Logo
>

Pemerintah Genjot PLTN 35 GW, IESR: EBT Bisa Terabaikan

Potensi nuklir sebagai penyedia listrik rendah karbon yang mendukung target net-zero 2060.

Ditulis oleh Dian Finka
Pemerintah Genjot PLTN 35 GW, IESR: EBT Bisa Terabaikan
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga panas bumi. (Foto: Adobe Stock)

KABARBURSA.COM - Pemerintah kembali menghidupkan ambisi lama membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Targetnya tidak main-main, sebesar 35 gigawatt (GW) hingga tahun 2060. 

Dua proyek perdana berkapasitas masing-masing 250 megawatt (MW) di Kalimantan dan Sumatera bahkan sudah masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.

Langkah ini dinilai sebagai sinyal kuat bahwa pemerintah mulai memprioritaskan nuklir sebagai bagian dari strategi bauran energi nasional menuju emisi nol bersih. 

Namun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, mengingatkan bahwa arah kebijakan ini perlu dievaluasi lebih jernih, terutama jika didasarkan pada anggapan bahwa energi terbarukan seperti surya dan angin tidak cukup andal sebagai sumber listrik utama (base load).

“Rencana pengembangan PLTN ini sebenarnya bukan hal baru. Sudah ada sejak masa Presiden Soeharto, ketika Semenanjung Muria sempat ditetapkan sebagai lokasi PLTN pertama,” ujar Fabby kepada KabarBursa.com, Rabu, 11 Juni 2025.

“Tapi proyek itu gagal karena ada penolakan masyarakat. Bahkan di RPJP 2005–2024 pun wacana PLTN muncul lagi, tapi sampai hari ini belum ada satu pun yang dibangun,” tegasnya.

Menurut Fabby, alasan utama pemerintah menghidupkan kembali proyek PLTN adalah karena melihat potensi nuklir sebagai penyedia listrik rendah karbon yang mendukung target net-zero 2060. Namun, ia menegaskan bahwa pilihan teknologi rendah emisi tidak harus jatuh ke nuklir semata.

“PLTN memang dianggap bersih dari emisi karbon. Tapi bukan berarti satu-satunya solusi. Indonesia punya potensi besar di energi terbarukan yang sebenarnya lebih layak dikembangkan,” katanya.

Salah Persepsi terhadap PLTS dan PLTB

Fabby menyoroti adanya kekhawatiran di kalangan pembuat kebijakan dan para proponen nuklir bahwa dominasi energi terbarukan seperti PLTS dan PLTB dapat memicu risiko ketidakhandalan sistem kelistrikan.

Menurutnya, anggapan ini keliru. Ia menilai pemerintah salah dalam memahami potensi dan kapabilitas teknologi energi terbarukan modern.

“Pemerintah khawatir kalau PLTS dan PLTB mendominasi, sistem kelistrikan jadi tidak andal. Padahal, kekhawatiran itu tidak tepat. Sekarang teknologi PLTS dan PLTB sudah bisa dipasang bersama baterai,” ujarnya.

“Dengan kombinasi itu, pembangkit bisa menghasilkan listrik dispatch-able, artinya bisa diatur seperti PLTU. Bahkan capacity factor-nya bisa menyamai pembangkit thermal, tapi dengan harga yang makin kompetitif,” tambah Fabby.

Ia menegaskan, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperkuat infrastruktur pendukung seperti jaringan transmisi dan penyimpanan energi, bukan justru beralih ke opsi yang mahal dan kompleks seperti nuklir.

Fabby mengingatkan, jika targetnya adalah transisi cepat ke energi bersih, maka solusi paling logis adalah memperbesar kapasitas PLTS dan PLTB secara agresif. Sebab, kedua jenis pembangkit ini memiliki keunggulan dalam hal kecepatan pembangunan, biaya, dan fleksibilitas.

“PLTS bisa dibangun dalam hitungan bulan, sementara PLTN butuh bertahun-tahun, bahkan dekade. Belum lagi aspek sosial, regulasi, dan pembiayaan yang tidak sederhana,” katanya.

Karena itu, IESR memandang pemerintah semestinya tidak tergesa-gesa menjadikan nuklir sebagai tulang punggung bauran energi masa depan, apalagi jika hanya didasarkan pada asumsi bahwa energi terbarukan tidak andal sebagai base load.

“Indonesia harus mengutamakan solusi yang cepat, bersih, dan murah. Dan itu ada pada kombinasi energi terbarukan dan teknologi penyimpanan, bukan pada nuklir,” tutup Fabby.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.