KABARBURSA.COM - Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Nurul Ichwan, menilai bahwa tantangan pertumbuhan sektor retail Indonesia ke depan lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti isu geopolitik global, daripada penurunan demand yang signifikan.
Ichwan menjelaskan bahwa meskipun permintaan terhadap produk retail tidak berkurang secara keseluruhan, banyak sektor retail yang terpengaruh oleh isu-isu global, khususnya yang berkaitan dengan konflik di Timur Tengah, seperti Palestina dan Gaza. Menurutnya, meskipun beberapa perusahaan retail telah menyatakan tidak terafiliasi dengan isu-isu tersebut, persepsi publik yang terlanjur terpengaruh mempengaruhi kinerja mereka di pasar.
“Retail yang terhubung dengan isu geopolitik global ini mengalami penurunan omzet hingga 30 persen. Jika hal ini terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama, bisa mempengaruhi strategi bisnis mereka,” ujar Ichwan, kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Rabu, 1 Januari 2025.
Ichwan menambahkan, meskipun market share perusahaan-perusahaan ini menyusut, mereka tidak bisa tetap ekspansif seperti sebelumnya. Ini menimbulkan pertanyaan apakah permintaan untuk produk tersebut secara keseluruhan memang menyusut, atau justru beralih ke produk alternatif dari kompetitor.
“Penting untuk dicermati apakah demand secara agregat menurun, atau apakah ada pergeseran preferensi pasar. Mungkin konsumen yang sebelumnya membeli produk dari retailer yang terdampak isu ini beralih ke produk lain, seperti produk dari segmen pasar yang lebih tradisional atau substitusi," tambahnya.
Selain faktor geopolitik, Ichwan juga menyoroti dampak dari kenaikan harga bahan-bahan produk yang dapat memengaruhi daya beli masyarakat. Kenaikan harga ini berpotensi mengurangi jumlah produk yang bisa dibeli oleh konsumen, yang pada gilirannya akan berdampak pada sektor retail.
“Misalnya, jika sebelumnya konsumen bisa membeli lima produk dengan uang yang sama, sekarang mereka hanya bisa membeli tiga produk karena harga yang lebih tinggi. Ini tentu berpengaruh pada daya beli masyarakat,” ujar Ichwan.
Namun, Ichwan juga mengingatkan bahwa perlu ada data yang lebih lengkap untuk memastikan apakah penurunan kinerja sektor retail disebabkan oleh isu geopolitik atau karena faktor lain seperti inflasi dan daya beli yang menurun.
“Saat ini, kita masih harus mencermati lebih dalam apakah sektor retail Indonesia menurun karena dampak langsung dari isu global, atau karena faktor ekonomi domestik seperti inflasi yang memengaruhi daya beli,” tutup Ichwan.
Pemerintah dan pelaku industri, menurut Ichwan, perlu memantau secara seksama perkembangan ini untuk merumuskan strategi yang tepat dalam menjaga pertumbuhan sektor retail dan mempertahankan daya beli masyarakat di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
PPN 12 Persen dan Retail
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) memperkirakan tantangan besar akan dihadapi pada tahun 2025. Hal ini disebabkan oleh daya beli masyarakat yang belum stabil hingga akhir 2024, masalah impor, serta kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja, menyatakan kondisi ini berdampak signifikan pada kinerja perusahaan. Meski pemerintah telah memberikan berbagai insentif, durasi pemberlakuannya dinilai terlalu singkat.
“Meskipun ada bantuan sosial itu kan hanya di Januari dan Februari, saya kira sangat kurang,” ujar Alphonzus kepada wartawan di Jakarta, Jumat 20 Desember 2024.
Menurut Alphonzus, insentif yang diberikan pemerintah pada kuartal pertama 2025 tidak akan memberikan dampak besar. Sebab, periode tersebut masih berada dalam suasana perayaan hari-hari besar seperti Tahun Baru dan Lebaran.
“Sebetulnya, Q1 sebenarnya tidak terlalu khawatir, karena Q1 kan ada tahun baru, ada Imlek, ada Ramadhan, dan Idulfitri. Justru yang harus diantisipasi adalah setelah Idulfitri,” jelasnya.
Alphonzus menambahkan, setelah Idulfitri, Indonesia biasanya memasuki masa low season. Karena hari raya besar tersebut berada di kuartal pertama, ia memperkirakan masa low season akan berlangsung lebih panjang dari biasanya.
“Tren di Indonesia selalu begitu, industri ritel setelah Idul Fitri pasti dia masuk ke low season. Tahun ini low season-nya dalam, tahun depan low season panjang. Jangan sampai panjang dan dalam,” tegas Alphonzus.
Ia juga berharap pemerintah dapat merancang kebijakan yang mendukung industri, terutama karena daya beli masyarakat yang belum pulih. Alphonzus mengungkapkan bahwa pihaknya sejak awal telah meminta pemerintah untuk menunda kenaikan PPN menjadi 12 persen guna menghindari dampak berkepanjangan dari low season.
“Kami dari awal kan sudah minta pemerintah untuk menunda ataupun membatalkan gitu ya. Karena tadi, itu yang menurut saya semacam Q1 tiga bulan aman lah, sembilan bulan nanti itu yang harus diantisipasi,”pungkasnya.
Pasti Berimbas Produk
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025 dipastikan menyasar sejumlah barang mewah. Namun, dampaknya juga memicu kekhawatiran di kalangan pengusaha ritel dan mitra usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Direktur Utama PT Sarinah (Persero), Fetty Kwartati, mengungkapkan bahwa banyak mitra UMKM menyampaikan keresahan mereka terkait potensi kenaikan PPN yang mungkin turut berimbas pada produk-produk mereka.
“Gimana nanti kalau UMKM juga misalnya kena PPN-nya naik? Itu sudah banyak di sampaikan mitra-mitra UMKM di sini,” ujar Fetty kepada wartawan di Jakarta, Jumat 20 Desember 2024.
Fetty, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum 1 Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), menegaskan bahwa kenaikan PPN 12 persen berpotensi memengaruhi kinerja ritel. Terlebih, daya beli di kuartal IV belum menunjukkan pemulihan penuh.
“Penambahan PPN biar bagaimana pun pasti akan pengaruh karena kan saat ini. Terutama di kuartal IV ini kan penjualan kita masih berjuang,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menilai bahwa kenaikan PPN ini akan memengaruhi kinerja perusahaan. Meski pemerintah memberikan berbagai insentif, durasi yang ditetapkan dinilai terlalu singkat.
Menurut Alphonzus, insentif pada kuartal I-2025 tidak akan memberikan dampak signifikan, mengingat periode tersebut masih dipenuhi perayaan besar seperti tahun baru dan lebaran.
“Sebetulnya, kuartal I sebenarnya tidak terlalu khawatir, karena kuartal I kan ada tahun baru, ada Imlek, ada Ramadhan, dan IdulFitri. Justru yang harus diantisipasi adalah setelah Idul Fitri,” jelasnya.
Ia menambahkan, setelah Idul Fitri, Indonesia cenderung memasuki masa low season. Dengan bergesernya perayaan besar ke kuartal I, Alphonzus memperingatkan bahwa periode low season akan berlangsung lebih panjang.
“Tren di Indonesia selalu begitu, industri ritel setelah Idul Fitri pasti dia masuk ke low season. Tahun ini low season-nya dalam, tahun depan low season panjang. Jangan sampai panjang dan dalam,” pungkasnya. (*)