KABARBURSA.COM - Di tengah ancaman tarif tinggi dari Amerika Serikat, pelaku industri alas kaki seperti Nike menilai masa depan industri padat karya Indonesia bergantung pada kebijakan industri yang progresif, bukan proteksi perdagangan yang reaktif. Sektor alas kaki dan tekstil dinilai punya potensi besar dalam rantai pasok global jika regulasi domestik diperbaiki.
Director of Government and Public Affairs Nike Indonesia, Devi Kusumaningtyas, mengatakan Indonesia tak kekurangan peluang di sektor alas kaki dan tekstil. Dua sektor padat karya yang dulu sempat disebut sunset industry kini justru jadi tulang punggung ekspor. Namun, dalam percaturan global yang makin kompetitif, peluang saja tak cukup. Butuh kebijakan industri yang lebih dari sekadar pengamanan tarif.
“Strategi pemerintah yang memperhatikan industri padat karya seperti alas kaki dan tekstil sangat baik. Ini sektor yang sempat dianggap sunset, tapi sekarang justru jadi andalan ekspor,” kata Devi dalam diskusi publik yang digelar IESR, Minggu, 11 Mei 2025, di Jakarta.
Devi menggarisbawahi, sekitar 80 persen sepatu Nike diproduksi di Asia Tenggara. Dari jumlah itu, 50 persen berasal dari Vietnam, 30 persen dari Indonesia, dan sisanya dari India serta China. Artinya, posisi Indonesia masih cukup penting dalam peta rantai pasok alas kaki global.
Namun, cerita jadi berbeda untuk lini produk pakaian jadi. Proses produksinya yang lebih sederhana membuat supply chain apparel tersebar ke lebih dari 15 negara. Fleksibel, memang, tapi itu juga menandakan sengitnya persaingan antarnegara.
Menurut Devi, tantangan paling berat justru datang dari dalam negeri. Bukan soal logistik atau upah, melainkan dari tumpukan regulasi. “Cost paling mahal di Asia Tenggara itu justru di Indonesia, bukan dari logistik, tapi dari compliance cost. Lartas, regulasi, dan berbagai persyaratan lain bikin proses impor jadi mahal dan rumit,” jelasnya.
Padahal, dari 200 juta pasang sepatu Nike yang diproduksi di Indonesia, 90 persennya diekspor. Tapi di rak-rak toko dalam negeri, mayoritas sepatu Nike justru berasal dari Vietnam, India, atau China. Distribusi global mereka lebih efisien.
Efek Domino Perang Tarif Global
Kebijakan proteksionisme antarnegara bukan hanya menciptakan ketegangan diplomatik. Bagi industri seperti alas kaki, dampaknya bisa langsung terasa hingga ke harga produk. “Inilah yang disebut sebagai ‘cycle of evil’. Kita pasang hambatan, negara lain balas. Akhirnya bukan industri yang tumbuh, tapi ketegangan yang meningkat,” kata Devi.
Devi menyebut AS sempat mengancam akan mengenakan tarif balasan hingga 32 persen ke Indonesia. Langkah seperti ini, menurutnya, hanya bisa dihadapi dengan strategi jangka panjang yang berbasis industrialisasi.
“Kita harus offense, bukan terus bertahan. Kebijakan perindustrian yang progresif akan memperkuat posisi kita di mata global. Jangan jadikan kebijakan perdagangan sebagai substitusi dari strategi industri,” tegasnya.
Pasar saham langsung merespons ancaman tarif. Saham Nike (NKE), Adidas, dan Puma kompak anjlok usai Vietnam dikenakan tarif 46 persen, Kamboja 49 persen, Bangladesh 37 persen, dan Indonesia 32 persen. Tarif untuk Tiongkok bahkan naik jadi 54 persen dari sebelumnya 20 persen.
“Perusahaan-perusahaan yang selama ini berupaya mengurangi ketergantungan pada China dengan mengalihkan produksi ke negara seperti Vietnam kini menyadari bahwa sebenarnya tidak ada tempat yang aman dari tarif ini,” ujar Simeon Siegel dari BMO Capital Markets.
Saham fast fashion seperti H&M yang bergantung pada pasokan dari China dan Bangladesh juga turun 5 persen. Amazon dan Target masing-masing merosot 8 hingga 10 persen.
Menurut Aneesha Sherman dari Bernstein, satu-satunya yang mungkin bisa selamat dari efek domino ini adalah brand eksklusif seperti On Holding, karena mereka bisa menaikkan harga tanpa kehilangan pasar.
Namun bagi mayoritas brand global, strategi yang mungkin dilakukan adalah renegosiasi kontrak dengan vendor agar beban tarif bisa dibagi dalam rantai pasok.
Harga retail pun bisa naik. Sepatu-sepatu seperti Nike Jordan dan Adidas Samba diperkirakan akan mengalami kenaikan harga di pasar Amerika Serikat setelah gelombang tarif baru diberlakukan oleh Presiden Donald Trump.
Industri Alas Kaki dan Tekstil Indonesia
Industri alas kaki Indonesia mencatat kinerja ekspor yang kuat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor sepatu Indonesia mencapai sekitar USD6,44 miliar (sekitar Rp106,26 triliun) pada 2023 dan melonjak menjadi sekitar USD7,08 miliar (Rp116,82 triliun) pada 2024.
Produk sepatu “Made in Indonesia” banyak dikirim ke Amerika Serikat sebagai pasar utama, diikuti oleh China, Belanda, Belgia, dan Jepang. Sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) juga menyumbang ekspor besar. Sepanjang Januari–Oktober 2024, nilai ekspor TPT Indonesia mencapai USD9,85 miliar (Rp162,53 triliun).
Pangsa pasar pakaian jadi bahkan didominasi AS (sekitar 60 persen), membuat rantai pasok global industri tekstil dan alas kaki Tanah Air semakin penting bagi perekonomian nasional. Meskipun sentimen pasar dipengaruhi ketidakpastian tarif impor AS, data BPS dan Kemenperin menunjukkan tren ekspor yang tetap positif.
Di sisi domestik, industri alas kaki dan tekstil menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja. Kementerian Perindustrian mencatat jumlah pekerja di sektor sepatu sekitar 271.774 orang pada 2024. Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan sekitar 3,97 juta tenaga kerja (per Agustus 2024) yang bekerja di industri TPT.
Meskipun kebijakan tarif impor AS sempat menimbulkan kekhawatiran, data ini menunjukkan kekuatan industri alas kaki Indonesia sebagai penyerap tenaga kerja besar. Para pengamat menilai bahwa meski tarif tinggi memengaruhi rantai pasok global, industri domestik masih mampu menjaga operasional dan mempertahankan lapangan kerja.
Namun, relasi perdagangan kini diwarnai kebijakan proteksionis. Tarif impor AS terbaru menetapkan bea masuk tinggi untuk produk alas kaki dan tekstil: Vietnam sebesar 46 persen, Kamboja 49 persen, Bangladesh 37 persen, dan Indonesia dikenakan tarif 32 persen. Langkah ini dimaksudkan menekan impor dari negara-negara dengan industri manufaktur padat karya.
Industri alas kaki Indonesia pun mengantisipasi dampak kebijakan ini. Meski sebagian besar ekspor masih mengalir ke AS, keberlanjutan rantai pasok global menuntut sektor ini beradaptasi terhadap biaya baru dari bea masuk yang meningkat.
Dari sisi biaya produksi, Indonesia masih kompetitif.
Data Asia Quality Focus mencatat biaya tenaga kerja rendah dan pasokan bahan baku melimpah menjadikan Indonesia menarik bagi produsen global. “Biaya tenaga kerja yang rendah di Indonesia menawarkan peluang bagi produsen untuk mengurangi biaya produksi secara keseluruhan,” tulis studi perdagangan internasional tersebut.
Artinya, upah pekerja pabrik di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan banyak pesaing, sehingga biaya produksi dapat ditekan. Di Vietnam sendiri, upah pekerja garmen juga rendah, namun Indonesia unggul dalam kapasitas pabrik besar dan skala ekonomi yang luas. Meski begitu, compliance cost (biaya kepatuhan terhadap standar internasional seperti audit lingkungan dan ketenagakerjaan) relatif tinggi di kedua negara, mengikuti tuntutan brand global akan rantai pasok yang bertanggung jawab.
Di pasar global, harga sepatu merek internasional seperti Nike dan Adidas dipantau ketat pasca kebijakan tarif. Pengecer dan asosiasi industri memperkirakan bahwa kenaikan tarif AS akan mendorong harga ritel naik. CEO Footwear Distributors and Retailers of America (FDRA), Matt Priest, menegaskan “Tarif yang lebih tinggi akan berdampak langsung pada harga konsumen yang lebih tinggi, terutama untuk alas kaki.”
Artinya, beban tambahan akan dialihkan ke konsumen melalui kenaikan harga produk. Namun, produsen global berupaya menyeimbangkan biaya agar lonjakan harga tidak terlalu drastis—meskipun sinyal kenaikan mulai terasa di beberapa produk unggulan.
Fenomena relokasi produksi dari China ke Asia Tenggara pun semakin nyata. Dalam beberapa tahun terakhir, pangsa pasokan sepatu global dari China terus menurun karena banyak perusahaan memindahkan pabrik ke negara ASEAN. Survei FDRA mencatat bahwa pada 2009, China menyuplai hampir 90 persen sepatu di AS, namun kini hanya sekitar 56 persen, dengan sisanya berasal dari Vietnam, Bangladesh, Kamboja, dan Indonesia.
Hal senada disampaikan Kemenperin. Indonesia dinilai berhasil menggeser pusat produksi dari China, Vietnam, dan Kamboja. Kini, Indonesia bahkan menyumbang hampir 30 persen tenaga kerja pabrik sepatu global untuk merek seperti Nike dan Adidas.
Artinya, terjadi perubahan besar dalam rantai pasok global alas kaki. Jepang dan Eropa masih impor sepatu, tetapi pusat produksinya telah berpindah ke Asia Tenggara. Indonesia kini semakin dianggap sebagai mitra strategis di industri ini, bersaing dengan negara tetangga untuk memanfaatkan keunggulan biaya dan kapasitas produksi yang luas.(*)