Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan) menjadi momok pelaku industri. Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika.
"Kalau mengeluhkan sih tidak, tapi ada kekhawatiran. Biasalah itu kalau ada perubahan-perubahan pasti ada kekhawatiran," kata Putu Juli di Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024.
Kekhawatiran yang dimaksud, ungkap Putu, karena dalam PP Kesehatan tersebut ada beberapa poin yang paling disorot oleh pelaku usaha di antaranya terkait larangan penjualan rokok secara eceren, promosi susu formula, hingga penerapan batas konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL).
Menjawab kekhawatiran tersebut, Putu Juli menegaskan bahwa pihaknya akan terus mendampingi pelaku usaha industri untuk bisa menyesuaikan kandungan dalam bahan makanan, susunan produk hingga komposisi produk.
"Saat diberlakukan, pasti perlu penyesuaian atau adaptasi, karena itu terkait dengan ingredients. Bagaimana susunan produknya, komposisi produknya, karena perubahan-perubahan ini perlu penyesuaian untuk selera," jelasnya.
Lanjut Putu, dalam implementasi pengaturan batasan kandungan GGL pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
"Di PP-nya menyampaikan bahwa itu nanti dikoordinasikan oleh Kemenko PMK untuk menentukan batas-batas yang digunakan untuk berpemanis, garam, gula, dan lain-lain. Setelah ditentukan nanti baru secara bersama-sama dikoordinasikan dan ditentukan, disepakati, setelah itu baru dijabarkan,” terang Putu.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPPMI) Adhi S Lukman buka suara soal kebijakan pemerintah yang mengenakan cukai makanan siap saji.
Cukai itu sebagai salah upaya pemerintah dalam rangka mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) untuk menurunkan angka penyakit tidak menular (PTM).
Meskipun pihaknya mendukung tujuan pemerintah dalam mengendalikan konsumsi GGL, Adhi khawatir pengenaan cukai ini akan berimbas pada penurunan daya beli masyarakat.
"Kita mendukung program pemerintah untuk penanganan PTM, sangat kita dukung tapi caranya yang harus kita bicarakan bersama. Karena apapun kalau dikenakan cukai, tapi konsumennya tidak bisa mengendalikan dietnya sendiri yah percuma. Ujung-ujungnya akan menaikan harga produk dan akan menurunkan daya beli masyarakat kita,” kata Adhi di kawasan Bogor, Jawa Barat, Kamis, 8 Agustus 2024.
PP Kesehatan tak Ramah Terhadap UMKM
Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (Keris), Ali Mahsun Atmo, mengungkapkan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang baru disahkan oleh Presiden Joko Widodo berpotensi merugikan sektor UMKM di Indonesia. PP Kesehatan ini dianggap bisa mematikan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk pedagang asongan, pedagang kaki lima, dan warung kelontong, yang merupakan tulang punggung ekonomi dan penyerap tenaga kerja yang signifikan.
Ali Mahsun menyoroti bahwa regulasi ini bertentangan dengan tujuan mencetak 100 juta UMKM andal dan unggul, malah justru menggerus sektor tersebut.
“Kita ditunjuk untuk mencetak 100 juta UMKM andal dan unggul, tapi regulasi ini malah menggerus sektor tersebut,” kata Ali dalam keterangannya pada Rabu, 7 Agustus 2024.
Ali memperingatkan bahwa jika UMKM terpuruk akibat kebijakan ini, pemerintah akan menghadapi masalah baru berupa penurunan kontribusi ekonomi dan peningkatan pengangguran serta kemiskinan, dua isu prioritas yang selalu ingin ditanggulangi oleh pemerintah.
“Kebijakan ini bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan negara melindungi dan memajukan kesejahteraan umum,” tegasnya.
Salah satu aturan yang memberatkan UMKM adalah larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Menurut Ali Mahsun Atmo, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 akan berdampak negatif pada warung kelontong dan pedagang kaki lima yang sangat bergantung pada penjualan rokok. Dia mengungkapkan bahwa kebijakan ini akan menyebabkan penurunan omzet yang signifikan, yang pada akhirnya bisa memicu lonjakan pengangguran dan penurunan pendapatan rakyat.
Ali menambahkan bahwa kebijakan ini sangat merugikan masyarakat miskin dan UMKM yang bergantung pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
"Kebijakan ini akan sangat merugikan jutaan usaha kecil yang mengandalkan penjualan rokok sebagai bagian dari pendapatan mereka," jelasnya.
Ali juga mencatat bahwa kebijakan ini datang pada saat yang sangat buruk, di tengah terbatasnya lapangan kerja dan penurunan omzet UMKM akibat penurunan daya beli masyarakat serta meningkatnya beban hidup. Ada baiknya jika kemudian pemerintah melakukan kaji ulang terhadap PP Kesehatan ini. (*)