Logo
>

Pemerintah Defisit Anggaran 2025, Apa Dampaknya?

Ditulis oleh Dian Finka
Pemerintah Defisit Anggaran 2025, Apa Dampaknya?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Direktur Next Policy Yusuf Wibisono mengungkapkan, penetapan defisit anggaran untuk tahun 2025 sebesar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dianggap berpotensi berbahaya.

    Dalam konteks ketidakpastian ekonomi global dan kebutuhan belanja yang tinggi untuk melanjutkan program pemerintahan Presiden Jokowi serta memulai program Presiden Prabowo, ada kekhawatiran besar bahwa defisit anggaran 2025 bisa meleset hingga mencapai 3 persen dari PDB.

    "Maka penetapan defisit anggaran 2025 sebesar 2,53 persen dari PDB menurut saya adalah berbahaya," kata Yusuf kepada Kabar Bursa, Minggu, 18 Agustus 2024.

    Adapun salah satu penyebab utama potensi pelebaran defisit adalah rendahnya rasio pajak dan beban belanja negara yang sangat besar. Selain itu, risiko utang yang menggunung turut memengaruhi situasi ini. Dalam dekade terakhir, peningkatan defisit anggaran semakin dipengaruhi oleh besarnya stok utang pemerintah dan beban bunga utang yang terus membengkak.

    "Tumpukan utang yang kini menggunung telah menyebabkan beban bunga utang yang sangat besar," jelasnya.

    Tren pembuatan utang baru menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun ke tahun, terutama melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, penerbitan SBN melonjak dari Rp 32,3 triliun pada 2004 menjadi Rp 439 triliun pada 2014. Era Presiden Joko Widodo juga menunjukkan lonjakan yang tajam, dari Rp 522 triliun pada 2015 menjadi Rp 922 triliun pada 2019.

    Selama pandemi COVID-19, penerbitan SBN bahkan menembus angka Rp 1.541 triliun pada 2020 dan Rp 1.353 triliun pada 2021. Meski menurun setelah pandemi, pada 2022 penerbitan SBN masih sangat tinggi, mencapai Rp 1.097 triliun.

    Utang Baru Meningkat 

    Peningkatan utang baru berkorelasi erat dengan beban bunga utang dan cicilan pokok utang. Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunganya sekitar Rp 300 triliun. Angka ini melonjak menjadi lebih dari Rp 700 triliun pada 2019 dan mencapai Rp 800 triliun pada 2021. Diproyeksikan pada 2024, jumlah ini akan mendekati Rp 1.100 triliun.

    "Dengan kata lain, kita sudah masuk dalam jebakan utang, berutang untuk bayar utang," tegasnya.

    Masalah ini diperkirakan akan memburuk di era kepemimpinan Presiden Prabowo. Utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2024 diperkirakan sekitar Rp 400 triliun. Selama periode 2025 hingga 2028, utang pemerintah yang jatuh tempo akan mencapai Rp 3.100 triliun, atau sekitar Rp 800 triliun per tahun. 

    Beban bunga utang diperkirakan mencapai Rp 600 triliun per tahun, yang berarti total beban bunga dan cicilan pokok utang bisa menembus Rp 1.400 triliun setiap tahunnya.

    Peningkatan stok utang yang signifikan ini berdampak negatif terhadap potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Bukti empiris menunjukkan bahwa tingginya stok utang pemerintah berhubungan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi. 

    Selain itu, alokasi anggaran publik menjadi semakin tidak pro-rakyat, dengan sebagian besar anggaran mengalir untuk pembayaran bunga utang yang masif, mengakibatkan daya beli dan permintaan agregat tertekan.

    Yusuf juga mengatakan beban bunga utang terus meningkat pesat. Pada 2015, beban bunga utang sekitar Rp 150 triliun, sedangkan pada 2024 diperkirakan mendekati Rp 500 triliun. Rasio bunga utang terhadap penerimaan pajak melonjak dari 17,9 persen pada 2019 menjadi 24,4 persen pada 2020, jauh di atas batas aman yang disarankan IMF yaitu 7-10 persen.

    "Dengan kapasitas fiskal yang melemah, utang telah menjadi beban yang semakin menghimpit," ungkapnya.

    Lanjutnya Yusuf menilai seiring dengan pemulihan ekonomi, beban ini menunjukkan penurunan yang tidak signifikan. Pada 2023, rasio bunga utang terhadap penerimaan pajak diperkirakan masih sekitar 20,6 persen, dan pada 2024 di kisaran 21,5 persen. 

    Dengan hampir seperempat penerimaan perpajakan digunakan hanya untuk membayar bunga utang, ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas.

    "Ketidakstabilan fiskal ini menuntut perhatian serius dan solusi yang efektif agar dampaknya terhadap ekonomi nasional dapat diminimalkan," tukasnya.

    Relokasi Anggaran

    Direktur Eksekutif Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai pemerintah berencana untuk mengatasi defisit ini, dengan cara mengelola pembiayaan melalui utang dan penjualan surat berharga negara (SBN).

    “Ya, saya kira kalau kita defisit rata-rata berarti kan secara umum hampir semua melalui utang-utang dan juga pembiayaan investasi. Tapi mayoritas pasti melalui utang, begitu ya sumber defisitnya. Tentu melalui penjualan surat perhargaan negara, SBN ya,” jelas Tauhid kepada  Kabar Bursa, Sabtu, 17 Agustus 2024.

    Mayoritas pembiayaan defisit akan berasal dari utang, baik itu melalui penerbitan surat berharga negara maupun pinjaman proyek dari luar negeri, baik bilateral maupun multilateral.

    Meskipun demikian, pemerintah akan menghadapi beban bunga utang yang relatif tinggi, berkisar antara 6-7 persen, yang akan menambah beban anggaran.

    Untuk menekan defisit, Tauhid menyarankan dua langkah utama: pertama, peningkatan penerimaan negara melalui optimalisasi pajak dan sumber lainnya; kedua, realokasi anggaran untuk efisiensi, terutama jika terjadi penurunan penerimaan negara secara tiba-tiba. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.