KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan (Menkeu( Sri Mulyani Indrawati merancang penarikan utang baru sebesar Rp775,9 triliun untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pertama di bawah pemerintahan Prabowo Subianto pada tahun 2025.
Rencana ini tercantum dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025 yang dirilis setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan Pidato Kenegaraan RAPBN 2025 dan Nota Keuangan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2024.
RAPBN 2025 dirancang dengan defisit sebesar 2,53 persen, setara dengan Rp616,2 triliun, lebih besar dibandingkan target tahun ini sebesar 2,29 persen atau Rp522,8 triliun.
“Defisit ini akan terus dijaga pada level yang relatif aman, meskipun kadang bergerak karena situasi ekonomi yang dinamis. Pembiayaan akan dikelola dengan hati-hati, inovatif, dan produktif,” ujar Sri Mulyani yang dikutip Sabtu, 17 Agustus 2024.
Dalam dokumen tersebut, Sri Mulyani merencanakan pembiayaan utang tahun depan sebesar Rp775,9 triliun, meningkat Rp222,8 triliun dari proyeksi pembiayaan utang tahun ini yang sebesar Rp553,1 triliun.
Pengelolaan utang tidak hanya bertujuan untuk menutupi kebutuhan APBN, tetapi juga untuk mendukung pengembangan pasar keuangan domestik.
Pemerintah memandang utang sebagai instrumen penting, tidak hanya untuk menutupi kekurangan anggaran tetapi juga sebagai alat kebijakan untuk menciptakan pasar keuangan domestik yang lebih dalam, aktif, likuid, inklusif, dan efisien.
Dalam pengelolaan utang, pemerintah menegaskan komitmennya untuk terus mengedepankan prinsip kehati-hatian, menjaga keseimbangan fiskal, dan mengelola risiko fiskal secara cermat.
“Batasan rasio utang 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan defisit APBN 3 persen terhadap PDB adalah cerminan dari disiplin fiskal yang diterapkan untuk memastikan utang pemerintah tetap aman dan terkendali,” ujar Sri Mulyani dalam dokumen tersebut.
Dalam RAPBN tahun anggaran 2025, pembiayaan utang sebesar Rp775,9 triliun akan dipenuhi melalui penarikan pinjaman sebesar Rp133,3 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp642,6 triliun.
Pinjaman pemerintah ini terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp5,2 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp128,1 triliun. Instrumen pinjaman akan lebih banyak dimanfaatkan untuk mendukung proyek-proyek prioritas pemerintah. Sementara itu, pembiayaan utang yang berasal dari SBN akan dipenuhi melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara.
Empat Ancaman Besar Mengintai APBN 2025
Setidaknya ada empat ancaman yang akan dihadapi Prabowo Subianto. Pertama, suku bunga global yang tetap tinggi menjadi ancaman serius. Inflasi jasa yang terus bertahan di level tinggi membuat bank sentral dunia, terutama The Fed (bank sentral Amerika Serikat), sulit menurunkan suku bunga.
Kondisi ini dapat memicu aliran modal keluar dari Indonesia dan menekan rupiah.
Ancaman kedua yaitu, tensi geopolitik yang terus memanas, tak hanya menciptakan ketidakpastian global, tetapi juga membebani rantai pasok internasional.
Ia menyebutkan, meningkatnya eskalasi konflik antara Amerika Serikat (AS) dengan China membuat proteksionisme dan fragmentasi global meningkat.
Ditambah lagi perang yang berkepanjangan antara Rusia dengan Ukraina, serta konflik yang memburuk di Timur Tengah, semuanya bisa mengganggu perdagangan dan investasi global.
Ancaman ketiga yaitu, prospek pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan akan tetap lemah menjadi bayang-bayang gelap bagi perekonomian Indonesia. Ditambah lagi potensi resesi dan tekanan fiskal di AS, perlambatan ekonomi China, serta pemulihan yang masih rapuh di Eropa akibat dampak COVID-19, akan menekan permintaan global dan berdampak negatif pada ekspor Indonesia.
Ancaman terakhir, gejolak di pasar keuangan internasional semakin memperburuk situasi.
Volatilitas nilai tukar dan imbal hasil surat utang negara yang tinggi, asset repricing, serta arus modal internasional yang tidak menentu, bisa membuat pasar keuangan semakin rentan.
Berdasarkan pemaparan di atas, Menkeu Sri Mulyani menekankan pentingnya kebijakan yang fokus pada daya beli masyarakat dan penciptaan lapangan kerja sebagai upaya meredam dampak dari risiko-risiko ini.
“Oleh karena itu, kebijakan seperti daya beli dan penciptaan lapangan kerja menjadi sangat penting, termasuk dalam hal itu kebijakan di bidang kesehatan dan pendidikan,” tegasnya.
Defisit APBN 2025 Rp616 Triliun
Pemerintah memproyeksikan anggaran belanja negara pada tahun 2025 mencapai Rp3.613,1 triliun, yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah.
Anggaran belanja ini merupakan target yang lebih tinggi dibandingkan APBN 2024 yang sebesar Rp3.325,1 triliun.
“Gambaran besar arsitektur RAPBN 2025 adalah sebagai berikut: belanja negara direncanakan sebesar Rp3.613,1 triliun,” kata Jokowi saat membacakan Nota Keuangan dan Penyampaian Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2024.
Jokowi menjelaskan bahwa belanja negara ini akan dibagi menjadi belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.693,2 triliun dan transfer ke daerah senilai Rp919,9 triliun.
Dari belanja pemerintah pusat, sektor pendidikan akan mendapat alokasi terbesar sebesar Rp722,6 triliun, diikuti oleh anggaran perlindungan sosial sebesar Rp504,7 triliun, dan sektor kesehatan dengan alokasi Rp197,8 triliun.
Selain itu, anggaran untuk ketahanan pangan diproyeksikan sebesar Rp124,4 triliun, dan pembangunan infrastruktur direncanakan mendapat alokasi Rp400,3 triliun.
“Belanja akan dijaga agar tetap efisien dan produktif, sehingga tidak hanya mendukung program prioritas pemerintah, tetapi juga menghasilkan multiplier effect yang kuat terhadap perekonomian,” tambah Jokowi.
Di sisi lain, Jokowi memaparkan bahwa pendapatan negara pada 2025 direncanakan sebesar Rp2.996,9 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp505,4 triliun. Dengan demikian, pemerintah memproyeksikan defisit APBN 2025 sebesar 2,53 persen dari produk domestik bruto (PDB), atau setara dengan Rp616,2 triliun. (*)