Logo
>

PPN Naik 12 Persen, Kelompok Menengah ke Bawah Terdampak

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
PPN Naik 12 Persen, Kelompok Menengah ke Bawah Terdampak

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.

    Kata Airlangga, kenaikan PPN telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dan selama tidak ada pembatalan oleh undang-undang lain. Dengan begitu, keputusan tersebut akan tetap dilaksanakan.

    Menanggapi itu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai kebijakan tersebut merupakan upaya dari Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk memenuhi kebutuhan penerimaan negara sekaligus merealisasikan janji kampanye mereka.

    Menurut dia, kenaikan tarif PPN ini akan berdampak pada peningkatan harga, dan kelompok menengah ke bawah akan merasakan dampaknya. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengantisipasi dan mencari solusi yang tepat.

    "Pasti akan ada dampak terhadap kenaikan harga dan kelompok menengah-bawah. Pemerintah perlu mengantisipasi hal ini dan mencari solusinya," ujar Fajry kepada Kabar Bursa, Senin, 19 Agustus 2024.

    Namun, menurutnya, selama kenaikan harga akibat kenaikan tarif PPN ini tidak melebihi 1 persen, kebijakan tersebut masih dapat dijalankan dengan baik.

    Dia paparkan, berdasarkan perhitungan, kenaikan harga yang diakibatkan oleh peningkatan tarif tersebut diperkirakan akan berada di bawah 1 persen. Namun, pasokan barang harus dijaga dengan baik, dan koordinasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) serta Bank Indonesia (BI) sangat diperlukan.

    "Selama kenaikan harga tidak melebihi 1 persen akibat kenaikan tarif 1 persen, kebijakan ini masih layak untuk dijalankan," jelasnya.

    Beberapa hari lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah memastikan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen akan tetap berlaku mulai 1 Januari 2025.

    "Tetap naik 12 persen sesuai dengan HPP," kata Airlangga di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta Selatan, Jumat, 16 Agustus 2024.

    Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengaku bingung mengapa banyak pihak menyoroti rencana kenaikan tarif PPN tersebut. Menurutnya, kenaikan PPN justru akan menjaga daya beli masyarakat.

    Mantan Direktur Bank Dunia (World Bank) ini memastikan bahwa barang dan jasa kebutuhan pokok seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi tidak dikenakan PPN.

    Dia pun menunjukkan data yang menyebutkan bahwa masyarakat kelas menengah hingga kaya adalah kelompok yang paling banyak menikmati kebijakan PPN yang dibebaskan.

    "Jika kita lihat yang biru tua di atas ini (kebijakan PPN yang dibebaskan), kelompok kelas menengah hingga kaya yang paling banyak menikmati kebijakan ini," terang Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN 2025 di Kantor Pusat DJP, Jakarta Selatan, Jumat, 16 Agustus 2024.

    PPN Naik, Cari Pekerjaan Semakin Sulit

    Di kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa peningkatan tarif PPN akan menurunkan minat masyarakat untuk membeli barang-barang sekunder dan tersier. Ini sejalan dengan prediksi bahwa harga barang dan jasa akan meningkat setelah tarif PPN dinaikkan.

    Penurunan minat belanja akan membuat dampak kenaikan tarif PPN tidak hanya dirasakan oleh masyarakat, tetapi juga oleh pelaku usaha. Hal ini disebabkan oleh turunnya permintaan yang pada akhirnya akan mengurangi penjualan para pelaku usaha.

    Padahal, saat ini kinerja industri sebenarnya sudah mengalami tekanan. Hal ini terefleksikan dari Indeks manufaktur atau Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia merosot ke level 49,3 atau berada pada level kontraksi pada Juli 2024, level terendah sejak Agustus 2021.

    "Efek lanjutan ketika konsumen mengurangi belanja maka perusahaan bisa menurunkan kapasitas produksi seperti saat ini tercermin dari PMI manufaktur yang berada dibawah level 50," kata Bhima, Senin, 12 Agustus 2024.

    Dengan menurunnya kapasitas produksi, lanjut Bhima, maka perusahaan akan menekan kebutuhan tenaga kerja.

    "Ada risiko yaitu menyempitnya lapangan kerja dan mendorong angkatan kerja baru sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal," ujar Bhima.

    Untuk mencegah efek rembetan itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyarankan pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali wacana menaikkan tarif PPN. Menurut dia, dengan melihat kondisi perekonomian saat ini, pemerintah perlu menunda pelaksanaan aturan kenaikan tarif PPN.

    Apabila PPN tetap dinaikkan, maka pemerintah harus menyiapkan insentif kepada masyarakat. Menurutnya, hal itu diperlukan agar daya beli masyarakat tetap terjaga, walaupun harga barang dan jasa mengalami kenaikan.

    Apalagi, kata Yusuf, belanja perlindungan sosial (perlinsos) yang disiapkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 dirancang untuk merespons kondisi krisis di dalam negeri. Kondisi krisis itu pun bisa didefinisikan ketika terjadi permasalahan di level mikro, seperti pelemahan daya beli masyarakat.

    "Jadi ketika indikator yang lebih mikro ini terlihat mengarah terhadap pelemahan daya beli maka respons APBN perlu segera mengantisipasi dengan memberikan insentif tertentu yang sudah dirancang atau disediakan pemerintah dalam kebijakan APBN di tahun berjalan," terang Yusuf. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.