KABARBURSA.COM - Meskipun rupiah ditutup naik di akhir Juli ini, para ekonom memperkirakan deflasi akan kembali terjadi pada Juli 2024, melanjutkan tren deflasi yang sudah berlangsung pada Mei dan Juni 2024. Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalia Situmorang, menjelaskan bahwa deflasi Juli 2024 dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi global dan momen tahun ajaran baru sekolah yang menekan inflasi inti.
Ana memperkirakan deflasi bulanan sebesar 0,04 persen month to month (mtm) pada Juli 2024, melanjutkan deflasi sebesar 0,03 persen mtm pada Mei 2024 dan 0,08 persen mtm pada Juni 2024. Secara tahunan, inflasi diproyeksikan mencapai 2,27 persen year on year (yoy), turun dari 2,51 persen yoy pada bulan sebelumnya. Ana menambahkan bahwa inflasi masih dapat dikelola dengan baik karena harga minyak dan komoditas cenderung stabil.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga memprediksi deflasi pada Juli 2024 dengan estimasi Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi 0,07 persen mtm. Menurut Josua, deflasi Juli 2024 disebabkan oleh penurunan harga beberapa komoditas pangan seperti cabai merah dan bawang merah yang masing-masing turun sebesar 14,10 persen mtm dan 19,77 persen mtm karena peningkatan pasokan dari musim panen.
Komoditas pangan lainnya yang mengalami deflasi antara lain daging ayam ras, daging sapi, telur ayam ras, dan bawang putih. Sebaliknya, harga beras, cabai rawit, dan minyak goreng mengalami kenaikan.
Josua juga mencatat bahwa deflasi Juli 2024 dapat tertahan oleh faktor musiman terkait liburan sekolah dan tahun ajaran baru yang dapat meningkatkan biaya transportasi dan pendidikan, mendukung inflasi pada kelompok harga yang diatur pemerintah dan inflasi inti.
Diketahui, pada akhir perdagangan pasar spot, rupiah ditutup menguat, mencatat kinerja bulanan terbaik sepanjang 2024 pada bulan Juli. Rupiah spot ditutup pada Rp16.260 per USD, menguat 0,25 persen dibandingkan hari sebelumnya. Penguatan ini terjadi di tengah pergerakan mayoritas mata uang Asia yang juga menguat terhadap dolar AS, kecuali rupee India.
Selama bulan Juli, rupiah menguat sebesar 0,7 persen, menjadikannya penguatan bulanan terbesar tahun ini setelah mengalami tekanan pada kuartal dua lalu.
Rupiah sempat dibuka melemah di awal transaksi spot, namun sentimen dari lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang kembali menawarkan bunga lebih tinggi membantu menguatkan rupiah. Selain itu, sentimen positif di pasar surat utang RI dan pasar saham turut mendukung penguatan.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat sejak pagi dan ditutup naik ke 7.255,76, sementara di pasar Surat Berharga Negara (SBN), semua mencatat kenaikan harga yang ditandai dengan penurunan yield atau imbal hasil surat utang.
Penetapan peringkat kredit Indonesia di level BBB oleh S&P juga memberikan sentimen positif, mendorong pemodal asing untuk membeli surat utang RI senilai USD140,6 juta pada 30 Juli. Selama Juli, arus masuk modal asing mencapai USD301,2 juta, menandai inflow tiga bulan berturut-turut.
Sentimen regional juga mendukung penguatan rupiah, dengan keputusan Bank of Japan untuk menaikkan bunga acuan dan mengurangi pembelian obligasi, yang mengangkat nilai yen dan berdampak positif pada mata uang regional.
Perhatian pasar kini tertuju pada pengumuman bunga acuan The Fed yang akan datang. Konsensus pasar memperkirakan The Fed akan mempertahankan Fed fund rate, namun investor menunggu sinyal dari pernyataan Jerome Powell, Gubernur The Fed, untuk prospek kebijakan ke depan.
IHK Inflasi di Juli 2024?
Indeks Harga Konsumen (IHK) diperkirakan akan mengalami inflasi pada Juli 2024 setelah mencatat deflasi pada Juni lalu. Kenaikan ini disebabkan oleh sejumlah harga pangan seperti cabai rawit merah dan beras. Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan mengumumkan data inflasi Juli 2024 pada Kamis, 1 Agustus 2024.
Dari 12 institusi memperkirakan inflasi bulanan (month to month/mtm) pada Juli 2024 akan mencapai 0,01 persen. Sementara itu, inflasi tahunan (year on year/yoy) diperkirakan akan melandai menjadi 2,42 persen, jika proyeksi ini tepat, angka ini akan menjadi yang terendah sejak September 2023.
Sebagai catatan, pada Juni 2024, IHK mengalami deflasi sebesar 0,08 persen (mtm) dan inflasi sebesar 2,51 persen (yoy). Inflasi inti tercatat 1,90 persen (yoy) pada Juni 2024. Jika proyeksi inflasi tahunan 2,42 persen terwujud, ini akan menjadi angka terendah dalam setahun terakhir.
Menariknya, empat dari 12 institusi memperkirakan bahwa Indonesia akan kembali mencatat deflasi bulanan pada Juli 2024. Jika ini terjadi, deflasi selama tiga bulan berturut-turut akan menjadi catatan baru bagi Indonesia, karena deflasi berturut-turut dalam tiga bulan terakhir belum pernah terjadi setidaknya sejak 2007. Sebelumnya, Indonesia mengalami deflasi pada Mei dan Juni 2024, masing-masing sebesar 0,03 persen dan 0,08 persen (mtm).
Deflasi dua bulan berturut-turut telah memunculkan kekhawatiran mengenai daya beli masyarakat. Terakhir kali Indonesia mengalami deflasi dua bulan berturut-turut adalah pada 2020, saat pandemi Covid-19. Data dari Bank Indonesia menunjukkan proporsi konsumsi masyarakat pada Juni 2024 berada di angka 73,9 persen, sedikit meningkat dari Mei tetapi jauh di bawah rata-rata 2023 yang mencapai 75 persen.
Secara historis, inflasi bulanan pada Juli cenderung mengalami kenaikan dibandingkan Juni, terutama karena musim ajaran baru. Rata-rata inflasi bulanan Juli dalam lima tahun terakhir mencapai 0,228 persen.(*)