KABARBURSA.COM - Anggota DPR RI, Amin Ak, mengatakan penundaan pembatasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) merupakan langkah yang tepat di tengah kondisi ekonomi saat ini. Menurutnya, kebijakan ini mencegah meningkatnya biaya hidup yang berpotensi menekan daya beli masyarakat yang sudah terpuruk.
"Deflasi yang terjadi lima bulan berturut-turut di tengah cukupnya pasokan barang kebutuhan pokok menunjukkan penurunan daya beli," ujar Amin dalam keterangan tertulis, Jumat, 4 Oktober 2024.
Dia menyoroti berbagai faktor, termasuk pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang telah melemahkan daya beli dan memicu penurunan permintaan barang. Jika subsidi BBM dicabut, efeknya akan berantai, mulai dari naiknya harga transportasi hingga harga barang kebutuhan pokok.
Amin pun memperingatkan banyak masyarakat, terutama kelompok rentan, masih sangat bergantung pada subsidi BBM untuk kebutuhan sehari-hari. Jika subsidi ini dicabut, dampaknya akan dirasakan langsung oleh pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Saat ini saja produk mereka sulit laku, apalagi kalau daya beli masyarakat makin terpuruk," katanya.
Penundaan ini, menurut Amin, memberi pemerintah waktu untuk mencari solusi yang lebih adil serta menyiapkan infrastruktur dan sistem untuk memastikan subsidi BBM tepat sasaran. Kebocoran subsidi yang masih dimanfaatkan sektor industri dan perkebunan perlu segera ditangani.
Selain itu, Amin mendorong pemerintah untuk mempercepat transisi energi menuju sumber-sumber terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, serta mengembangkan biofuel sebagai langkah yang lebih berkelanjutan.
"Indonesia perlu segera menyusun peta jalan terpadu untuk memastikan pelaksanaan biodiesel yang efektif," katanya.
Jokowi Bingung Teken Regulasi
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih bimbang dalam memutuskan kebijakan pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Hal itu dia ungkap menyusul pernyataan para menteri Jokowi yang hilir-mudik menyatakan bahwa pemerintah akan segera membatasi BBM bersubsidi. Pertama, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pembatasan BBM Subsidi akan dimulai 17 Agustus 2024.
Namun, tutur Fahmy, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pemerintah tidak berencana membatasi BBM bersubsidi pada 17 Agustus 2024. Pada kesempatan lain, Jokowi juga ikut menyangkal pernyataan Luhut.
“Presiden Joko Widodo juga ikut menyangkal pernyataan Luhut dengan mengatakan bahwa kebijakan pembatasan BBM Subsidi belum terpikirkan,” kata Fahmy dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 5 September 2024.
Tak berselang lama, Menteri Energi dan Sumber Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, paska dilantik sebagai pengganti Arifin Tasrif mengatakan pembatasan pembelian BBM Subsidi akan dilakukan mulai 1 Okober 2024, yang akan didahului dengan sosialisasi.
Pernyataan Bahlil pun turut disangkal Jokowi, yang menyebut belum ada pembahasan mengenai pembatasan BBM bersubsidi. Tak lama setelahnya, Menteri Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, juga menyangkal pernyataan Bahlil dengan mengatakan belum ada pembahasan soal kebijakan pembatasan BBM Subsidi.
“Bantahan Presiden Jokowi yang kedua kalinya mengindikasikan bahwa Jokowi masih bimbang memutuskan kebijakan pembatasan BBM Subsidi,” jelasnya.
Fahmy menilai, Jokowi menaruh kekhawatiran kebijakan pembatasan BBM Subsidi akan menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat, sehingga bisa menurunkan legasi Jokowi sebelum lengser pada 20 Oktober 2024.
Menurutnya, pembatasan BBM bersubsidi memang berpotensi mengerek harga BBM bagi konsumen yang tidak berhak menerima subsidi, yang secara tidak langsung harus migrasi dari BBM Subsidi ke BBM Non-Subsidi dengan harga lebih mahal.
Kendati begitu, Fahmy menilai hendaknya kenaikan harga tersebut dilokalisir sehingga tidak memicu inflasi secara signifikan dan tidak menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas. Menurutnya, tidak ada alasan bagi Jokowi untuk bimbang dalam memutuskan kebijakan pembatasan BBM Subsidi.
Pasalnya, tutur Fahmy, jumlah beban subsidi BBM yang salah sasaran sudah sangat besar, yakni sekitar Rp90 triliun per tahun. Menurutnya, hal tersebut akan memberatkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kalau sampai dengan lengser, Jokowi tidak juga memutuskan kebijakan pembatasan BBM Subsidi, beban APBN tersebut akan diwariskan kepada Pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subiyanto,” katanya.
Carut-Marut Koordinasi Kementerian
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mulyanto, menilai rencana pemerintah dalam membantu penjualan Pertalite masih simpang-siur. Menurutnya, ketidakjelasan rencana tersebut menandakan koordinasi di tingkat pemerintah masih amburadul.
Masing-masing Menteri, kata Mulyanto, memiliki kemauan tersendiri dan pada saat yang sama Presiden Jokowi terkesan tidak peduli dengan urusan yang dinilai genting tersebut.
Mulyanto menilai Jokowi seharusnya dapat memberikan arahan yang jelas dan tegas terkait penerapan undang-undang penjualan BBM bersubsidi ini, sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran tersebut.
“Saya lihat di tingkat pemerintah ini yang tidak kompak. Menteri Keuangan Sri Mulyani berkali-kali menyebut rencana tersebut akan diimplementasikan pada tahun anggaran 2025.Tetapi Menteri Teknis mewacanakan waktu implementasi yang berubah-ubah. Mulai dari 17 Agustus, menjadi 1 September, dan sekarang diwacanakan pada 1 Oktober,” kata Mulyanto dalam keterangannya, Kamis, 5 September 2024.
Selain itu, Mulyanto menilai Bahlil Lahadalia hanya ingin kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) tanpa merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
“Kalau sekedar Permen kedudukan hukumnya tidak terlalu kuat dan meremehkan keabsahannya,” tegas Mulyanto.
Dia menuturkan, kebijakan pengaturan terkait dengan BBM bersubsidi selama ini menjadi domain Presiden, bukan menteri. Mulyanto menilai seorang menteri mestinya hanya melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan Jokowi.
Mulyanto berpendapat kebijakan mengikat penjualan BBM jenis Pertalite sebaiknya diatur melalui revisi Perpres No. 191 Tahun 2014 dengan memasukkan kriteria kendaraan yang diperbolehkan membeli BBM jenis Pertalite, agar tidak menimbulkan masalah hukum kelak di kemudian hari.
Pasalnya, kata dia, Perpres tersebut belum memuat pengaturan terkait Pertalite. Sedang menawarkan BBM jenis Solar, katanya, sudah diatur dalam Perpres tersebut.
Sementara itu, Perpres No. 117 Tahun 2021 tentang BBM khusus penugasan hanya mengatur wilayah distribusi BBM khusus penugasan, yaitu mencakup seluruh wilayah Indonesia dan mengubah BBM khusus penugasan dari Premium RON 88 ke Pertalite RON 90.
Dalam Perpres tersebut, Mulyanto menegaskan tidak ada pelimpahan amanat pengaturan kriteria kendaraan yang dapat membeli Pertalite kepada Menteri. “Jadi bagusnya Pak Bahlil duduk bersama Ibu Sri Mulyani untuk mencari titik-temu. Yang kompaklah. Jangan potong-kompas dan memaksakan diri dengan menerbitkan Permen Pertalite sendiri,” tandasnya.(*)