KABARBURSA.COM — Bursa saham Eropa menutup perdagangan Kamis, 12 Juni 2025 di zona negatif untuk hari keempat berturut-turut. Koreksi ini mencerminkan meningkatnya kekhawatiran investor atas arah kebijakan perdagangan global dan tensi geopolitik yang kembali memanas.
Indeks STOXX 600, yang mencerminkan kinerja saham-saham unggulan di Eropa, ditutup melemah 0,33 persen ke level 549,84. Ini merupakan penurunan harian terpanjang dalam lebih dari dua bulan terakhir, sekaligus menandai posisi terendah dalam sepekan terakhir.
Kelesuan pasar tak lepas dari ketidakjelasan arah negosiasi dagang antara Amerika Serikat dan mitra-mitranya. Presiden AS Donald Trump menyatakan bersedia memperpanjang tenggat waktu pembicaraan perdagangan hingga setelah 8 Juli.
Namun, pernyataannya justru menimbulkan kebingungan karena mengisyaratkan bahwa perpanjangan mungkin tidak akan diperlukan karena “surat penawaran” sudah dekat.
Walau ada sinyal positif dari pertemuan dengan China sebelumnya, pasar tidak melihat kemajuan berarti, terutama karena tarif yang sudah berlaku masih belum dihapus dan perbedaan struktural perdagangan belum terselesaikan.
Dari sisi Eropa, respons juga masih dinilai lambat. Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebut bahwa Uni Eropa kini mulai menunjukkan “keyakinan yang lebih baik,” meskipun hingga kini belum terlihat langkah konkret dari pihak Brussels.
Kondisi makin rumit setelah Trump mengungkap bahwa personel militer AS telah ditarik dari Timur Tengah, menandai meningkatnya ketegangan dengan Iran. Komentar Trump soal kemungkinan serangan Israel terhadap Iran turut memperkuat kekhawatiran pasar.
Menurut ekonom Capital Economics James Swanston, reaksi Iran sangat mungkin ditentukan oleh seberapa besar eskalasi yang terjadi. Tak ayal, sentimen risiko langsung terdampak dan arus modal mulai menjauhi aset berisiko.
Saham Energi Menguat Sejalan Lonjakan Harga Minyak
Meski demikian, sektor energi menjadi pengecualian. Lonjakan harga minyak memberi angin segar bagi saham-saham energi yang sempat menguat di tengah pelemahan pasar secara keseluruhan. Sektor utilitas juga mencatat kenaikan 0,8 persen, seiring meningkatnya permintaan terhadap obligasi zona euro yang sering dijadikan pelarian saat pasar diliputi ketidakpastian.
Sebaliknya, sektor perjalanan dan rekreasi menjadi yang paling tertekan. Saham Boeing anjlok hingga 8 persen setelah pesawat 787 Dreamliner yang dioperasikan Air India mengalami kecelakaan tragis di Ahmedabad, India, dan menewaskan lebih dari 200 orang.
Kinerja indeks di negara-negara besar Eropa pun beragam. DAX Jerman turun 0,74 persen ke level 23.771,45, sementara indeks CAC 40 Prancis melemah tipis 0,14 persen ke 7.765,11.
Di London, FTSE 100 justru menguat 0,23 persen ke 8.884,92, didorong oleh saham-saham defensif, meski data ekonomi Inggris untuk bulan April menunjukkan perlambatan tajam akibat tekanan eksternal dan melemahnya konsumsi domestik.
Kepala Ekonom Capital Economics Paul Dales, menilai Bank of England kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga pada pertemuan bulan Juni, sambil tetap membuka ruang untuk penyesuaian di bulan Agustus.
Dari sisi kebijakan moneter kawasan euro, anggota Dewan Eksekutif Bank Sentral Eropa (ECB) Isabel Schnabel menyebut bahwa suku bunga saat ini berada di posisi yang cukup baik, meskipun inflasi diperkirakan akan terus melandai.
Para pelaku pasar memperkirakan hanya akan ada satu pemangkasan suku bunga tambahan sebesar 25 basis poin hingga akhir 2025.
Di tengah tekanan pasar, sejumlah emiten masih berhasil mencatat kinerja positif. Saham BE Semiconductor Industries (BESI) melesat 3,6 persen setelah menaikkan proyeksi keuangan jangka panjangnya menjelang investor day.
Saham Halma juga menguat 3,3 persen setelah perusahaan mencatat laba sebelum pajak yang melampaui ekspektasi analis.
Secara keseluruhan, pasar Eropa masih dibayangi oleh kekhawatiran besar, mulai dari ketidakpastian arah kebijakan perdagangan global, potensi eskalasi konflik di Timur Tengah, hingga respons yang hati-hati dari bank sentral terhadap inflasi yang mulai mereda.
Dalam situasi ini, investor tampaknya memilih bersikap konservatif, sambil menunggu kepastian lebih lanjut dari arah kebijakan ekonomi global.(*)