KABARBURSA.COM - Pemilihan presiden (pilpres) 2024 di Amerika Serikat (AS) berpotensi menciptakan sejarah baru, di mana seorang presiden yang kalah dalam pemilihan sebelumnya bisa terpilih kembali setelah 130 tahun. Situasi ini menawarkan dua narasi yang berlawanan: peluang bagi Donald Trump dan tantangan bagi Kamala Harris.
Dengan hanya satu hari tersisa, perlombaan menuju Gedung Putih terbilang sangat ketat, baik di tingkat nasional maupun di negara-negara bagian yang menjadi medan pertempuran utama. Jajak pendapat menunjukkan hasil yang sangat dekat, bahkan berada dalam batas kesalahan, sehingga baik Trump maupun Harris bisa saja unggul dua atau tiga poin.
Seperti dikutip dari BBC News, Ada alasan kuat mengapa masing-masing dari mereka mungkin memiliki keunggulan dalam menarik koalisi pemilih di tempat yang tepat dan memastikan mereka benar-benar datang untuk memberikan suara.
Peluang Trump
Meskipun tingkat pengangguran rendah dan pasar saham menunjukkan performa baik, banyak warga AS merasa kesulitan dengan harga-harga yang terus naik. Inflasi telah mencapai level tertinggi yang belum pernah terlihat sejak tahun 1970-an pascapandemi, memberi Trump kesempatan untuk menanyakan, “Apakah keadaan Anda sekarang lebih baik dibandingkan empat tahun lalu?”
Di seluruh dunia, pemilih telah beberapa kali menyingkirkan partai yang berkuasa, termasuk di AS, di mana para pemilih tampaknya haus akan perubahan. Hanya seperempat orang Amerika yang merasa puas dengan arah negara mereka, dan dua pertiga memandang prospek ekonomi dengan pesimisme.
Meski terlibat dalam berbagai skandal, termasuk kerusuhan 6 Januari 2021 dan sejumlah dakwaan kriminal, dukungan untuk Trump tetap stabil di angka 40 persen atau lebih. Banyak pemilih Republik melihat Trump sebagai korban perburuan politik, dan ini mengurangi dampak negatif dari isu-isu yang melekat padanya. Dengan posisi ini, Trump hanya perlu menarik suara dari pemilih yang belum memutuskan untuk mendukungnya.
Isu-isu emosional sering kali menjadi penentu dalam pemilihan. Sementara Demokrat berharap isu aborsi akan menjadi fokus, Trump menyoroti masalah imigrasi. Meningkatnya jumlah imigran di perbatasan membuat pemilih lebih mempercayai Trump dalam hal ini, dan dia memperoleh dukungan yang lebih baik dari komunitas Latin dibandingkan pemilihan sebelumnya.
Daya tarik Trump terhadap pemilih yang merasa diabaikan telah mengubah konstituen tradisional Demokrat menjadi pendukung Republik. Jika Trump dapat meningkatkan dukungan di daerah pedesaan dan pinggiran kota, ini dapat mengimbangi hilangnya suara dari pemilih Republik yang lebih moderat dan berpendidikan tinggi.
Trump dilihat oleh banyak orang sebagai pemimpin yang lebih kuat dibandingkan Harris, terutama dalam konteks kebijakan luar negeri yang dipandang kurang tegas oleh pemerintahan Biden. Sikapnya yang tidak terduga dipandang sebagai kekuatan, meskipun kritik menilai ia merusak aliansi internasional.
Peluang Harris
Meskipun Trump memiliki banyak kelebihan, ia tetap sosok yang memecah belah. Pada tahun 2020, Trump mencetak rekor suara untuk kandidat Republik tetapi kalah oleh Biden. Harris memanfaatkan ketakutan akan kembalinya Trump, menyebutnya sebagai "fasis" dan ancaman bagi demokrasi, berusaha tampil sebagai kandidat yang membawa stabilitas.
Dengan Biden keluar dari persaingan, Partai Demokrat bersatu mendukung Harris. Ia dengan cepat menyampaikan pesan yang progresif dan berfokus pada masa depan. Meskipun serangan terhadapnya mengaitkannya dengan kebijakan Biden, Harris mampu membedakan dirinya dengan mengalihkan fokus kepada isu-isu yang lebih relevan.
Pemilihan 2024 menjadi yang pertama setelah Mahkamah Agung AS membatalkan Roe v. Wade, sehingga hak aborsi menjadi isu utama. Dukungan bagi Harris kuat di kalangan pemilih yang peduli akan perlindungan hak aborsi, dan banyak negara bagian akan mengadakan inisiatif pemungutan suara terkait isu ini.
Kelompok pemilih yang mendukung Harris, seperti yang berpendidikan tinggi dan yang lebih tua, cenderung lebih aktif memberikan suara. Di sisi lain, Trump telah memperoleh dukungan yang kuat di antara kelompok dengan jumlah pemilih yang lebih rendah.
Dalam hal dana, Harris memiliki keuntungan. Ia telah mengumpulkan lebih banyak dana daripada Trump sejak menjadi kandidat pada bulan Juli, dan kampanyenya telah menghabiskan hampir dua kali lipat lebih banyak untuk iklan. Ini akan berpengaruh besar pada kompetisi di negara-negara bagian yang terpengaruh oleh iklan politik.
Dengan demikian, pemilihan presiden 2024 akan menjadi pertarungan antara dua pendekatan yang berbeda: Trump yang berfokus pada isu ekonomi dan imigrasi, dan Harris yang berusaha menawarkan stabilitas dan melindungi hak-hak perempuan. Masing-masing memiliki keunggulan dan tantangan tersendiri, yang akan sangat menentukan arah politik Amerika Serikat di masa depan. (*)