KABARBURSA.COM - DPR RI menyatakan bahwa pemerintah belum membuka diskusi terkait penundaan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang akan berlaku efektif pada 1 Januari 2025, meski kenaikan ini menuai penolakan dari masyarakat yang khawatir terhadap dampaknya pada daya beli.
Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad mengonfirmasi bahwa belum ada pembicaraan formal mengenai penundaan implementasi kebijakan tersebut.
“Belum pernah ada ajakan untuk membahas penundaan PPN karena saya kira kami konsisten sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP),” kata Kamrussamad, Selasa, 3 Desember 2024 malam.
Ia mengungkapkan, bahwa pekan depan DPR memasuki masa reses, sehingga tidak ada peluang untuk mengambil keputusan terkait kebijakan di luar masa sidang, kecuali dalam kondisi genting.
Untuk diketahui, masyarakat menolak kenaikan tarif PPN melalui petisi daring bertajuk “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” yang diunggah di laman Change.org sejak 19 November 2024.
Petisi yang dibuat oleh pengguna bernama ‘Bareng Warga’ ini memprotes kenaikan PPN di tengah pelemahan daya beli masyarakat. Hingga Rabu, 4 Desember 2024 pukul 10.30 WIB, petisi tersebut telah mengumpulkan 15.750 tanda tangan.
Beberapa anggota DPR dari Komisi XI juga mengusulkan penundaan kebijakan tersebut. Namun, Kamrussamad menduga bahwa pihak-pihak yang mendukung penundaan itu tidak terlibat dalam proses pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam pembahasan sebelumnya, hanya satu fraksi yang menolak UU tersebut. Namun, Kamrussamad tidak menyebutkan nama fraksi tersebut.
Berdasarkan UU HPP, kenaikan tarif PPN dari 10 persen ke 11 persen telah berlaku sejak 1 April 2022. Kenaikan lanjutan dari 11 persen menjadi 12 persen dijadwalkan berlaku pada 1 Januari 2025.
Menurut Kamrussamad, jika pemerintah ingin meninjau ulang atau menyesuaikan tarif PPN, proses tersebut harus disesuaikan dengan siklus pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang biasanya berlangsung pada bulan Maret setiap tahunnya.
Terkait dengan upaya mengurangi dampak kenaikan tarif PPN, Kamrussamad menilai bahwa pemerintah perlu memberikan perhatian lebih kepada sektor manufaktur, terutama yang bersifat padat karya. Ia menyebut bahwa sektor ini memerlukan insentif untuk menjaga daya saing dan mencegah dampak negatif pada lapangan kerja.
Sementara itu, untuk masyarakat berpenghasilan rendah, Kamrussamad menilai bahwa bantuan Perlindungan Sosial (Perlinsos) dari pemerintah sudah cukup memadai untuk menopang daya beli.
Ia juga menegaskan bahwa barang dan jasa tertentu seperti pendidikan, sosial, sembako, dan makanan tidak akan dikenakan tarif PPN 12 persen.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pemerintah akan mengumumkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Kenaikan tersebut direncanakan akan diumumkan pada pekan depan.
Airlangga menjelaskan bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN ini sesuai dengan amanah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Meskipun demikian, ia menegaskan, pengumuman mengenai hal ini akan dilakukan setelah dilakukan simulasi terlebih dahulu.
“Akan diumumkan pekan depan, dan akan disimulasikan lebih dulu,” kata Airlangga saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, pada Selasa, 3 Desember 2024.
Terkait siapa yang akan mengumumkan kenaikan tarif PPN tersebut, Airlangga menyebutkan bahwa dirinya belum dapat memastikan apakah pengumuman itu akan dilakukan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, pengumuman tersebut akan dilakukan setelah laporan disampaikan kepada Presiden.
“Kita akan laporkan ke beliau (Prabowo Subianto),” ujar Airlangga.
Selain kenaikan tarif PPN, Airlangga juga menyebutkan bahwa pekan depan akan ada pengumuman terkait kebijakan fiskal lainnya. Beberapa di antaranya adalah insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan dan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP).
Menurut Airlangga, sejumlah kebijakan fiskal ini sedang dimatangkan untuk diputuskan apakah akan dilanjutkan pada tahun depan. Sebagai contoh, ia menyebutkan kebijakan PPnBM untuk otomotif dan PPN untuk sektor perumahan.
“Contohnya, tahun ini ada PPnBM untuk otomotif dan PPN untuk perumahan. Ini masih dimatangkan, dan minggu depan akan diumumkan untuk kebijakan tahun depan,” terangnya.
Selain itu, Airlangga juga membocorkan adanya insentif baru yang akan diumumkan pekan depan. Salah satunya adalah insentif untuk industri padat karya, yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing sektor industri tersebut.
“Kita juga membahas insentif untuk industri padat karya, serta revitalisasi permesinan. Kami meminta perhitungan kembali mengenai skema insentif ini. Tujuannya agar industri padat karya memiliki daya saing. Jika tidak berdaya saing, tentu akan kalah dengan industri yang baru berinvestasi,” jelas Airlangga.
Hal senada dikatakan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Parjiono mengatakan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tetap diberlakukan pada Januari 2024.
Menurut Parjiono, kebijakan ini dirancang dengan sejumlah pengecualian untuk melindungi daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan seperti masyarakat miskin, sektor kesehatan, dan pendidikan.
“Jadi, kita masih dalam proses ke sana, artinya akan berlanjut. Tapi kalau kita lihat dari sisi menjaga daya beli masyarakat, pengecualiannya sudah jelas, masyarakat miskin, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya,” kata Parjiono di Jakarta, Selasa, 3 Desember 2024.
Tak hanya itu, lanjut Parjiono, pemerintah juga akan memperkuat subsidi sebagai langkah antisipasi dampak kebijakan ini. Ia menyebut insentif perpajakan saat ini cenderung lebih dinikmati oleh kelas menengah atas.
“Daya beli masyarakat adalah salah satu prioritas, sehingga subsidi akan diperkuat sebagai jaring pengaman. Kalau kita lihat insentif perpajakan, yang lebih banyak menikmati justru kelas menengah atas,” jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa penerapan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen kemungkinan akan ditunda.
Penundaan itu untuk memberikan waktu terkait dengan perhitungan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat yang terdampak.
“Penerapan PPN 12 persen hampir pasti akan diundur, agar program stimulus ini bisa berjalan terlebih dahulu,” kata Luhut saat ditemui di TPS 004, Kelurahan Kuningan Timur, Jakarta Selatan, Rabu, 27 November 2024.
Dijelaskan Luhut, pemerintah saat ini sedang menghitung jumlah bansos yang akan diberikan. Dia menyebut, pemberian bansos diperkirakan berupa subsidi listrik.
Adapun yang berhak mendapatkan bansos ini adalah golongan masyarakat menengah dan bawah.
“PPN 12 persen harus disertai dengan stimulus untuk masyarakat yang ekonominya tertekan, terutama bagi mereka yang mungkin sedang kesulitan. Saat ini perhitungan sedang dilakukan, baik untuk kelas menengah maupun bawah,” ujar Luhut.
Mengenai alasan pemberian bansos dalam bentuk subsidi listrik, bukan berupa bantuan langsung tunai (BLT). Langkah ini diambil untuk menghindari penyalahgunaan bantuan yang bisa terjadi jika diberikan langsung ke masyarakat.
“Jika bantuan diberikan langsung, ada risiko penyalahgunaan. Jadi kami pertimbangkan untuk menyalurkannya melalui subsidi listrik, mungkin dengan batasan penggunaan listrik untuk yang pemakaian 1.300 hingga 1.200 Watt ke bawah. Semua perhitungan ini masih dalam proses,” jelasnya.
Mengenai anggaran untuk bansos ini, Luhut memastikan bahwa anggaran negara melalui APBN mencukupi. Ia mengungkapkan, penerimaan pajak yang baik memungkinkan negara untuk mengalokasikan dana hingga ratusan triliun untuk program ini.
“APBN kita cukup kuat, penerimaan pajak kita juga bagus. Ada ratusan triliun yang bisa digelontorkan untuk mendukung kebijakan ini,” tegas Luhut.
“Namun, yang penting adalah memastikan bantuan ini efisien dan tepat sasaran, sesuai dengan harapan Presiden,” pungkasnya. (*)