KABARBURSA.COM - Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, mengungkapkan bahwa hingga akhir Agustus 2024, pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp347,6 triliun.
"Dari total target APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), pembiayaan utang yang telah terealisasi hingga 31 Agustus mencapai Rp347,6 triliun, atau sekitar 53,6 persen dari target," jelas Suahasil dalam Konferensi Pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin 23 September 2024.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa sebagian besar pembiayaan utang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), dengan nilai neto mencapai Rp310,4 triliun, yang setara dengan 46,6 persen dari target.
"Dengan meningkatnya pendanaan APBN, kita berhasil merealisasikan Rp310,4 triliun, dan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, kita juga mendapatkan aliran masuk dari pasar SBN," tambah Suahasil.
Sementara itu, pembiayaan melalui pinjaman hingga 31 Agustus 2024 tercatat sebesar Rp37,2 triliun, atau 202,8 persen dari target APBN tahun ini. Selain itu, pembiayaan nonutang hingga akhir Agustus telah mencapai Rp55,7 triliun, atau 44,4 persen dari target.
Suahasil menekankan bahwa pengelolaan utang dilakukan dengan hati-hati, memperhatikan proyeksi defisit APBN dan likuiditas pemerintah, serta mencermati perkembangan di pasar keuangan.
"Kita terus memantau agar pembiayaan di tahun 2024 dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan proyeksi defisit APBN dan kondisi likuiditas pemerintah," ujarnya.
Saat memasuki kuartal keempat, lanjut Suahasil, pemerintah akan terus mencermati dinamika pasar dan bersiap menghadapi pelaksanaan APBN 2025, terutama pada kuartal pertama tahun depan.
"Ketika nanti kita memasuki kuartal empat, tentu kita terus mencermati dinamika pasar serta menyiapkan kewaspadaan untuk pelaksanaan APBN 2025 terutama di kuota satu 2025," sambungnya.
DPR RI Sahkan APBN 2025
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) bersama pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dalam Rapat Paripurna pada Kamis, 19 September 2024. Salah satu poin penting dalam APBN ini adalah rencana pembiayaan utang sebesar Rp775,87 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang turut merancang APBN 2025, menjelaskan bahwa penarikan utang baru ini akan dilaksanakan pada tahun pertama pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Dengan demikian, pemerintahan Prabowo akan memulai tahun pertamanya pada 2025 dengan penarikan utang sebesar Rp775,87 triliun.
"Pembiayaan utang Rp775,9 triliun dikelola secara hati-hati, prudent, dan sustainable, dengan pengendalian risiko dalam batas yang manageable," tutur Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna.
Sementara bila membandingkan dengan rencana pembiayaan utang tahun ini yang senilai Rp553,1 triliun, angka tersebut melonjak hingga 40,2 persen. Terdapat kenaikan hingga Rp222,8 triliun.
Dibandingkan dengan rencana pembiayaan utang pada tahun 2024 yang mencapai Rp553,1 triliun, jumlah ini mengalami kenaikan signifikan sekitar 40,2 persen atau sebesar Rp222,8 triliun. Hal ini menunjukkan tren peningkatan pembiayaan utang yang masih terus berlanjut.
Warisan Defisit APBN
Padahal, Era pemerintahan Jokowi telah meninggalkan warisan defisit APBN yang mengkhawatirkan dan penerimaan pajak yang merosot tajam.
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin melebar hingga Agustus 2024 tercatat tercatat Rp153,7 triliun
Salah satu faktor penyebabnya adalah pendapatan negara yang tertekan, sedangkan belanja negara mengalami kenaikan yang signifikan.
Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM Indef, Eisha Rachbini, memaparkan bahwa akar masalah defisit bukan hanya terletak pada ketidakseimbangan belanja dan penerimaan, tetapi juga pada ketergantungan berbahaya terhadap utang.
Defisit APBN yang melebar selama pemerintahan Jokowi disebabkan oleh struktur APBN yang rusak. Ketika belanja negara terus melambung sementara penerimaan stagnan, pemerintah terpaksa menutup celah dengan utang.
"Akar dari kenapa menyimpang defisit, biasanya dari struktur dan komposisi APBN, didalami lagi, adanya defisit APBN karena antara belanja dan penerimaan menjadi lebih besar belanja. maka utk membiayai operasional diperoleh dari utang," tegasnya dalam diskusi virtual yang bertajuk Warisan Hutang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo, yang digelar beberapa hari lalu.
Adapun Data menunjukkan bahwa defisit fiskal selama periode 2015-2023 semakin parah. Selisih antara penerimaan dan pengeluaran negara melebar, terutama selama pandemi, dengan defisit mencapai minus 2,8 persen.
Meskipun angka ini masih di bawah batas 3 persen yang ditetapkan UU Keuangan, Eisha menekankan bahwa kedekatannya dengan batas tersebut menunjukkan kurangnya ruang fiskal yang memadai.
"Tapi jika dekat sekali dengan 3 persen maka implikasinya kita jadi tidak punya ruang fiskal yang memadai, dan rentan alami shock risiko ke depan. Contohnya dulu ketika tiba-tiba ada pendemi," jelasnya. (*)