KABARBURSA.COM - Penyataan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih di bawah 100 persen, dikritisi oleh Ekonom senior INDEF Didik J Rachbini.
Kata Didik, secara hitungan matematis, rasio utang Indonesia memang belum mencapai angka kritis. Tapi, tidak bisa kondisi utang sebuah negara dilihat dari angka rasio saja.
Dia menyontohkan Jepang yang memiliki rasio utang yang lebih besar dari PDB-nya, tetapi dengan bunga rendah di kisaran 0,7-0,9 persen, beban pembayaran utangnya tetap terkendali.
“Jika Luhut dan lain-lainnya menyebut rasio utang kita terhadap PDB belum 100 persen, maka kalau dibandingkan dengan Jepang, meski utang Jepang 100 persen, tapi dengan bunga 0,7 hingga 0,9 persen, pembayaran bunganya akan kecil,” kata Didik dalam diskusi virtual bertajuk ‘Warisan Hutang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo’.
Dia merinci, dengan utang yang sebesar Rp500 triliun, Jepang hanya membayar sekitar Rp30 triliun per tahunya. “Maka pembayaran bunganya kecil,” tuturnya.
Tapi, tidak dengan Indonesia. Dengan utang yang mencapai lebih dari Rp8.500 triliun sekarang harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hanya untuk membayar bunganya saja, pemerintah harus mengeluarkan biaya yang mencengangkan, hingga Rp500 triliun per tahun.
“Indonesia, dengan utang sekarang sebesar Rp8.500 triliun harus bayar Rp500 triliun per tahun bunganya saja,” terang Didik.
Untuk diketahui, posisi utang pemerintah RI mengalami peningkatan pada akhir Juli 2024, mencapai angka Rp8.502,69 triliun.
Berdasarkan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), secara nominal utang pemerintah bertambah sebesar Rp57,82 triliun atau naik sekitar 0,68 persen dibandingkan dengan akhir Juni 2024, yang saat itu mencapai Rp8.444,87 triliun.
Di sisi lain, rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat sebesar 38,68 persen. Angka ini sebenarnya menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, di mana rasio utang terhadap PDB mencapai 39,13 persen.
Melihat suku bunga yang tinggi, Didik mengatakan hal itu telah mendorong Bank Indonesia (BI) untuk menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN), namun langkah tersebut dinilai membuat BI tampak tidak terlalu terpengaruh, sementara sektor-sektor riil justru menjadi korban.
“Sekarang suku bunga yang tinggi BI sudah mengeluarkan SBN. Itu menyebabkan BI lenggang kangkung saja atas korban dari sektor sektor riil,” pungkas Didik.
Bank Indonesia dijadwalkan akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 17-18 September 2024, sesuai kalender resmi BI.
Dalam rapat ini, BI akan menentukan apakah suku bunga acuan, yang saat ini berada di level 6,25 persen, akan dinaikkan, diturunkan, atau tetap dipertahankan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menyarankan agar BI segera memangkas suku bunga acuan atau BI Rate. Menurut dia, sebagai otoritas yang memegang kendali atas kebijakan moneter, BI perlu menurunkan suku bunga, menggunakan instrumen moneter lainnya seperti giro wajib minimum, dan mendorong peningkatan kredit.
Esther menjelaskan bahwa langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari kebijakan easy money policy atau kebijakan uang mudah, yang menurutnya harus segera diterapkan mengingat Indonesia tengah menghadapi ancaman krisis ekonomi.
Dia menilai bahwa melemahnya daya beli serta terjadinya deflasi berturut-turut adalah tanda-tanda krisis ekonomi yang akan datang.
“Bank sentral, sebagai pemegang otoritas kebijakan moneter, seharusnya dapat melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas harga, sehingga deflasi yang terus terjadi di Indonesia dapat dicegah dan krisis ekonomi dapat dihindari,” ujar Esther dalam diskusi daring bertajuk ‘Melanjutkan Kritisisme Faisal Basri: Memperkuat Masyarakat Sipil, Mengawasi Kekuasaan’, Minggu, 15 September 2024.
Tertinggi Kedua di Benua Asia
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF Riza Annisa Pujarama mengatakan perkembangan utang Indonesia semakin mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Kementerina Keuangan (Kemenkeu), per Juli 2024 utang Indonesia mencapai Rp8,502 triliun.
Sementara bunga utang, tutur Riza, kebutuhan pembiayaan utang Indonesia sebesar Rp775,9 triliun yang jatuh tempo ditambah bunga utang sebesar Rp552,85 triliun yang harus dibayarkan di tahun 2025.
“Yang menjadi permasalahan dari pembiayaan adalah, semakin tingginya pembiayaan utang risikonya adalah bunga utang semakin tinggi. Kenapa kita harus perhatikan? Yield-nya, imbal hasil dari penarikan utang kita itu sangat tinggi,” kata Riza dalam acara diskusi publik bertajuk ‘RAPBN di Masa Transisi: Apa Saja yang Harus Diantisipasi?’ yang diikusi secara daring, Minggu, 18 Agustus 2024.
Dibandingkan negera-negara di Asia, kata Riza, yield 10 tahun Indonesia berada di level 6,705. Adapun angka itu menempati posisi tertinggi kedua setelah India sebesar 6,871.
“Dibandingkan dengan South East Asean, kita itu paling tinggi biaya utangnya,” jelasnya.
Sementara utang jatuh tempo Indonesia di pasar Surat Berharga Negara (SBN) pada tahun 2025 sebesar Rp705,5 triliun. Sedangkan untuk utang pinjaman internasional sebesar Rp94,83 triliun di tahun 2025. (*)