KABARBURSA.COM - Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah, mengungkapkan adanya perubahan signifikan dalam pola konsumsi kelas menengah di Indonesia.
Menurut Budihardjo, perubahan ini dipengaruhi oleh gaya hidup yang semakin sibuk dan kurangnya waktu luang.
Budihardjo mengungkapkan bahwa kelas menengah saat ini lebih memilih gaya konsumsi yang cepat dan efisien, yang ia sebut sebagai pola fast and grab. Hal ini terkait dengan tidak banyaknya para kelas menengah memiliki banyak waktu yang disebabkan karena pekerjaan.
“Kelas menengah itu waktunya tidak banyak, jadi sekarang mereka lebih memilih fast and grab, kalo beli barang enggak ada waktu untuk mutar-mutar karena mereka sibuk kerja,” kata Budihardjo di acara ‘Indonesia Ritel Summit 2024’ di Jakarta , Kamis, 29 Agustus 2024.
Sebagai informasi, metode fast and grab yang dimaksud merujuk pada pola konsumsi kelas menengah yang lebih cepat dan efisien.
Kelas menengah, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan, tidak memiliki banyak waktu untuk berbelanja secara tradisional dengan berkeliling toko dalam waktu yang lama.
Sebaliknya, mereka cenderung melakukan pembelian secara cepat dan langsung untuk memenuhi kebutuhan mereka, bahkan sering kali sambil menjalankan aktivitas lainnya.
Ia menggambarkan pola belanja fast and grab bagi kelas menengah yang kini cenderung menghabiskan waktu di mal untuk nongkrong dan menikmati kopi sambil berbelanja dengan cepat, kemudian melanjutkan aktivitas nongkrongnya, atau hanya sekedar singgah ke mal bersama istri untuk membeli keperluan, lalu segera pulang setelah selesai.
“Jadi nongkrong di mal sambil minum kopi dan belanja, lanjut nongkrong lagi, atau bawa istrinya ambil cepat cepat pulang. Kelas menengah harus fast and grab,” tuturnya.
Perubahan ini juga terlihat dari cara mereka berbelanja. Jika dulu kelas menengah cenderung melakukan belanja bulanan dalam jumlah besar, kini pola belanja mereka lebih sering dan dalam jumlah yang lebih kecil.
“Kalau dulu belanja bulanan, tapi sekarang belanjanya harian atau dua hari sekali. Kalau barang habis, mereka beli lagi, karena minimarket sudah ada di mana-mana,” jelas Budihardjo.
Kata Budihardjo, perubahan ini memberikan dampak pada cara ritel mengelola stok barang. Jika sebelumnya peritel menyimpan stok dalam jumlah besar, sekarang cenderung mengurangi stok di gudang dan lebih sering memasok barang dalam jumlah sedikit.
“Dulu kita kalau nyetok barang dalam jumlah banyak, sekarang gudangnya kita perkecil dan stoknya mengikuti permintaan. Pembelian per transaksi lebih sedikit, tapi akumulasinya dalam sebulan tetap sama,” imbuhnya.
Perubahan pola konsumsi ini menunjukkan adaptasi kelas menengah terhadap kehidupan yang lebih dinamis, serta bagaimana sektor ritel harus terus berinovasi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang semakin cepat dan praktis.
Kelas Menengah Mampu Dorong Pertumbuhan Bisnis Ritel
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengamati perkembangan positif dalam sektor ritel di Indonesia yang menurutnya didorong oleh besarnya kelas menengah di negara ini.
Kata Airlangga, jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 164 juta orang, termasuk mereka yang masuk kategori aspiring middle class.
“Kelas menengah kita ini jumlahnya cukup besar, di mana kita punya kelas menengah yang jumlahnya 164 juta orang, termasuk juga aspiring middle class,” kata Airlangga pada acara ‘Indonesia Retail Summit 2024’ di Swissotel Jakarta PIK Avenue, Rabu, 28 Agustus 2024.
Karena itu, ia menambahkan, bahwa pemerintah ingin mendorong seluruh wilayah di Indonesia, seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, yang pendapatan per kapitanya sekitar USD17.000, serta beberapa wilayah di Sumatera Selatan (Sumsel) yang juga memiliki pendapatan per kapita menengah ke atas.
“Kita ingin seluruh Indonesia, misalnya Kalimantan Timur, Kalimantan Utara mereka juga pendapatan per kapitanya sekitar USD17.000. Kita juga lihat beberapa wilayah di Sumatera Selatan ada yang income perkapitanya menengah ke atas. Kita ingin ini seluruh Indonesia,” ujarnya.
Airlangga menginginkan wilayah-wilayah yang dia sebutkan tadi mengikuti Jakarta, yang mana pertumbuhan sektor ritel mencerminkan level pendapatan per kapita di sebuah kota.
Disebutkannya, Jakarta yang rata-rata pendapatan per kapita mencapai USD20.000 per tahun. Hal inilah yang mendorong jumlah mal di Jakarta semakin banyak.
Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah mal dan gerai-gerai seperti Alfamart, Indomaret, Ace Hardware, serta outlet iBox, yang semuanya menjadi indikator ekonomi nasional dan daya beli ritel di Jakarta.
“Kenapa di Jakarta kuat? Karena income per kapita di Jakarta sudah lewat dari middle income trap, rata-rata pendapatan di Jakarta itu USD20.000 per tahun. Tentu ini mendorong jumlah mal, berapa jumlah Alfamart, Indomaret, Ace Hardware, itu menjadi indikator ekonomi nasional. Berapa outlet dari iBox itu juga jadi indikator daya beli ritel kita,” jelasnya.
Sebelumnya, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan bahwa saat ini sekitar 17 persen dari total penduduk Indonesia tergolong kelas menengah. Dalam lima tahun ke depan, persentase ini diproyeksikan akan meningkat secara bertahap hingga melampaui 20 persen, dengan harapan mencapai 80 persen pada tahun 2045.
“Jadi proporsi kelas menengah tahun 2045 juga diharapkan mencapai 80 persen. Karena kelas menengah ini menjadi bantalan dari perekonomian. Kalau ingin kokoh perekonomiannya maka kelas menengahnya harus tebal,” kata Amalia di Gedung Kemenko Perekonomian, Selasa, 27 Agustus 2024.
Amalia menjelaskan bahwa penguatan kelas menengah dilakukan sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai tujuh persen, sebagaimana juga tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
“Supaya bisa mencapai enam sampai tujuh persen, salah satu syaratnya adalah kita harus mempertebal kelas menengah, maksudnya middle class ini,” terang Amalia.
Lebih lanjut, Amalia menjelaskan, jika menyesuaikan apa yang tercantum dalam target RPJPN, kebijakan untuk memperkuat kelas menengah akan berlangsung dalam jangka menengah dan panjang. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting dalam mendukung kebijakan tersebut, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong kewirausahaan.
“Ya tentunya industrialisasi menjadi penting, kita harus menciptakan middle class jobs atau lapangan pekerjaan untuk yang berkelas menengah, jadi itu disebut middle class jobs,” imbuhnya.
Menurut Amalia, hal itu penting dilakukan agar pekerja informal dapat beralih menjadi pekerja formal, sehingga pendapatan mereka dapat meningkat dan masuk ke kategori kelas menengah.
“Itu menjadi penting supaya nanti yang tadinya informal bisa graduate menjadi formal, kemudian pendapatan juga bisa naik kelas menjadi kelas menengah,” terang dia.
Amalia juga menyebutkan bahwa saat ini sekitar 50 persen dari penduduk Indonesia tergolong dalam kategori aspiring middle class, yaitu kelompok yang hampir masuk ke golongan kelas menengah.
Karena itu menurutnya, salah satu tugas utama dalam RPJPN adalah bagaimana mengangkat kelompok ini agar benar-benar menjadi bagian dari kelas menengah.
“Sebenarnya kita punya aspiring middle class yang sekitar 50 persen, ini tugas kita dalam RPJPN adalah bagaimana menaikkan aspiring middle class menjadi middle class,” tuturnya.
“Aspiring itu kan hampir mau dia menjadi middle class. Nah ini ada 50 persen yang punya potensi yang kita naikkan menjadi middle class,” pungkas Airlangga Hartarto. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.