KABARBURSA.COM – Pemerintah memutuskan menolak rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) soal pengenaan bea masuk untuk benang filamen sintetis dari China. Langkah ini jadi kompromi mahal di tengah sorotan atas merosotnya daya tahan industri tekstil nasional—baik di sisi hulu maupun hilir.
Menteri Perdagangan Budi Santoso menyebut keputusan ini diambil setelah menimbang kondisi pasokan dalam negeri yang belum mencukupi dan kekhawatiran akan lonjakan beban biaya produksi di sektor hilir.
“Pasokan benang filamen sintetis di pasar domestik saat ini masih terbatas. Sebagian besar produsen dalam negeri justru menggunakannya untuk kebutuhan sendiri. Jadi, pemberlakuan BMAD dikhawatirkan akan menekan sektor hilir,” ujar Budi dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis, 19 Juni 2025.
Kebijakan ini juga mencerminkan respons atas kebijakan tarif sebelumnya yang telah lebih dulu diberlakukan terhadap sektor hulu industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Budi mengatakan saat ini industri telah dikenai Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) sesuai PMK Nomor 46 Tahun 2023, serta Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas produk polyester staple fiber asal India, China, dan Taiwan berdasarkan PMK Nomor 176 Tahun 2022.
Ia mengkhawatirkan, jika satu lagi produk dikenai BMAD, maka biaya produksi di sektor hilir akan meningkat, yang pada akhirnya akan menggerus daya saing industri tekstil nasional secara menyeluruh.
Budi juga menyoroti kondisi industri TPT yang terus tertekan selama beberapa tahun terakhir. Kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun dari 1,3 persen pada 2019 menjadi 1,1 persen pada 2024. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh dampak pandemi, ketegangan geoekonomi global, serta kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan negara mitra dagang, seperti Amerika Serikat.
Ia menegaskan bahwa sektor hulu dan hilir sama-sama sedang menghadapi tekanan berat. Penutupan sejumlah industri menjadi indikator bahwa situasi global saat ini belum berpihak pada industri tekstil nasional.
Keputusan menolak BMAD disebut diambil setelah melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Beberapa institusi yang terlibat dalam pembahasan tersebut antara lain Kemenko Perekonomian, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kementerian Perindustrian.
Pemerintah, kata Budi, tetap berkomitmen pada prinsip industrial equilibrium—yakni menjaga keberlangsungan industri dalam negeri, sekaligus memastikan sektor hilir tetap mendapatkan bahan baku dengan harga yang kompetitif.
“Kami memahami pentingnya proteksi terhadap industri dalam negeri, tapi juga tak bisa mengabaikan kebutuhan sektor hilir untuk tetap efisien. Keseimbangan ini penting agar industri TPT nasional tidak terjebak dalam jebakan saling sandera antara hulu dan hilir,”jelasnya.
Sebagaimana diketahui, penyelidikan atas dugaan praktik dumping POY dan DTY dari China dilakukan sejak 12 September 2023 oleh KADI atas permohonan APSyFI yang mewakili dua produsen utama: PT Asia Pacific Fibers Tbk dan PT Indorama Synthetics Tbk. Kedua produk tersebut masuk dalam klasifikasi HS 5402.33 dan 5402.46 sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2022.
Namun bagi pemerintah, langkah pemberlakuan BMAD saat ini justru dinilai kontraproduktif dengan upaya menjaga daya saing nasional, terutama ketika industri tengah berjuang bertahan di tengah gempuran tekanan global. “Prioritas kita adalah memastikan keberlangsungan industri secara keseluruhan. Pemerintah tetap terbuka meninjau kembali kebijakan ini bila situasinya berubah, tapi untuk saat ini, menjaga stabilitas pasokan dan biaya produksi menjadi hal yang lebih mendesak,” kata Budi.(*)