Logo
>

Ojol, Pilihan Terpaksa Kaum Miskin Kota

Tanpa perlindungan dan upah layak, jutaan warga miskin kota terjebak menjadi pengemudi ojol karena tak punya akses ke pekerjaan formal.

Ditulis oleh Dian Finka
Ojol, Pilihan Terpaksa Kaum Miskin Kota
Pengemudi ojek daring atau ojol bukan lagi pekerjaan sambilan. Ini jalan terpaksa warga miskin kota di tengah tekanan ekonomi dan sempitnya lapangan kerja. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM - Gelombang protes ribuan pengemudi ojek online (ojol) yang menuntut batas potongan aplikasi maksimal 10 persen bukan cuma urusan soal tarif. Ini sudah menjelma jadi sinyal bahaya—bahwa ekonomi digital Indonesia tengah pincang di kaki paling rapuhnya

Apa yang semula dianggap pekerjaan sementara, kini ojol menjelma profesi utama bagi jutaan warga miskin kota. Tapi, menurut Direktur Next Policy Yusuf Wibisono, tanpa jaminan kerja, tanpa perlindungan, dan tanpa upah yang manusiawi, semua itu berubah jadi jebakan struktural.

"Ojek daring sudah bukan lagi pekerjaan sementara. Ia telah menjadi profesi permanen bagi tenaga kerja kota tanpa keahlian. Tapi tak ada jaminan dan perlindungan yang memadai," ujar Yusuf saat dihubungi KabarBursa.com, Kamis, 22 Mei 2025.

Menurut Yusuf, transformasi ojol dari pekerjaan alternatif menjadi pekerjaan utama adalah fenomena ekonomi yang mengkhawatirkan. Ketika tidak ada pilihan lain, jutaan masyarakat miskin kota masuk ke sektor ini demi bertahan hidup, bukan karena ada prospek karier atau peningkatan kesejahteraan.

"Ini bukan mobilitas kerja ke arah yang lebih baik. Ini adalah jalan buntu kaum miskin kota. Pilihan terpaksa yang muncul karena tekanan ekonomi," ujar Yusuf.

Para pengemudi ojol, katanya, umumnya berasal dari kelompok berpendidikan rendah—kebanyakan tamatan SMA atau SMK—yang tidak punya kapasitas atau akses untuk pekerjaan lain. Dari pengangguran, ibu rumah tangga, hingga pensiunan, semua berebut ruang di sektor ini, karena sektor formal makin menyempit.

Namun Yusuf menyayangkan kerja keras mereka belum setimpal dengan kesejahteraan yang diterima. Tarif rendah, potongan tinggi, hingga beban promosi yang dibebankan ke mitra membuat penghasilan pengemudi jauh dari layak. "Kalau kita jujur, ini bukan pekerjaan yang manusiawi. Terlalu jauh dari prinsip decent work," katanya.

Status “Mitra” Hanya Topeng Eksploitasi?

Yusuf mengungkapkan status hukum pengemudi ojek daring sebagai "mitra" hanya ilusi belaka. Dalam praktiknya, aplikator memiliki kontrol penuh atas sistem kerja para pengemudi—mulai dari tarif, sanksi, sistem rating, hingga keputusan sepihak pemutusan akses aplikasi yang berarti pemutusan pendapatan.

"Secara formal mereka bukan karyawan, tapi aplikator bertindak layaknya bos penuh kuasa. Ini kontradiksi yang brutal," kata Yusuf.

Yusuf menegaskan, semua agenda reformasi terhadap ekosistem ride-hailing harus berpijak pada satu kesimpulan utama: pengemudi ojol harus diakui sebagai pekerja formal, bukan lagi mitra.

Hanya dengan status sebagai karyawan, kata Yusuf, maka hak-hak dasar seperti upah minimum, jaminan sosial, jam kerja yang manusiawi, dan akses terhadap perlindungan hukum dapat diwujudkan.

"Selama pengemudi diposisikan sebagai mitra, maka seluruh upaya perbaikan hanya tambal sulam. Tidak menyentuh akar persoalan," ujarnya.

Yusuf pun memperingatkan tekanan sosial akibat ketimpangan dalam ekosistem ride-hailing bisa berdampak sistemik terhadap pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Aksi-aksi off-bid serentak seperti yang terjadi baru-baru ini adalah alarm keras bagi aplikator.

"Kalau tekanan makin intens dan pengemudi tidak merasa lagi mendapat manfaat, maka resistensi akan semakin besar. Ini bisa menghambat ekspansi platform digital ke depan," jelasnya.

Berdasarkan laporan yang beredar, aksi off-bid nasional yang terjadi pada 20 Mei 2025 disebut-sebut telah menimbulkan kerugian hingga ratusan miliar rupiah hanya dalam satu hari operasional. Situasi ini memperlihatkan betapa besarnya ketergantungan sektor ride-hailing terhadap peran dan kepuasan mitra pengemudi.

Yusuf menilai ketergantungan tersebut menjadi paradoks ketika aplikator tetap menolak mengakui para pengemudi sebagai pekerja formal. Menurutnya, pendekatan bisnis semacam ini tidak hanya kontradiktif, tapi juga tidak dapat bertahan dalam jangka panjang.

Yusuf lantas mendesak pemerintah segera mengambil peran lebih aktif dan berani dalam menata ulang hubungan industrial di sektor ekonomi digital. "Negara tidak bisa terus jadi penonton. Harus hadir sebagai penyeimbang antara kepentingan aplikator dan mitra pengemudi," katanya.

Ia mendorong agar pemerintah tidak hanya menetapkan batas tarif atau potongan bagi ojol, tetapi juga mengakui relasi kerja yang nyata dalam ekosistem ride-hailing. Tanpa itu, ia pesimis kesejahteraan pengemudi akan membaik, bahkan di tengah ekspansi besar-besaran ekonomi digital.

"Ekonomi digital tidak boleh dibangun di atas penderitaan kelompok paling lemah dalam rantai pasoknya. Negara harus koreksi arah sebelum bom sosial ini benar-benar meledak," kata Yusuf.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.