KABARBURSA.COM - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengadakan pertemuan The 2nd International Tax Forum (ITF) di Kuta, Bali, pada 24-26 September 2024. Forum ini membahas kebijakan perpajakan dalam menghadapi tantangan ekonomi global yang terus berkembang.
Febrio Kacaribu, Kepala BKF, menyatakan bahwa ITF Ke-2 ini menjadi platform penting untuk diplomasi dan koordinasi, termasuk pertemuan bilateral dengan mitra strategis. Melalui kerja sama internasional ini, diharapkan dapat tercipta kebijakan perpajakan global yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan. Fokus utama forum ini adalah mencari solusi atas kompleksitas perpajakan internasional di era ekonomi digital. Seperti keterangannya dikutip di Jakarta, Selasa 24 September 2024.
Dalam sambutannya secara daring, Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menyoroti dua tantangan utama dalam perpajakan internasional. Pertama, perkembangan pesat teknologi digital memungkinkan perusahaan multinasional beroperasi lintas negara tanpa kehadiran fisik, namun tetap memperoleh penghasilan signifikan. Kedua, adanya kompetisi tarif pajak yang menyebabkan praktik Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yakni pengalihan laba ke yurisdiksi dengan tarif pajak lebih rendah untuk menghindari pajak.
Untuk mengatasi tantangan ini, negara-negara yang tergabung dalam Inclusive Framework (IF) on BEPS telah menyepakati Pilar 2, yang mencakup ketentuan Pajak Minimum Global dan Subject to Tax Rules (STTR). Pilar 2 ini bertujuan untuk mengurangi penghindaran pajak dan memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak yang adil di setiap negara tempat mereka beroperasi.
Instrumen Penerapan Pilar Kedua
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menandatangani Multilateral Instrument Subject to Tax Rule (MLI STTR) bersama dengan pimpinan dari 42 negara dan yurisdiksi lainnya.
MLI STTR adalah salah satu instrumen penerapan Pilar 2 yang merupakan bagian dari kesepakatan global untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat.
MLI STTR memungkinkan suatu negara untuk mengenakan pajak tambahan sampai dengan 9 persen atas penghasilan tertentu, seperti royalti, bunga, dan beberapa jenis jasa yang dibayarkan ke negara mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) jika memberlakukan tarif pajak kurang dari 9 persen.
Namun, ketentuan ini hanya berlaku atas penghasilan intragrup dengan nilai diatas EUR1 juta dalam satu tahun pajak (materiality threshold). Sementara, untuk penghasilan selain bunga dan royalti, nilai pembayaran harus melebihi biaya pokok ditambah dengan margin 8,5 persen (mark-up threshold).
Partisipasi Indonesia dalam MLI STTR menunjukkan komitmen negara untuk meningkatkan keadilan dan transparansi dalam kerja sama ekonomi global.
STTR juga mendorong penciptaan level playing field antara perusahaan lokal dan multinasional, sehingga memastikan perusahaan lokal mampu bersaing di pasar.
Selain itu, STTR juga berperan untuk memperkuat ketentuan anti penghindaran pajak dalam sistem perpajakan Indonesia dan menciptakan ruang fiskal yang lebih luas bagi Pemerintah dalam menanggulangi tantangan ekonomi makro lainnya.
Komitmen ini mencerminkan upaya Pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara pengembangan investasi dan penyediaan ruang fiskal yang sehat, untuk mendukung pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.
Dengan begitu, bergabungnya Indonesia dalam inisiatif ini sejalan dengan persiapan proses keanggotaan Indonesia ke Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
“Mobilisasi sumber daya domestik sangat penting bagi suatu negara dan STTR menyediakan jalan bagi negara-negara untuk melindungi basis pajak mereka,” ujar Menkeu.
Ketentuan MLI STTR akan dilakukan secara sistematis dan serentak tanpa melalui negosiasi bilateral. Namun dalam penerapannya, instrumen ini diperkirakan akan berdampak terhadap 29 P3B Indonesia dengan negara mitra, sehingga pemberlakuan MLI STTR masih memerlukan proses ratifikasi oleh Pemerintah.
Optimalisasi Penerimaan Pajak
Mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Hadi Purnomo, menyampaikan strategi untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan melalui monitoring self-assessment. Sistem ini berfungsi untuk memastikan bahwa seluruh transaksi keuangan dan non-keuangan Wajib Pajak (WP) dilaporkan secara benar, lengkap, dan transparan.
Menurut Hadi, monitoring self-assessment adalah kunci dalam menghadapi tantangan perpajakan, karena meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, yang pada akhirnya memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Seperti dalam pernyataan di Jakarta, Jumat 20 September 2024.
Sistem ini mengumpulkan data komprehensif yang membentuk Big Data Perpajakan, mencakup penerimaan pajak dari berbagai sumber, baik legal maupun ilegal, serta memetakan penggunaan dana dalam tiga sektor utama: konsumsi, investasi, dan tabungan.
Hadi menekankan bahwa penghindaran pajak dapat diminimalisir melalui integrasi data WP dalam satu sistem berbasis link and match, yang menciptakan peta penerimaan pajak yang akurat dan menyeluruh. Ini memungkinkan pihak berwenang untuk mencegah korupsi dan meningkatkan transparansi, dengan akses ke data keuangan dan non-keuangan yang sebelumnya dianggap rahasia.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.