Logo
>

PPN Naik 12 Persen, BEI: Semua Bergantung pada Kondisi Pasar

Ditulis oleh Yunila Wati
PPN Naik 12 Persen, BEI: Semua Bergantung pada Kondisi Pasar

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen, menjadi 12 persen, menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk Bursa Efek Indonesia (BEI).  Kebijakan yang disetujui oleh Presiden Prabowo Subianto, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 ini, diakui akan membawa dampak terhadap perilaku investor, terutama dalam konteks aktivitas di pasar saham.

    Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Irvan Susandy, menjelaskan bahwa setiap perubahan kebijakan yang mempengaruhi biaya transaksi, secara alami memang dapat mempengaruhi keputusan investasi. Namun, ia optimistis bahwa dampaknya hanya bersifat sementara, seiring dengan adaptasi masyarakat terhadap kebijakan baru.

    Menurut Irvan, dalam teori ekonomi, kenaikan biaya transaksi akibat peningkatan PPN memang memiliki potensi untuk menekan aktivitas perdagangan di bursa. Investor cenderung lebih berhati-hati saat menghadapi peningkatan beban biaya.

    Namun, ia menekankan bahwa faktor utama yang menentukan antusiasme investor tetap bergantung pada kondisi pasar. Jika pasar mampu memberikan imbal hasil yang menarik, kenaikan PPN tidak akan menjadi hambatan signifikan. Sebaliknya, dalam situasi pasar yang sedang lesu, dampak kenaikan PPN bisa terasa lebih nyata dan berpotensi memperlambat aktivitas perdagangan.

    Irvan juga menyoroti bahwa dinamika pasar yang sehat tetap menjadi kunci utama untuk menjaga kepercayaan investor. Jika volume transaksi berjalan dengan baik dan pasar memberikan peluang keuntungan yang kompetitif, ia yakin bahwa investor akan tetap berminat untuk berpartisipasi.

    Dengan kata lain, meskipun ada peningkatan biaya yang harus ditanggung, daya tarik pasar saham yang kuat mampu menjadi penyeimbang yang efektif.

    Kendati demikian, ia tidak menampik bahwa transisi menuju kebijakan baru membutuhkan waktu yang panjang. Adaptasi menjadi elemen penting dalam memastikan keberlanjutan aktivitas investasi. Dalam pandangannya, perubahan ini tidak harus dilihat sebagai hambatan permanen, melainkan sebagai bagian dari dinamika ekonomi yang harus dikelola dengan bijaksana.

    Pernyataan ini memberikan gambaran bahwa BEI tetap optimistis terhadap potensi pasar saham Indonesia, bahkan di tengah tantangan kenaikan PPN. Dengan memperhatikan kondisi pasar dan terus menciptakan peluang investasi yang menarik, BEI berharap dapat mempertahankan minat investor serta menjaga momentum positif dalam perdagangan saham di Indonesia.

    Hanya untuk Barang Mewah

    Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN ini hanya akan dikenakan pada barang-barang mewah dan tidak akan berlaku untuk kebutuhan dasar seperti bahan pokok, layanan pendidikan, kesehatan, serta transportasi publik.

    Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022, yang memberikan fasilitas bebas PPN bagi barang dan jasa tertentu yang dianggap esensial.

    Airlangga menjelaskan, sebagian besar kebutuhan penting masyarakat telah memperoleh fasilitas bebas PPN, sehingga kebijakan ini diharapkan tidak membebani masyarakat kelas menengah ke bawah.

    Ia memastikan bahwa pemerintah akan tetap melindungi akses terhadap kebutuhan dasar dengan tidak membebankan tambahan pajak pada sektor-sektor vital tersebut. Hal ini sekaligus menegaskan komitmen pemerintah untuk menciptakan kebijakan pajak yang adil dan tidak membebani rakyat kecil.

    Hal senada disampaikan Ketua Komisi XI DPR RI Muhammad Misbakhun. Menurut dia, pemerintah tengah mengkaji kemungkinan penerapan PPN dalam skema multi-tarif. Dengan pendekatan ini, tarif PPN tidak akan seragam, melainkan disesuaikan berdasarkan jenis barang atau jasa.

    Kajian mendalam ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa kebijakan perpajakan tetap relevan dan proporsional dengan kebutuhan ekonomi nasional. Langkah ini juga mencerminkan perhatian pemerintah terhadap keberlanjutan pertumbuhan ekonomi sekaligus perlindungan terhadap daya beli masyarakat.

    Kebijakan PPN 12 persen memang menjadi salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, namun diharapkan dapat dilaksanakan secara bijaksana agar tidak mempengaruhi kestabilan ekonomi, terutama pada kelompok masyarakat yang paling rentan.

    Dengan adanya skema bebas pajak untuk kebutuhan dasar dan kemungkinan pengaturan multi-tarif, pemerintah menunjukkan upaya untuk menyeimbangkan antara kebutuhan fiskal dan kesejahteraan rakyat. Pendekatan ini diharapkan mampu menjawab kekhawatiran publik sekaligus mendukung keberlanjutan perekonomian yang inklusif dan berkeadilan.

    Mencari Celah Perilaku Konsumen

    Menanggapi kenaikan PPN 12 persen ini, peneliti kebijakan publik IDP-LP Riko Noviantoro, memberikan komentarnya.

    Menurut dia, saat ini Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah strategis dalam kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dengan fokus memberlakukannya hanya pada barang-barang mewah. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya jalan tengah untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat luas, khususnya kalangan menengah ke bawah.

    "Di tengah kondisi keuangan negara yang masih menghadapi defisit, langkah ini memberikan ruang bagi pemerintah untuk memperkuat basis fiskal sekaligus menjaga stabilitas ekonomi domestik," kata Riko kepada Kabarbursa.com, lewat pesan singkat, Jumat, 6 Desember 2024.

    Pendekatan ini juga didasarkan pada pemahaman terhadap perilaku konsumen dalam negeri yang tetap menunjukkan minat tinggi terhadap barang-barang mewah. Di sinilah pemerintah melihat adanya potensi besar di segmen pasar ini, di mana konsumsi barang-barang premium tetap tumbuh meski di tengah ketidakpastian ekonomi.

    Dengan mengenakan tarif PPN lebih tinggi pada kategori tersebut, pemerintah berusaha mengoptimalkan peluang dari segmen yang relatif tidak terpengaruh oleh beban pajak tambahan, tanpa mengorbankan kebutuhan pokok masyarakat.

    Namun, kebijakan ini juga memerlukan perhatian serius terhadap dampak yang mungkin timbul, khususnya risiko inflasi ikutan yang kerap muncul setiap kali terjadi perubahan harga. Pemerintah perlu memastikan bahwa kenaikan tarif PPN ini tidak memicu gejolak harga yang dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama menjelang momen penting seperti bulan puasa dan perayaan Lebaran, di mana konsumsi biasanya meningkat.

    "Untuk itu, Presiden perlu menyiapkan skema pendukung yang komprehensif, mulai dari pengawasan harga di pasar hingga kebijakan stabilisasi lainnya yang dapat menjaga daya beli masyarakat," ujar dia.

    Dengan strategi yang matang, kebijakan ini tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan fiskal negara tetapi juga menjaga keseimbangan ekonomi secara keseluruhan. Jika diterapkan dengan pengawasan ketat dan didukung oleh kebijakan tambahan yang efektif, langkah ini dapat menjadi solusi yang menguntungkan bagi negara tanpa menimbulkan tekanan signifikan pada perekonomian rakyat.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79