Logo
>

Pasca Lebaran, IHSG bisa Oleng karena Trump dan Isu Iran

Ketegangan global usai kebijakan tarif Donald Trump dan ancaman konflik Iran bikin pelaku pasar waspada. Ekonom menilai IHSG bisa terkoreksi hingga 3 persen setelah lebaran.

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Pasca Lebaran, IHSG bisa Oleng karena Trump dan Isu Iran
Papan pantau IHSG di Bursa Efek Indonesia. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Libur Lebaran belum usai, tapi awan kelabu sudah menggelayut di atas pasar modal Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi bakal terkoreksi pada pembukaan perdagangan Selasa, 8 April 2025, dipicu oleh perang dagang global yang kembali memanas akibat kebijakan tarif baru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

    Tarif resiprokal yang menyasar negara-negara Asia—termasuk Indonesia—menjadi kekhawatiran utama. Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menilai pemerintah tak boleh tinggal diam menghadapi potensi tekanan terhadap IHSG.

    Ibrahim menegaskan angkah antisipatif dari pemerintah amat mendesak agar koreksi pasar tidak memburuk. Menurutnya, penguatan struktur ekonomi domestik, khususnya lewat pemberdayaan UMKM, menjadi kunci untuk menahan guncangan eksternal.

    "Karena apa? Kita harus ingat bagaimana Iran berkembang pada saat diembargo dari negara-negara. Kemudian disitulah kekuatan ekonomi di Iran," ujarnya kepada KabarBursa.com, Sabtu, 5 April 2025.

    Selain itu, kata dia, pemerintah bisa mengambil langkah intervensi pasar untuk menjaga daya beli masyarakat. Caranya, antara lain, dengan menjual barang-barang pokok murah guna menopang konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi nasional.

    Ibrahim mengingatkan konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Maka, menjaga agar daya beli tetap kuat merupakan prioritas. "Misal, pemerintah harus berani mengeluarkan dana yang cukup besar untuk daya beli," katanya.

    Di luar isu tarif dagang, gejolak geopolitik di Timur Tengah turut menjadi faktor yang dikhawatirkan dapat menekan pergerakan IHSG usai libur lebaran. Ibrahim menyoroti sikap keras Amerika Serikat terhadap Iran perihal program nuklir yang belum diselesaikan. Ia mengatakan Washington telah mengeluarkan ultimatum dan bahkan mulai mempersiapkan pesawat-pesawat pengebom untuk kemungkinan serangan militer.

    Meski demikian, ia menilai ruang koreksi IHSG tidak akan terlalu dalam.Penurunan indeks kemungkinan hanya berkisar antara 1 hingga 3 persen, mengingat pasar telah lebih dulu merespons tekanan global beberapa waktu lalu. "Biasanya kalau sudah kejadian tidak akan terjadi lagi. 1 sampai 3 persen lah untuk penurunan IHSG," kata Ibrahim.

    Pergerakan IHSG sejak awal Januari hingga Kamis, 27 Maret 2025. Sumber: Investing diolah KabarBursa.com.

    Sejak awal tahun, IHSG sudah terkoreksi cukup dalam. Pada pembukaan perdagangan 2 Januari 2025, IHSG masih bertengger di level 7.163,21. Namun hingga penutupan terakhir sebelum libur Lebaran pada 27 Maret, indeks melemah ke posisi 6.510,62—terpeleset sekitar 9,1 persen.

    Asia Tenggara Diguncang Tarif Trump

    Indonesia memang tidak sendirian. Di saat negeri ini masih merumuskan langkah menghadapi tarif Trump, sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara sudah lebih dulu terguncang oleh keputusan sepihak dari Washington. Indeks saham di berbagai negara langsung memerah pada Kamis, 3 April 2025. Indeks acuan Vietnam sempat longsor hingga 6,7 persen, sementara saham-saham di Thailand turun 1,4 persen. Bursa Malaysia hanya melemah 0,5 persen, sedangkan pasar Indonesia tengah libur.

    Vietnam, Thailand, Indonesia, dan Malaysia—yang menjadi simpul penting dalam rantai pasok global—resmi masuk daftar “aktor nakal” versi Washington dengan beban tarif resiprokal mulai dari 24 persen hingga 46 persen.

    AS akan mengenakan tarif dasar sebesar 10 persen untuk seluruh impor, plus tambahan tarif spesifik untuk negara-negara yang dianggap bermasalah dalam perdagangan. Dalam daftar itu, Vietnam dibebani tarif tertinggi 46 persen, disusul Thailand 36 persen, Indonesia 32 persen, dan Malaysia 24 persen.

    Para analis dibuat kaget oleh besarnya lonjakan tarif ini. Langkah Trump tersebut dinilai akan menjadi tantangan berat bagi kawasan yang selama ini sangat bergantung pada ekspor. “Dengan AS menyumbang sekitar 15 persen dari total ekspor kawasan, lonjakan tarif sebesar 20 hingga 35 persen jelas jadi penghambat pertumbuhan yang signifikan, terutama untuk negara-negara yang sangat terbuka terhadap perdagangan,” ujar Kepala Strategi Makro Pasar Berkembang T. Rowe Price, Chris Kushlis, dikutip dari The Wall Street Journal.

    Dalam catatan resminya, analis dan ekonom Barclays menambahkan, “Dalam jangka pendek, tarif-tarif ini kemungkinan akan mengerem ekspor kawasan secara keseluruhan.”

    Namun efeknya tak hanya datang dari tarif langsung. China—mitra dagang terbesar ASEAN—juga terkena tarif resiprokal sebesar 34 persen di luar tarif sebelumnya. Jika eksportir China mengalihkan barang ke pasar Asia Tenggara sebagai pelarian, itu bisa membanjiri pabrikan lokal dan memicu tekanan deflasi.

    Ekonom Maybank, Erica Tay, menilai bahwa tarif dagang yang lebih tinggi dapat menggerus kinerja ekspor dan menekan laju pertumbuhan ekonomi. Ia juga menyoroti risiko baru: barang-barang asal Tiongkok yang terkena tarif bisa saja dialihkan ke negara seperti Thailand dan Indonesia, yang pada akhirnya memicu fluktuasi harga di kawasan.

    Sejauh ini, pasar tengah menanti bagaimana negara-negara Asia Tenggara merespons situasi ini. Beberapa negara dilaporkan sempat melobi Washington sebelum keputusan tarif diumumkan, tapi tak membuahkan hasil. “Vietnam sempat melakukan upaya terakhir untuk menghindari tarif, tapi tidak berhasil,” ujar Kepala Riset dan Kepala Ekonom Asia-Pasifik pada lembaga riset pasar global Internationale Nederlanden Groep (LNG), Deepali Bhargava.

    Dalam catatan Morgan Stanley yang dipimpin ekonom Chetan Ahya, Vietnam diprediksi akan menghadapi tantangan berat jika ingin menegosiasikan tarif yang lebih lunak. Prospek serupa juga berlaku untuk Thailand dan India, meskipun peluang negosiasi dinilai lebih terbuka untuk Indonesia.

    Namun, dari sisi resmi, belum ada sinyal bahwa negara-negara ASEAN akan membalas kebijakan Trump dengan tindakan serupa. Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, lewat unggahan di X (sebelumnya Twitter), menyatakan bahwa negaranya memahami kebutuhan Amerika Serikat untuk menyeimbangkan neraca perdagangannya. Di saat yang sama, media lokal melaporkan bahwa otoritas Thailand sedang menyiapkan strategi diplomasi untuk membuka ruang negosiasi.

    Malaysia juga mengambil pendekatan serupa. Kementerian Perdagangannya mengonfirmasi bahwa diskusi dengan otoritas AS sedang berlangsung, dan meskipun mereka memandang serius dampak kebijakan ini, Negeri Jiran tidak berencana mengambil langkah balasan. Sebaliknya, mereka tetap berpegang pada prinsip perdagangan bebas dan berkeadilan.

    Di Vietnam, pemerintahnya langsung menggelar rapat darurat pasca pengumuman tarif baru. Dalam pernyataan resminya, mereka menyampaikan harapan agar Amerika Serikat tetap mempertimbangkan hubungan bilateral yang telah terjalin baik selama ini. Bhargava memandang peluang bagi ASEAN untuk bernegosiasi masih terbuka. Vietnam, katanya, mungkin akan menawarkan konsesi tambahan seperti pemangkasan bea masuk agar dapat mengurangi beban tarif dari AS.

    Sementara itu, di Indonesia, belum terlihat adanya langkah diplomatik formal yang diumumkan pemerintah. Beberapa pejabat memang menyuarakan kekhawatiran, namun belum ada indikasi pemerintah Indonesia telah menghubungi lingkaran ekonomi Trump secara langsung. Meski begitu, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) lewat dokumen kebijakan terbarunya telah mendorong agar Indonesia segera mengirim delegasi tingkat tinggi ke AS demi membuka ruang dialog dan menghindari kerugian yang lebih besar.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.