KABARBURSA.COM – Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras pada Senin, 13 Januari 2025. Langkah ini dinilai sebgai upaya mendukung petani menghadapi lonjakan biaya produksi dan memperkuat stok beras nasional.
Namun, tanpa kenaikan harga eceran tertinggi (HET), kebijakan ini menjadi dilema bagi pelaku penggilingan kecil, yang terjepit antara kepentingan ekonomi dan regulasi.
Saat ini, harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani meningkat dari Rp6.000 per kilogram menjadi Rp6.500 per kilogram. Di penggilingan, GKP dihargai Rp6.700 per kilogram, naik dari sebelumnya Rp6.100.
Sementara itu, harga beras di gudang BULOG dengan kualitas derajat sosoh atau tingkat terlepasnya lapisan perikarp, testa dan aleuron serta lembaga dari butir beras sebesar 100 persen dan kadar air maksimal 14 persen melonjak dari Rp11 ribu menjadi Rp12 ribu per kilogram.
Pengamat pertanian Khudori melihat kenaikan HPP bertujuan memberikan insentif ekonomi kepada petani agar tetap terdorong meningkatkan produksi.
“Langkah ini sekaligus sebagai wujud upaya untuk menjaga kegairahan petani dalam mengusahakan padi,” ujar dia dalam keterangan resmi, Selasa, 14 Januari 2024.
Khudori menilai, kebijakan ini juga mencerminkan upaya pemerintah memaksimalkan produksi domestik, terutama dengan target tidak ada impor beras tahun ini.
Seperti halnya tahun 2023 impor beras BULOG mencapai 3,06 juta ton dan tahun 2024 mencapai sekitar 3,5 juta ton. Namun, langkah tersebut menghadirkan tantangan, khususnya bagi penggilingan padi kecil.
“Produksi beras diperkirakan melimpah pada Maret hingga Juni nanti. Ini periode terbaik bagi BULOG untuk menyerap gabah dan beras dari petani,” tambah dia.
Artinya, dalam waktu dekat BULOG tidak akan mengimpor beras seperti yang dilakukan dua tahun terakhir. Namun, menurutnya, tanpa kenaikan harga eceran tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium, penggilingan kecil dihadapkan pada dilema, menjual beras dengan kualitas lebih rendah agar sesuai HET atau menjual beras berkualitas tinggi dengan harga di atas HET, yang biasanya hanya dapat dilakukan di pasar tradisional.
“Ketika penyerapan gabah atau beras BULOG dinilai memadai, boleh jadi, pada saat itulah pemerintah akan memberlakukan HET beras yang baru. Karena tidak masuk di akal menaikkan HPP tanpa diikuti kenaikan HET. Gabah adalah input produk beras. Ketika harga input atau bahan baku naik, harga output yaitu beras juga pasti naik,” terangnya
Kemungkinan Hilangnya Merek Beras Premium
Khudori juga mengingatkan potensi perubahan pasar akibat kebijakan ini. Merek-merek beras premium yang biasa ditemukan di pasar modern berpeluang menghilang secara perlahan, karena beras dari gabah dengan harga lama mulai habis.
Bagi penggilingan padi, terutama skala kecil, musim panen raya menjadi momen penting untuk mendapatkan gabah. Namun, dengan tidak naiknya HET beras, penggilingan padi menghadapi dua pilihan.
Mereka bisa menjual beras sesuai HET meski harus mengorbankan kualitas, atau menjual beras dengan kualitas baik tetapi dengan harga di atas HET. Pilihan terakhir ini lebih mungkin terjadi di pasar tradisional, mengingat pasar tersebut sering kali tidak mematuhi aturan HET dan tidak dikenakan tindakan tegas.
Penggilingan padi yang tergabung dalam PERPADI harus tetap beroperasi dan menjadi mitra BULOG dengan fokus pada percepatan perputaran stok.
Hal ini diduga menjadi alasan pengurus PERPADI diundang dalam pembahasan waktu pemberlakuan HPP baru, agar sektor swasta dapat lebih dulu membantu BULOG memenuhi stok tanpa memicu persaingan perebutan gabah di pasar, yang pada akhirnya bertujuan untuk menjaga kestabilan harga.
“Jika dugaan ini benar, situasi seperti yang terjadi pada Maret-April tahun lalu bisa terulang. Supermarket dan ritel modern mungkin hanya akan menjual beras SPHP milik BULOG atau beras khusus yang tidak diatur HET,” paparnya.
Perlu Evaluasi Berbasis Data
Khudori menekankan pentingnya pengawasan ketat dalam implementasi kebijakan ini. Menurutnya, jika BULOG masih mengalami kendala dalam menyerap gabah atau beras mengindikasikan adanya masalah di lapangan yang harus segera diatasi.
Ia juga menjelaskan bahwa konsumen yang tidak lagi menemukan berbagai merek beras premium di supermarket masih bisa mencarinya di pasar tradisional. Meskipun kemungkinan besar beras tersebut tersedia, harganya berpotensi berada di atas HET.
Khudori menambahkan bahwa jika pengadaan beras oleh BULOG tetap tidak menunjukkan perbaikan, diperlukan upaya untuk mengidentifikasi penyebab masalah tersebut.
“Agar kebijakan bisa berjalan efektif, pemerintah perlu memastikan bahwa keputusan yang diambil berbasis pada bukti-bukti di lapangan,” ujarnya. (*)