KABARBURSA.COM - Kementerian Keuangan mengingatkan eskalasi geopolitik antara Iran dan Israel tidak hanya berdampak secara regional, tapi juga menimbulkan tekanan pada kestabilan ekonomi global dan domestik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa salah satu efek langsung dari konflik tersebut adalah lonjakan tajam harga minyak dunia.
"Ini mungkin hari ketiga sejak pecahnya perang Israel dengan Iran. Hari pertama saja, harga minyak langsung naik lebih dari 8 persen, dari sebelumnya di bawah USD70 per barel untuk minyak Brent menjadi sempat menyentuh USD78, atau naik hampir 9 persen," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita pada Selasa, 17 Juni 2025.
Menurutnya, ketegangan geopolitik semacam ini tidak bisa dipandang remeh karena turut memengaruhi berbagai indikator ekonomi global seperti inflasi, suku bunga, nilai tukar mata uang, dan arus modal internasional. Bukan hanya konflik di Timur Tengah, ketegangan antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok juga memperburuk situasi global.
"AS bahkan menerapkan tarif perdagangan ke lebih dari 60 negara, tapi baru satu negara yang sejauh ini punya kesepakatan resmi. Ketidakpastian ini makin meningkat karena tenggat penundaan tarif 90 hari makin mendekat pada Juli," ucapnya.
Sri Mulyani juga mengkritisi kebijakan fiskal dari mantan Presiden AS Donald Trump, yang dinilai tidak dapat dipercaya. Ia menyebut proposal "big and beautiful" justru memperparah beban fiskal Negeri Paman Sam.
"Ini menyebabkan sentimen negatif terhadap kebijakan fiskal negara-negara maju. Ini mempengaruhi risiko fiskal, yield dan suku bunga bunga AS," ujar dia.
Dalam pandangannya, akumulasi dari berbagai gejolak tersebut—baik dari sisi geopolitik, kebijakan fiskal yang agresif, hingga kebijakan perdagangan yang protektif—berpotensi menekan laju pertumbuhan ekonomi global, sembari memicu kenaikan inflasi.
"Ditambah kondisi geopolitik dan keamanan yang sangat negatif, menegang dan rantai pasok. Semua itu menghasilkan risiko ketidakpastian harga cenderung naik dan perekonomian global akan cenderung melemah," tuturnya.
Sri Mulyani juga menunjukkan bahwa tekanan global tersebut mulai berdampak nyata pada sektor industri, khususnya manufaktur, di berbagai negara besar seperti AS, Tiongkok, Eropa, Jepang, dan Inggris. Ia mengacu pada indikator Purchasing Managers’ Index (PMI) global yang telah merosot ke 49,6 pada Mei 2025—level terendah sejak Desember 2024.
"Tekanan global ini membuat aktivitas ekonomi, khususnya di sektor manufaktur, mengalami pelemahan," kata Sri Mulyani.
Dari data tersebut, sebanyak 71 persen negara yang disurvei mencatat penurunan PMI hingga di bawah angka 50, menandakan sektor manufakturnya tengah berada dalam fase kontraksi.
Indonesia juga tak luput dari dampaknya, dengan indeks PMI nasional berada di level 47,4. Artinya, kondisi industri pengolahan di dalam negeri ikut terseret tren penurunan global.
Hanya sekitar 29,2 persen negara yang masih mencatat ekspansi manufaktur, dengan PMI berada di atas 50, mencerminkan besarnya pengaruh ketidakpastian geopolitik terhadap perdagangan, industri, dan stabilitas keuangan dunia.(*)