Logo
>

Perang India-Pakistan Picu Risiko Ekonomi Global dan Nuklir

Ketegangan India-Pakistan tak hanya ganggu pasar saham, tapi juga memicu kekhawatiran akan krisis global dan potensi perang nuklir yang mengancam jutaan jiwa.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Perang India-Pakistan Picu Risiko Ekonomi Global dan Nuklir
Dampak perang India-Pakistan: pasar saham terguncang, risiko ekonomi global meningkat, dan ancaman nuklir mengintai dunia. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM - Konflik India-Pakistan lagi-lagi bikin geger. Dunia yang baru saja mulai mengatur napas setelah dihantam perang dagang dan ketidakpastian geopolitik, kini harus berhadapan dengan drama lama yang memanas lagi. Wajar saja kalau banyak yang bertanya-tanya apakah ributnya India-Pakistan bakal mengacak-ngacak ekonomi global?

Pertanyaan ini tak berlebihan, apalagi India bukan negara kecil—dia raksasa ekonomi Asia, anggota BRICS pula, yang Indonesia juga baru bergabung di dalamnya. Sejarah sudah memberikan bukti, setiap kali dua negara bersenjata nuklir ini adu urat, pasar keuangan biasanya kena getahnya. Tapi seberapa parah efeknya? KabarBursa akan kupas kilas balik pasarnya, risiko jangka panjang yang mengintip di balik layar, sampai potensi imbasnya buat Indonesia sendiri.

Kilas Balik: Pasar Saham India yang Kebal Krisis?


Dampak konflik India-Pakistan terhadap ekonomi global selalu menjadi perhatian setiap kali ketegangan antara dua negara bertetangga ini memuncak. Banyak yang mengira bahwa setiap kali konflik terjadi, pasar keuangan akan langsung terjun bebas. Namun, sejarah memperlihatkan cerita yang sedikit berbeda.

India dan Pakistan memiliki catatan panjang konflik sejak 1947. Setiap beberapa dekade, ketegangan militer meningkat, dari perang terbuka hingga serangan teroris yang memicu respons militer. Namun yang menarik, pasar saham India justru menunjukkan ketahanan yang berulang kali membuat analis global tercengang.

Ambil contoh konflik Kargil pada 1999. Saat itu, India dan Pakistan terlibat perang terbuka di wilayah Kashmir, sebuah konflik yang sempat membuat kawasan Asia Selatan memanas. Indeks saham India, Sensex, memang terkoreksi sekitar 0,8 persen sepanjang periode Mei hingga Juli 1999. Meski sempat tertekan, pasar pulih dalam waktu relatif singkat. Seolah-olah badai telah berlalu tanpa meninggalkan kerusakan berarti.

Cerita serupa terjadi pada insiden serangan ke gedung parlemen India pada 2001. Sensex dan Nifty sempat mencatatkan penurunan tipis—sekitar 0,7 persen dan 0,8 persen—namun segera pulih setelah situasi dinyatakan terkendali. Investor domestik dan asing tampaknya sudah paham bahwa ketegangan geopolitik di kawasan tersebut cenderung bersifat sementara.

Yang lebih unik terjadi pada tragedi Mumbai 26/11 di tahun 2008. Serangan teror yang berlangsung selama dua hari itu mengguncang kota terbesar di India dan memicu kepanikan publik. Namun di pasar modal, reaksi yang muncul justru berkebalikan. Dalam dua hari tersebut, Sensex naik sekitar 400 poin, sementara Nifty menguat 100 poin. Fenomena ini memperlihatkan bahwa pasar finansial India tidak selalu bergerak searah dengan eskalasi konflik.

Pulwama Attack pada 2019 juga memberikan pelajaran menarik. Saat itu, pasar sempat tertekan dan mengalami koreksi sekitar 1,8 persen dalam kurun waktu dua minggu setelah serangan. Namun, tekanan tersebut tidak bertahan lama. Begitu juga pada 2016, ketika terjadi serangan di Uri dan India membalas dengan aksi militer terbatas. Pasar sempat terkoreksi sekitar 2 persen, namun akhirnya kembali stabil.

Menurut laporan Livemint, pasar saham India dikenal memiliki daya tahan yang kuat terhadap guncangan geopolitik. Vinod Nair dari Geojit Investments menilai bahwa kekuatan ekonomi domestik India menjadi bantalan utama yang menjaga stabilitas pasar setiap kali konflik terjadi. “Selama fundamental ekonomi tetap solid, ketegangan geopolitik hanya menciptakan peluang koreksi sesaat,” kata Nair.

VK Vijayakumar dari Geojit Investments menambahkan bahwa meskipun ketegangan seperti konflik India-Pakistan dapat membebani pasar secara psikologis, skenario terburuk seperti perang besar biasanya tidak direspons secara berlebihan oleh pelaku pasar. “Pasar punya logika tersendiri. Selama tidak ada eskalasi yang meluas, pasar akan tetap rasional dan cenderung memulihkan diri,” ujarnya.

Menariknya, perkembangan terbaru memperkuat pola sejarah yang sudah dibahas sebelumnya. India baru saja meluncurkan Operation Sindoor, sebuah serangan militer yang menargetkan infrastruktur teroris di wilayah Pakistan dan Pakistan-occupied Jammu & Kashmir. Aksi ini dilakukan sebagai balasan atas serangkaian serangan teroris yang diarahkan ke India dalam beberapa waktu terakhir.

Meski tensi geopolitik meningkat, pasar saham India kembali menunjukkan ketahanan khasnya. Pada Selasa, 6 Mei 2025, indeks BSE Sensex hanya terkoreksi 0,2 persen (155,7 poin) menjadi 80.641, sementara Nifty 50 melemah tipis 0,3 persen (81,5 poin) ke level 24.379. Meskipun koreksi ini memutus tren penguatan pasar selama lebih dari dua pekan, analis pasar menilai penurunan yang terjadi masih dalam batas wajar. Shrikant Chouhan dari Kotak Securities menyebut bahwa ketidakpastian geopolitik memang menahan reli, namun koreksi lebih tajam dinilai kecil kemungkinannya kecuali terjadi eskalasi besar seperti perang terbuka.

Sementara itu, pasar saham Pakistan mengalami tekanan yang jauh lebih dalam. Sejak serangan teroris pada 22 April lalu, indeks KSE-100 telah melemah sekitar 4 persen, dengan penurunan tajam mencapai 3,09 persen hanya dalam satu hari pada 30 April. Meski sempat bangkit 2,5 persen pada 2 Mei, analis memperingatkan bahwa pemulihan ini bersifat sementara jika tensi kawasan tidak segera reda.

Dampak Global Perang Pakistan-India


Jika eskalasi konflik India-Pakistan masih terlihat “terkendali” di pasar keuangan, ancaman yang lebih gelap justru muncul dari skenario yang pernah diramalkan para ilmuwan. Dilansir dari Economic Times, Pada 2019, sekelompok ilmuwan dari University of Colorado dan Rutgers University menerbitkan studi di jurnal Science Advances yang memperingatkan kemungkinan pecahnya perang nuklir antara India dan Pakistan pada 2025. Prediksi ini disusun dengan dukungan data dari lembaga terkemuka seperti US National Center for Atmospheric Research dan Federation of American Scientists.

Benar saja, pada April 2025, skenario itu mulai terasa nyata. Serangan teror di Pahalgam, Jammu & Kashmir, yang menewaskan 26 orang, memicu kemarahan India. Kemarin, India pun resmi meluncurkan roket ke sejumlah titik di kawasan Pakistan.

Studi tahun 2019 itu tidak bermaksud menebar ketakutan semata. Para penulisnya menyusun model berdasarkan data nyata—persenjataan nuklir yang sudah ada dan postur militer yang diketahui publik. Jika perang nuklir pecah, simulasi memprediksi India akan meluncurkan 100 hulu ledak, sementara Pakistan 150 hulu ledak. Gelombang pertama saja diperkirakan bisa menewaskan hingga 100 juta orang, sementara korban akibat radiasi, kelaparan, dan runtuhnya sistem sosial dapat menambah 50 hingga 125 juta korban jiwa berikutnya.

Profesor Alan Robock dari Rutgers University, salah satu penulis studi itu, memperingatkan, “Perang seperti itu tidak hanya menghancurkan wilayah yang diserang, tetapi juga mengancam seluruh dunia.”

Dampaknya tidak hanya pada manusia. Ledakan nuklir yang membakar kota-kota besar diperkirakan melepaskan 16 hingga 36 juta ton karbon hitam ke atmosfer. Serangan ini akan memblokir sinar matahari hingga 35 persen dan memangkas suhu global sampai 5°C. Curah hujan berpotensi turun 30 persen, memicu kelaparan global. Tanaman mati, laut mendingin, dan sistem pangan internasional kolaps. Lebih dari 2 miliar orang di seluruh dunia diperkirakan menghadapi ancaman kelaparan massal. Skenario ini oleh para ilmuwan disebut sebagai “musim dingin nuklir” yang bisa berlangsung selama bertahun-tahun.

Kedua negara, menurut studi tersebut, diperkirakan telah memperbesar arsenal nuklir mereka pada 2025. India diprediksi memiliki sekitar 400 hingga 500 hulu ledak nuklir, masing-masing sekuat bom Hiroshima. Pakistan juga memperluas persenjataannya yang menjadikan Asia Selatan tetap sebagai salah satu titik api nuklir paling berbahaya di dunia.

Robock menegaskan bahwa efek dari perang nuklir di Asia Selatan tidak akan berhenti di kawasan tersebut. Dampaknya akan menjalar ke seluruh dunia, antara lain perdagangan macet, rantai pasok pangan terhenti, dan resesi global menjadi tak terhindarkan. “Dampaknya akan bergema ke setiap benua,” ujarnya.

Para ilmuwan yang terlibat dalam studi itu menekankan, meskipun simulasi mereka kelam, pesan utamanya adalah pencegahan. Mereka mendorong agar India dan Pakistan kembali melihat Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir PBB 2017 sebagai jalan menuju de-eskalasi, meski hingga kini kedua negara belum menjadi penandatangan. Di tengah ketegangan yang terus membara, seruan untuk diplomasi dan penahanan diri kembali menggema agar dunia tak meluncur menuju bencana yang tak terbayangkan.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).