah telah memastikan bahwa dananya tersedia. “Ini proyek yang sangat besar, tidak ringan, fisiknya tidak ringan. Tapi saya jamin dananya ada, saya jamin dananya ada untuk semua anak-anak Indonesia makan. Yang sudah tidak perlu (program) makan ya tidak apa-apa. Beri jatahnya kepada yang perlu,” tegas Presiden.
Sasaran Program MBG
Selain peserta didik, kelompok anak usia di bawah lima tahun atau balita juga menjadi prioritas utama. Masa balita adalah periode kritis dalam tumbuh kembang seorang anak, di mana kekurangan gizi pada tahap ini dapat menyebabkan dampak permanen yang tidak dapat dipulihkan. Oleh karena itu, MBG berkomitmen untuk memberikan intervensi gizi yang tepat bagi anak-anak dalam rentang usia ini.
Tak hanya anak-anak, ibu hamil juga menjadi salah satu penerima manfaat utama dalam program ini. Kebutuhan gizi selama kehamilan sangat krusial untuk mencegah komplikasi kehamilan, kelahiran prematur, serta risiko stunting pada bayi yang dikandung. Dengan pemenuhan gizi yang cukup, diharapkan kesehatan ibu dan janin dapat terjaga dengan baik. Demikian pula dengan ibu menyusui, yang memerlukan asupan gizi berkualitas untuk mendukung produksi ASI yang optimal bagi bayi mereka. ASI yang berkualitas sangat berperan dalam memastikan pertumbuhan dan perkembangan bayi berlangsung dengan baik.
Program MBG menargetkan sebanyak 17.980.263 penerima manfaat hingga akhir tahun 2025. Saat ini, program ini telah dijalankan di berbagai kabupaten dan kota yang telah memiliki infrastruktur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Ke depan, prioritas utama akan diberikan kepada daerah-daerah 3T, yaitu daerah tertinggal, terdepan, dan terluar di Indonesia, guna memastikan bahwa seluruh anak-anak di negeri ini mendapatkan hak yang sama dalam pemenuhan gizi mereka.
Pelaksana Harian (Plh.) Direktur Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kemanusiaan Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan, Diah Dwi Utami, menjelaskan bahwa implementasi MBG mencakup berbagai aspek penting yang harus diperhatikan. Salah satu aspek utama adalah penyediaan makanan bergizi yang akan didistribusikan secara gratis ke sekolah-sekolah, posyandu, fasilitas kesehatan, atau bahkan langsung ke rumah tangga sasaran. Dalam hal ini, standar gizi seimbang harus terpenuhi, mencakup karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang diperlukan untuk mendukung kesehatan penerima manfaat.
Selain penyediaan makanan, MBG juga menitikberatkan pada edukasi gizi bagi masyarakat. Penyuluhan dan pendidikan gizi menjadi bagian penting dari program ini agar masyarakat semakin memahami pentingnya gizi seimbang dan cara pengolahan makanan yang baik dan higienis. Pemantauan dan evaluasi berkala juga dilakukan guna mengukur status gizi kelompok sasaran serta memastikan bahwa program ini berjalan secara efektif dan sesuai dengan tujuan awalnya.
Dalam pelaksanaannya, program ini melibatkan kerja sama lintas sektor yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, termasuk BGN, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, dan berbagai pihak terkait lainnya. Kolaborasi yang erat antara berbagai sektor ini diharapkan dapat memperlancar implementasi program dan menjangkau lebih banyak penerima manfaat dengan efektif.
Selain itu, pemberdayaan UMKM lokal juga menjadi bagian integral dari MBG. Dalam upaya mendukung ekonomi daerah dan menjamin ketersediaan pangan berkualitas, program ini mendorong pemanfaatan bahan baku dari petani dan produsen lokal. Dengan demikian, MBG tidak hanya berdampak positif terhadap pemenuhan gizi anak-anak dan kelompok rentan, tetapi juga membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat.
Dengan perencanaan yang matang, koordinasi lintas sektor yang kuat, serta pengawasan yang ketat, Program MBG diharapkan dapat berjalan optimal dan memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat. Program ini menjadi salah satu langkah strategis pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Dari Rp15.000 ke Rp10.000 per Porsi
Program MBG diyakini menghabiskan uang negara hingga Rp400 triliun setiap tahun. Meskipun pemerintah sudah menganggarkan dana Rp71 triliun untuk tahun ini, nyatanya anggaran tersebut diperkirakan habis dalam enam bulan ke depan, yakni Januari hingga Juni. Artinya, bujet tersebut tak cukup untuk 12 bulan penuh.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa program MBG memerlukan tambahan anggaran Rp140 triliun untuk dapat berjalan hingga akhir tahun. Jika dihitung, program MBG akan menelan dana sekitar Rp210 triliun sepanjang 2025.
Sayangnya, Prabowo menetapkan anggaran program MBG yang semula Rp15.000 menjadi Rp10.000. Pemangkasan ini merupakan imbas dari keterbatasan anggaran pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Meski program MBG digadang-gadang sebagai solusi bagi ketahanan pangan anak-anak Indonesia, realitas di lapangan menunjukkan berbagai tantangan. Salah satu yang paling krusial adalah pemangkasan anggaran dari Rp15.000 menjadi Rp10.000 per porsi.
Langkah ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kualitas makanan yang disediakan, serta efektivitas program dalam memenuhi kebutuhan gizi anak-anak. Kritik dari berbagai pihak pun bermunculan, mempertanyakan sejauh mana program ini tetap dapat memberikan manfaat optimal bagi penerima manfaatnya.
Sebelumnya, dengan anggaran Rp15.000, menu makanan lebih beragam dan bernutrisi tinggi, mencakup lauk hewani seperti ayam atau ikan, sayur, karbohidrat utama, serta susu atau buah sebagai pelengkap. Namun, dengan anggaran Rp10.000, beberapa elemen nutrisi mulai terpangkas.
Kendati berupaya melakukan penghematan anggaran, pemerintah nyatanya menganggarkan tambahan Rp100 triliun untuk mempercepat implementasi MBG bagi 82,9 juta penerima pada akhir 2025. Namun, Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, meragukan angka tersebut cukup untuk merealisasikan target tersebut.
“Saya berani mengatakan angka Rp100 triliun tersebut mengada-ngada. Untuk memenuhi target 17 juta penerima secara bertahap dari Januari hingga September saja, anggaran yang diperlukan mencapai Rp71 triliun, dan itupun diperkirakan hanya akan cukup sampai bulan Juni. Untuk memenuhi target 82,9 juta penerima, dengan implementasi seperti sekarang ini, anggaran yang dibutuhkan tidak akan kurang dari Rp400 triliun,” jelasnya, kepada Kabarbursa.com.
Data dari CELIOS menunjukkan bahwa 49 persen keluarga masih mengalami kekurangan makanan, terutama di kelompok berpenghasilan rendah. Dengan pemangkasan anggaran, tantangan dalam pemenuhan gizi semakin besar. Studi kasus di beberapa daerah menunjukkan perubahan signifikan dalam komposisi menu. Di Jakarta, menu Rp15.000 sebelumnya terdiri dari nasi, ayam suwir, sayur bening, tempe goreng, dan susu kotak. Setelah pemangkasan, menu berubah menjadi nasi, telur dadar, sayur bening, dan teh manis, yang lebih rendah protein dan vitamin.
Di daerah pelosok seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), keterbatasan bahan makanan lokal semakin diperparah dengan anggaran yang lebih kecil. Jika sebelumnya mereka dapat menyediakan ikan laut segar sebagai sumber protein, kini menu lebih banyak didominasi oleh tahu dan tempe yang lebih murah dan lebih mudah didistribusikan.
Pemangkasan anggaran ini mendapat kritik dari pakar gizi dan akademisi. Pakar ekonomi Media Wahyu Askar dari CELIOS menyoroti bahwa "program MBG bisa jadi bumerang jika tidak memperhitungkan kecukupan gizi anak-anak. Dengan anggaran Rp10.000, kualitas makanan cenderung menurun, yang justru berlawanan dengan tujuan utama program ini."
Selain itu, laporan CELIOS juga menyoroti bahwa 31 persen keluarga berpenghasilan rendah merasa terbantu dengan program ini, tetapi dengan anggaran yang lebih kecil, efektivitasnya dipertanyakan.
Masalah di Lapangan: Distribusi, Kualitas, dan Administrasi
Selain pemangkasan anggaran, tantangan utama program MBG juga terletak pada distribusi, kualitas makanan yang tidak merata antar daerah, serta masalah administratif yang memperlambat implementasi.
Distribusi bahan pangan ke daerah pelosok dan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) masih menghadapi banyak kendala. Data dari CELIOS menunjukkan bahwa 27 persen keluarga berpenghasilan rendah merasa beban biaya sekolah dan makan anak sangat besar. Program MBG diharapkan dapat mengurangi beban tersebut, tetapi tantangan logistik membuat efektivitasnya berkurang.
Di Papua, misalnya, distribusi bahan makanan seperti beras dan lauk pauk sering terhambat oleh minimnya infrastruktur. Di NTT, bahan makanan seperti ikan atau sayuran segar lebih sulit diakses dibandingkan daerah perkotaan. Dengan sistem distribusi yang masih terpusat, daerah-daerah ini tidak bisa memanfaatkan sumber pangan lokal secara optimal.
Perbedaan kualitas makanan juga menjadi perhatian utama. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, menu MBG cenderung lebih variatif dan bergizi dibandingkan dengan daerah terpencil. Laporan CELIOS menyebutkan bahwa standar makanan berbasis nasional tidak selalu sesuai dengan pola konsumsi lokal. Di Papua, misalnya, makanan pokok masyarakat adalah sagu dan umbi-umbian, tetapi program MBG masih berfokus pada nasi sebagai sumber karbohidrat utama.
Tantangan lain yang muncul adalah masalah administrasi dalam pendistribusian anggaran dan pengelolaan makanan. CELIOS mencatat bahwa 53 persen responden lebih memilih program ini dikelola oleh kombinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan komunitas lokal, bukan hanya dikontrol oleh satu lembaga. Sayangnya, saat ini pengelolaan MBG masih terpusat di Badan Gizi Nasional dengan kontrol distribusi melalui SPPG di setiap daerah, yang menambah kompleksitas birokrasi.
Menanggapi tantangan ini, salah satu pejabat Kementerian Pendidikan menyatakan, "Kami memahami bahwa program ini masih menghadapi banyak tantangan, terutama dalam distribusi di daerah 3T. Namun, kami terus berupaya meningkatkan efisiensi dengan melibatkan lebih banyak mitra lokal untuk memastikan anak-anak mendapatkan makanan yang layak."
Di sisi lain, CELIOS menegaskan perlunya pendekatan berbasis komunitas agar program ini lebih efektif. Dengan distribusi yang lebih desentralisasi, setiap daerah dapat menyesuaikan menu makanan dengan sumber daya yang tersedia tanpa harus bergantung pada standar nasional yang seragam.
Dengan berbagai tantangan yang ada, evaluasi menyeluruh terhadap program MBG menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa program ini benar-benar memberikan manfaat optimal bagi anak-anak Indonesia, terutama mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.
Tidak Semua Sasaran Dapat Manfaat Optimal
Program MBG merupakan langkah ambisius pemerintah dalam meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia, dengan harapan dapat menurunkan angka stunting dan memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Meskipun program ini memiliki visi yang besar, realisasi di lapangan masih menghadapi berbagai kendala, terutama dalam hal distribusi dan ketersediaan anggaran. Pemangkasan anggaran yang terjadi di tengah jalan berdampak pada efektivitas program, menyebabkan tidak semua sasaran mendapatkan manfaat secara optimal.
Selain itu, hambatan logistik dan administratif turut memperlambat implementasi program ini. Meski pemerintah telah menjamin pendanaan yang cukup, tantangan dalam penyaluran serta potensi kebocoran anggaran menjadi isu krusial yang perlu diatasi. Pemerintah daerah dan berbagai pemangku kepentingan diharapkan dapat bersinergi lebih baik untuk memastikan program ini berjalan dengan efisien dan tepat sasaran.
Untuk meningkatkan efektivitas MBG, diperlukan beberapa langkah perbaikan, antara lain: (1) manajemen distribusi yang lebih baik guna memastikan seluruh penerima manfaat mendapatkan asupan sesuai kebutuhan, (2) transparansi dalam penggunaan anggaran agar alokasi dana dapat dipertanggungjawabkan, serta (3) evaluasi berkala untuk menilai sejauh mana program ini memberikan dampak nyata terhadap kesehatan anak-anak Indonesia.
Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan anggaran dan pelaksanaan program ini agar benar-benar mencapai tujuannya. MBG memiliki potensi besar dalam membangun generasi yang lebih sehat dan produktif, tetapi tanpa pengelolaan yang baik, program ini bisa menjadi sekadar janji tanpa hasil konkret. Oleh karena itu, perbaikan dalam sistem manajemen dan pengawasan sangat diperlukan agar MBG dapat memberikan manfaat maksimal bagi seluruh anak Indonesia. (*)