KABARBURSA.COM – Prospek imbah hasil atau dividen yield emiten pelat merah diperkirkanan akan semakin manis di tahun depan. Pemerintah, lewan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara Indoneisa menargetkan penerimaan dividen jumbo hingga Rp140 triliun untuk tahun buku 2025. Angka ini naik tajam dari sekitar Rp90 triliun di tahun sebelumnya.
Kenaikan setoran ini bukan tanpa alasan. Di tengah perlambatan laba BUMN, pemerintah tampak ingin memaksimalkan setiap tetes keuntungan perusahaan negara untuk menopang kas fiskal. Tak heran, banyak yang mulai bertanya, apakah BUMN kini benar-benar sedang dijadikan sapi perah negara?
Berdasarkan riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, target penerimaan dividen negara pada tahun fiskal 2025 melonjak 56 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, lonjakan tersebut bukan karena laba BUMN yang sedang terkerek, tapi justru sebaliknya. Laba agregat BUMN20 diproyeksikan turun sekitar 9 persen secara tahunan.
Kenaikan target ini menandai adanya perubahan arah fiskal yang semakin berorientasi pada optimalisasi setoran dividen, bukan pada ekspansi laba korporasi. Pemerintah secara terang-terangan mendorong kebijakan “high payout, low growth” demi menambah ruang fiskal tanpa menaikkan pajak baru.
Dengan asumsi dividend payout ratio (DPR) rata-rata naik dari 45 persen di 2024 menjadi 77 persen pada 2025, BUMN akan diminta lebih agresif membagikan laba mereka ke kas negara.
Bank Himbara Tulang Punggung Utama
Dari kelompok besar BUMN20, sektor perbankan milik negara (Bank Himbara: BBRI, BMRI, BBNI, dan BBTN) tetap menjadi tulang punggung utama. Kontribusi mereka terhadap laba gabungan BUMN mencapai sekitar 70 persen, sementara dari sisi pendapatan sekitar 50 persen.
Namun, laba konsolidasi Himbara pada semester I-2025 tercatat turun 8,6 persen secara tahunan menjadi Rp62,5 triliun. Meski tekanan profitabilitas meningkat, likuiditas perbankan yang kuat dan efisiensi biaya masih memungkinkan pembagian dividen tinggi.
Dari sisi margin, Net Profit Margin (NPM) BUMN20 turun dari 19 persen menjadi 16 persen. Artinya, masih ada tekanan laba bersih yang lebih besar. Namun, dengan arus kas stabil dari sektor perbankan dan telekomunikasi, ruang pembayaran dividen tetap terbuka.
Di luar Himbara, ada Telkom (TLKM) yang diproyeksikan tetap mempertahankan payout stabil berkat arus kas operasional yang solid dan utang yang terkendali. TLKM juga diketahui menjadi salah satu kontributor tetap bagi penerimaan negara.
Hati-hati Risiko Penurunan Kinerja BUMN
Bagi investor, tahun 2025 berpotensi menjadi “tahun cuan dividen”. Dengan payout ratio yang melonjak, yield dividen saham-saham BUMN unggulan seperti BBRI, BMRI, BBNI, BBTN, dan TLKM bisa lebih menarik dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada akhirnya ini menciptakan peluang bagi investor yang berorientasi pada pendapatan (income seeker) di tengah faktor ketidakpastian makro yang masih tinggi. Namun, investor diminta untuk lebih berhati-hati. Jika laba terus menurun sementara pembagian dividen terlalu agresif, kemampuan BUMN menjaga kinerja jangka panjang bisa tertekan.
Risiko lain adalah potensi pelemahan valuasi. Yield tinggi memang menggoda, tapi jika tidak diimbangi pertumbuhan laba, saham-saham defensif bisa kehilangan daya tarik dari sisi apresiasi harga.
Artinya, strategi pemerintah mungkin menciptakan keuntungan jangka pendek bagi APBN dan investor yield hunter, tapi dalam horizon lebih panjang, bisa menggerus ruang reinvestasi dan ekspansi BUMN itu sendiri.
Secara keseluruhan, riset Kiwoom menilai strategi fiskal berbasis dividen ini masih akan “rewarding” bagi pemburu yield. Dengan kata lain, meski pertumbuhan laba BUMN cenderung landai, kebijakan payout yang agresif menjamin aliran kas dividen tetap deras.
Bagi pasar, 2025 bisa menjadi tahun yang unik, di mana pertumbuhan melambat, tapi setoran tinggi . Ini justru menjadi paradoks yang bisa membuat saham-saham BUMN tertentu tetap menarik di tengah tekanan ekonomi global.(*)