KABARBURSA.COM - Di tengah derasnya realisasi program populis dan belanja jumbo, kondisi penerimaan negara justru makin mengkhawatirkan.
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai pemerintah tampak memilih pendekatan optimisme semu ketimbang menghadirkan transparansi atas pelemahan struktural dalam pendapatan negara hingga pertengahan 2025.
Andri menyoroti bahwa realisasi penerimaan negara per 31 Mei 2025 hanya mencapai Rp995,3 triliun atau setara 33,1 persen dari target APBN sebesar Rp3.005,1 triliun. Ia menyebut capaian ini sebagai yang terendah dalam enam tahun terakhir—bahkan lebih buruk dari masa pandemi 2020.
“Ini pencapaian yang patut jadi alarm fiskal, tapi justru tidak menjadi sorotan utama pemerintah dalam siaran pers APBN,” kata Andri kepada KabarBursa.com, Kamis 19 Juni 2025.
Lebih dari itu, menurutnya, penurunan sebesar 11,41 persen dibanding periode yang sama tahun lalu menjadi sinyal serius bahwa fondasi pendapatan negara sedang rapuh.
“Tahun lalu saja sudah mengalami shortfall, sekarang posisinya lebih buruk. Artinya potensi shortfall tahun ini makin besar,” ujarnya.
Andri juga mengkritisi cara penyampaian data pemerintah yang tidak menyertakan perbandingan tahunan dalam presentasi resmi Menteri Keuangan. Ia menilai hal itu sebagai bentuk pengaburan atas tren negatif yang sedang berlangsung.
“Secara komunikasi publik, ini menciptakan kesan bahwa semua masih baik-baik saja. Padahal secara struktural, kita sedang menghadapi masalah penerimaan yang serius,” tegasnya.
Di tengah lemahnya pendapatan, pemerintah justru membuka blokir anggaran untuk mendorong belanja. Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi memperbesar defisit secara drastis di semester kedua, terutama dengan munculnya beban tambahan dari program-program raksasa seperti Makan Bergizi (MBG).
“Anggarannya sudah naik Rp100 triliun, belum lagi program lain yang sedang disiapkan. Kalau pendapatan masih segini, bagaimana kita bisa biayai semuanya?” katanya.
Andri menilai pemerintah harus berhenti mengandalkan narasi optimis tanpa dasar kuat. Ia mendorong agar Kemenkeu mulai terbuka menyampaikan risiko yang ada, termasuk meninjau kembali proyeksi pendapatan dan belanja.
“Yang dibutuhkan sekarang bukan ilusi fiskal sehat, tapi koreksi arah kebijakan sebelum tekanan makin dalam,” pungkasnya.(*)