KABARBURSA.COM – Saat suku bunga acuan perlahan turun, pasar obligasi justru memasuki masa yang paling menarik bagi investor. Di tengah euforia penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI), ada satu peluang yang sering kali luput dari perhatian banyak orang, yakni potensi capital gain dari obligasi atau keuntungan dari selisih antara harga beli dan harga jual di pasar sekunder.
Head of IPOT Fund & Bond, Dody Mardiansyah, menjelaskan bahwa daya tarik capital gain ini belum banyak disadari oleh investor ritel. “Daya tarik capital gain ini jarang diketahui investor obligasi. Bagi investor yang menginginkan capital gain dari obligasi maka strateginya sangat jelas yakni mengakumulasi obligasi ketika harga obligasi rendah, karena fase ini merepresentasikan harga beli terendah sebelum terjadi reli kenaikan harga yang membuat gap ini bisa dijadikan capital gain,” ujarnya Dody melalui keterangan resmi yang diterima KabarBursa.com pada Jumat, 24 Oktober 2025.
Pernyataan tersebut menggambarkan kondisi pasar yang terjadi sepanjang tahun 2025. Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak lima kali hingga kini berada di level 4,75 persen, sebagaimana diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 22 Oktober 2025. Penurunan ini merupakan bagian dari upaya menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan global, namun bagi pasar obligasi, kebijakan tersebut justru menjadi pemicu kenaikan harga.
Ketika suku bunga acuan turun, harga obligasi di pasar sekunder cenderung bergerak naik. Hal ini terjadi karena obligasi lama dengan kupon tetap (fixed rate) menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan obligasi baru yang diterbitkan dengan tingkat kupon lebih rendah. Akibatnya, investor berbondong-bondong membeli obligasi lama, mendorong kenaikan harga dan membuka peluang capital gain.
Dody menjelaskan bahwa momentum terbaik bagi investor terjadi ketika mereka sudah memiliki obligasi sebelum tren penurunan suku bunga dimulai. “Ketika suku bunga acuan turun, obligasi lama yang beredar menjadi lebih menarik karena menawarkan imbal hasil relatif lebih tinggi dibandingkan obligasi baru. Permintaan meningkat, harga jual naik, dan di situlah investor bisa mendapatkan capital gain,” katanya.
Sebagai ilustrasi, potensi cuan ini tampak jelas pada pergerakan obligasi pemerintah seri FR0097 yang memiliki jatuh tempo pada Juni 2043 dengan kupon 7,125 persen. Jika seorang investor membeli FR0097 pada 1 Juni 2025 di harga 100,90 persen dan menjualnya pada 22 Oktober 2025 di harga 106,75 persen, ia berhasil mencatat kenaikan harga bersih sebesar 5,85 persen hanya dalam waktu kurang dari lima bulan.
Contoh tersebut menunjukkan bagaimana perubahan suku bunga berpengaruh langsung terhadap nilai obligasi. Namun, Dody menegaskan bahwa tidak semua obligasi memiliki reaksi yang sama terhadap penurunan suku bunga. Faktor yang menentukan seberapa besar kenaikan harga adalah durasi obligasi, atau seberapa sensitif harga obligasi terhadap perubahan tingkat bunga.
“Obligasi dengan durasi panjang akan menunjukkan sensitivitas harga yang lebih tinggi terhadap setiap pergerakan suku bunga. Jadi ketika suku bunga turun, kenaikan harga pada obligasi berdurasi panjang bisa jauh lebih besar dibandingkan obligasi berjangka pendek,” jelasnya.
Dalam hal ini, FR0097 yang jatuh tempo hingga 2043 termasuk obligasi berdurasi panjang. Karena itu, saat suku bunga menurun, harga FR0097 cenderung melonjak lebih signifikan dibandingkan seri obligasi lain dengan tenor lebih pendek. Kondisi ini menjadi keuntungan bagi investor yang memahami arah kebijakan moneter.
Namun, potensi capital gain juga memiliki sisi risiko. Jika arah kebijakan moneter berbalik dan BI menaikkan suku bunga, harga obligasi bisa turun dengan cepat. Semakin panjang durasi obligasi, semakin besar potensi fluktuasi harga yang terjadi. Karena itu, strategi investasi di obligasi perlu disesuaikan dengan profil risiko, tujuan investasi, serta horizon waktu investor.
Secara historis, tren penurunan suku bunga BI hampir selalu diikuti oleh penguatan harga obligasi pemerintah. Pola ini terlihat pada periode 2016–2017 dan 2020–2021, dan kini kembali terulang pada 2025. Para investor institusi seperti dana pensiun, asuransi, dan reksa dana pendapatan tetap menjadi pihak yang paling banyak memanfaatkan momentum ini, sementara investor ritel perlahan mulai mengikuti tren tersebut.
Di tengah kondisi ekonomi yang cenderung stabil, inflasi terjaga, dan likuiditas pasar yang cukup, potensi capital gaindari obligasi diperkirakan masih berlanjut hingga 2026. Dody mengatakan bagi investor yang ingin memanfaatkan peluang ini, memahami hubungan antara suku bunga, durasi, dan pergerakan harga menjadi kunci utama.
Menurut dia, pada akhirnya, mengenal capital gain obligasi bukan sekadar memahami istilah keuangan, tetapi tentang membaca siklus ekonomi dengan lebih cerdas. Obligasi bukan hanya instrumen berpendapatan tetap, melainkan aset dinamis yang bisa memberikan cuan tambahan bagi investor yang jeli melihat arah kebijakan moneter.(*)