KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) akan meluncurkan lembaga baru bernama Central Counterparty (CCP) pada 30 September 2024.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan CCP diharapkan akan mampu mendorong pengembangan pasar uang.
Dia menjelaskan, CCP bakal digunakan untuk mengembangkan transaksi domestic non deliverable forward (DNDF) dan repurchase agreement (repo). Menurut Perry hal tersebut dapat membantu menstabilkan nilai tukar rupiah.
“Sekarang ini kami kembangkan repo sama DNDF untuk membantu menstabilkan nilai tukar rupiah,” katanya Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 12 September 2024.
Perry mengungkapkan, selama ini transaksi repo dan DNDF dijalankan masing-masing bank secara bilateral, dengan infrastrukturover the counter (OTP). Hal tersebut menimbulkan beberapa risiko dan sulit dikembangkan.
“Selama ini kalau terjadi repo tentu saja antara masing-masing bank secara bilateral dan infrastruktur secara over the counter. Jadi masing-masing transaksi bilateral dengan infrastruktur masing-masing. Nah ini menimbulkan risiko, satu karena bilateral ada risiko counterparty," terangnya.
Untuk diketahui, CCP melakukan kliring dan penyelesaian transaksi dengan perhitungan bersih untuk seluruh pelaku pasar anggota CCP (multilateralnetting). Hal ini akan meningkatkan efisiensi dengan menurunkan kebutuhan likuiditas anggotanya sehingga mendorong peningkatan transaksi di pasar.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) bersama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) serta delapan bank yaitu Mandiri, BRI, BNI, BCA, CIMB Niaga, Danamon, Maybank, dan Permata menyepakati pengembangan Central Counterparty (CCP) di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing (PUVA) pada Senin, 12 Agustus lalu.
Momentum ini ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Antar Pemegang Saham (PAPS) tentang ‘Kerja Sama Pembentukan dan Pengembangan CCP’ pada KPEI, yang merupakan penyelenggara CCP PUVA berizin dari Bank Indonesia.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyatakan bahwa pembentukan CCP ini merupakan bentuk konkret antara BI, OJK, Self Regulatory Organization (SRO), dan industri dalam upaya pengembangan pasar uang yang modern dan maju.
Rupiah Menguat, Rp15.400 per Dolar AS
Sementara itu, nilai tukar rupiah pada hari ini, Jumat, 13 September 2024 pagi di level Rp15.400 per dolar Amerika Serikat (AS), menguat 39 poin atau 0,25 persen dari perdagangan sebelumnya.
Begitu juga dengan mata uang sejumlah negara di kawasan Asia menguat. Yen Jepang menguat 0,42 persen, bath Thailand menguat 0,16 persen, yuan China menguat 0,11 persen, peso Filipina menguat 0,19 persen, dan won Korea Selatan (Korsel) menguat 0,62 persen.
Sementara, dolar Singapura dan dolar Hongkong masing-masing menguat 0,09 persen dan 0,03 persen pada pembukaan perdagangan pagi ini.
Hal yang serupa juga mata uang negara-negara di Eropa. Euro Eropa menguat 0,07 persen, poundsterling Inggris menguat 0,13 persen, dan franc Swiss menguat 0,19 persen.
Sedangkan dolar Australia menguat 0,03 persen, dan dolar Kanada menguat 0,05 persen.
Analisis pasar, Lukman Leong memperkirakan rupiah akan terus menguat hari ini karena keunggulan Kamala Harris di debat Pilpres AS. Sebab, apabila Kamala menang, pasar memperkirakan kebijakannya akan lebih inklusif, sehingga mendorong pelemahan dolar AS.
“Rupiah diperkirakan akan menguat terhadap dolar AS yang masih tertekan oleh harapan jangka panjang. Dolar AS akan lebih lemah apabila Kamala Harris akan memenangkan Pilpres AS,” ujar Lukman.
Namun, penguatan akan terbatas karena investor masih menunggu keputusa The Fed dari hasil FOMC meeting yang akan diumumkan pekan depan.
“The Fed yang diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 bps, walau peluang 50 bps naik cukup besar dalam beberapa sesi terakhir,” kata Lukman.
Hari ini, dia memperkirakan rupiah bergerak di rentang Rp15.350 hingga Rp15.450 per dolar AS.
BI Disarankan Segera Turunkan Suku Bunga
Bank Indonesia (BI) disarankan untuk segera merelaksasi kebijakan suku bunga acuan (BI Rate). Alasannya, berbagai indikator serta perkembangan ekonomi domestik maupun global telah membuka ruang bank sentra; untuk melakukan pemangkasan.
“Indef menyarankan BI segera menurunkan BI Rate, karena suku bunga tinggi dan ada kebutuhan menurunkan suku bunga, karena tanda-tanda global yang dikhawatirkan mulai mereda. Bahasa sederhananya, kita butuh penurunan suku bunga ini,” kata ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan,
Berbagai faktor yang dinilai membuka ruang BI untuk memangkas BI Rate yaitu sinyal bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) menurunkan Fed Fund Rate (FFR) semakin menguat pada bulan ini. Hal itu dilandasi pada data ekonomi AS yang cukup positif, hingga tingkat inflasi yang mengarah pada sasaran.
Kecenderungan penurunan FFR di bulan ini mestinya dipertimbangkan dengan baik oleh BI dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan depan. Pasalnya selama ini Gubernur dan Deputi Gubernur BI menjadikan perkembangan AS sebagai alasan untuk menahan BI Rate di angka 6,25 persen.
“Kita butuh sekali untuk segera menurunkan suku bunga, karena AS kasih sinyal kuat penurunan FFR, inflasi (AS) cenderung turun, dan ini bagus untuk kita. Penurunan pertama itu penting, kalau selanjutnya, market itu sudah bisa price in, yang pertama ini harus bisa dipastikan, untuk bisa menunjukkan independensi kalau kita tidak harus mengekor kebijakan global,” jelas Eko.
Faktor kedua yang dapat dijadikan pertimbangan bagi BI untuk menurunkan BI rate adalah tensi geopolitik global mulai melandai. Kendati ketengangan geopolitik belum stabil, namun tensi yang cenderung melandai merupakan momentum bagi bank sentral mengambil kebijakan suku bunga yang ekspansif.
Faktor ketiga yaitu pergerakan nilai tukar dolar AS yang tak lagi tinggi. Itu dapat dilihat dari indeks dolar AS (DXY) yang saat ini cenderung stabil melambat di kisaran 100. Hal itu turut membuat nilai tukar rupiah bergerak menguat dalam beberapa waktu terakhir.
“Sekarang rupiah kita juga sudah mulai melandai di angka Rp15.400 (per dolar AS). Jadi semakin terlihat bahwa untuk merespons cepat memanfaatkan momentum ini menggerakkann perekonomian,” tutur Eko.
Faktor keempat yaitu posisi cadangan devisa Indonesia yang cukup tinggi, di kisaran USD50 miliar. Posisi itu, menurut Eko, sekaligus menjadi yang terbesar sepanjang sejarah. Hal tersebut juga memperkuat dorongan bagi BI untuk segera menurunkan BI Rate.
Ia menilai, relaksasi kebijakan moneter amat urgen. Itu karena keputusan BI pada BI Rate memengaruhi gairah sektor riil di Tanah Air. Biaya mahal di sektor riil tak luput dari kebijakan bunga acuan bank sentral yang cukup ketat, alias tinggi.
Pemangkasan BI Rate, kata Eko, dapat menjadi angin segar dan mendongkrak optimisme pelaku pasar maupun di sektor riil terhadap perekonomian ke depan. "Ini harus segera, kalau menunggu terus ini akan menghilangkan momentun. Kalau ada penurunan subung, tentu ada analisis internal BI, tapi kami mendorong karena secara umum ini bisa BI Rate turun," jelasnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.