KABARBURSA.COM – Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Muliadi Widjaja mengatakan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Penurunan tingkat pertumbuhan penduduk beberapa tahun terakhir, kata dia, perlu diperhatikan serius jika ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
“Angka pertumbuhan penduduk kita makin turun, tapi ini belum cukup. Kalau kita ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, angka pertumbuhan penduduk harus semakin turun,” ungkap Muliadi dalam diskusi publik yang diselenggarakan IKAL Strategic Centre (ISC) secara hybrid, Selasa, 14 Januari 2025.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan penduduk Indonesia tercatat turun dari 1,22 persen pada 2021 menjadi 1,11 persen pada 2024. Muliadi mengingatkan bahwa meskipun angkanya semakin kecil, pertumbuhan penduduk tetap membawa dampak signifikan pada perekonomian.
Menurutnya, semakin banyak penduduk miskin, maka semakin banyak yang harus diberi makan dan disekolahkan. Hal ini mengakibatkan peningkatan konsumsi dan mempengaruhi tingkat tabungan.
Kondisi ini menciptakan ketidakseimbangan dalam ekonomi, dengan konsumsi yang mencapai Rp7.200 triliun atau 61,5 persen dari PDB, sementara tabungan domestik hanya berada di angka 36,5 persen.
Strategi Tumbuh 8 Persen
Menurutnya, agar Indonesia bisa mengejar angka pertumbuhan 8 persen, hal pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan tingkat tabungan domestik, yang saat ini masih jauh dari ideal.
“Tingkat savings itu akan bisa dorong pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB),” ujarnya.
“Kalau tabungannya sekitar 30 persen, maka PMTDB juga akan berkisar di angka yang sama,” lanjutnya.
Alternatif lain yang disebutkan Muliadi adalah mengandalkan investor asing, seperti Elon Musk atau perusahaan besar lainnya, untuk menanamkan modal di Indonesia. Namun, ia menegaskan bahwa pendekatan ini belum terbukti efektif.
“Kita bisa ngemis-ngemis pada Elon Musk atau berharap pada iPhone untuk datang dan berinvestasi, tapi kenyataannya mereka belum juga datang,” ujarnya.
ICOR Masih Tinggi
Indonesia juga menghadapi tantangan dalam hal efisiensi investasi. Hal ini diukur dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Dengan ICOR di angka 6,3 pada 2023, Indonesia termasuk tidak efisien dalam memanfaatkan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Makin tinggi ICOR, makin tidak efisien perekonomian kita. Turunnya ICOR ke angka 4, seperti yang ditargetkan pemerintah, masih menjadi tanda tanya besar,” tambah Muliadi.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen, pemerintah harus meningkatkan investasi dalam R&D, mendorong efisiensi investasi, dan mempercepat pembangunan sektor manufaktur.
“Kita harus memperbaiki semua roda perekonomian, dari mesin, bodi, hingga kecepatannya. Kalau tidak, target ini hanya akan menjadi wacana,” tutupnya.
Hanya Andalkan SDA
Muliadi menilai Indonesia masih jauh dari kesiapan untuk melompat dari pertumbuhan ekonomi 5 persen ke angka yang lebih tinggi.
“Kesannya dari 5 persen ke 8 persen itu hanya 3 persen, tapi pada praktiknya ini bukan hal mudah,” ujar Muliadi dalam diskusi publik yang diselenggarakan IKAL Strategic Centre (ISC) secara hybrid, Selasa, 14 Januari 2025.
Muliadi menyoroti terkait perekonomian Indonesia masih terjebak pada tahap pertama pembangunan, yakni mengandalkan sumber daya alam seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Menurutnya, menjadi hambatan utama untuk beranjak ke tahap berikutnya yang lebih berbasis teknologi dan inovasi.
Ia mencontohkan, negara-negara seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, atau Israel tidak hanya bergantung pada sumber daya alam. Negara-negara tersebut, kata dia, menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, seperti komputer atau smartphone.
“Di Indonesia, kita belum sampai pada tahap itu,” tegasnya.
Salah satu persoalan mendasar yang menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi 8 persen adalah stagnasi di sektor manufaktur. Banyaknya pabrik yang tutup, kata dia, membuat Indonesia gagal naik ke tahap ketiga, yaitu pengembangan industri manufaktur dan teknologi tinggi.
“Kita belum mampu membangun industri manufaktur yang benar-benar kompetitif. Apalagi jika bicara tahap ke empat, yaitu inovasi berbasis riset dan pengembangan, kita masih jauh,” ungkapnya.
Dalam hal investasi penelitian dan pengembangan (R&D), Indonesia berada di posisi yang sangat rendah, hanya 0,28 persen dari PDB. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju seperti Israel (5,56 persen) atau Korea Selatan (4,93 persen).
“Empat pilar pertumbuhan ekonomi itu adalah sumber daya alam, tenaga kerja, teknologi, dan inovasi. Kita baru bergantung pada pilar pertama dan kedua, sedangkan pilar ketiga dan keempat masih jauh dari harapan,” paparnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.