KABARBURSA.COM – Direktur Utama PT Timah Tbk Restu Widiyantoro, mengungkap realita pahit yang tengah dihadapi perusahaannya. Dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI, ia menyatakan bahwa sebagian besar aktivitas operasional PT Timah saat ini tidak lagi sepenuhnya dikendalikan oleh perusahaan, melainkan telah dikuasai oleh praktik penambangan ilegal.
“Ini fakta yang harus kami sampaikan apa adanya. Sejak mencuatnya kasus Herve Mois dan kawan-kawan, operasional kami di lapangan praktis tidak lagi sepenuhnya di bawah kendali PT Timah,” tegas Restu Restu dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 14 Mei 2025.
Pada rapat bersama tersebut, Restu menyajikan sejumlah foto lapangan yang menggambarkan masifnya aktivitas penambangan ilegal, terutama di area-area konsesi PT Timah. Ia mengaku, meskipun perusahaan telah berulang kali melakukan penertiban dan penenggelaman ponton ilegal, aktivitas tambang liar justru terus bertambah.
“Sudah ratusan kali kami lakukan penertiban dan penenggelaman kapal-kapal ilegal, tapi yang terjadi bukan berkurang, malah bertambah. Ini jadi masalah serius,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti fakta bahwa sebagian besar pelaku tambang ilegal justru berasal dari masyarakat lokal yang sebelumnya juga menjadi mitra kerja PT Timah.
“Mereka ini dulunya bekerja bersama kami, tapi secara status sekarang dianggap ilegal. Kita dihadapkan pada dilema,” jelasnya.
Restu menyebut bahwa pendekatan baru melalui skema koperasi bisa menjadi solusi agar masyarakat tetap diberdayakan, namun dalam koridor hukum dan regulasi.
Terganjal Tumpang Tindih dan Regulasi: TINS Minta Dukungan
Selain tambang ilegal, PT Timah juga menghadapi kendala tumpang tindih perizinan di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP). Restu mencatat bahwa sekitar 31 persen wilayah IUP PT Timah tidak bisa dioperasikan secara maksimal karena berbenturan dengan kawasan hutan produksi dan infrastruktur lain seperti kabel bawah laut.
“Sebagian wilayah IUP kami ada yang masuk ke dalam hutan produksi. Ini menyulitkan karena operasional harus sejalan dengan regulasi kehutanan,” paparnya.
Tidak hanya itu, sejumlah kabel bawah laut yang bukan milik PT Timah juga menjadi kendala operasional. “Kami harus melakukan koordinasi intensif untuk memindahkan kabel-kabel tersebut, dan itu tidak selalu memungkinkan,” ujarnya.
Tidak hanya itu, menghadapi berbagai persoalan struktural dan legal tersebut, Restu meminta dukungan penuh dari legislatif dan kementerian terkait untuk membenahi regulasi sektor pertambangan timah.
“Permasalahan ini tidak bisa diselesaikan oleh PT Timah sendirian. Kami butuh backup dari DPR dan kementerian teknis untuk perbaikan regulasi, khususnya dalam pengelolaan tambang rakyat dan kawasan tumpang tindih,” tegasnya.
Menurut Restu, solusi jangka panjang bukan hanya soal penertiban, tapi bagaimana menciptakan model tata kelola baru yang inklusif bagi masyarakat, legal bagi negara, dan efisien bagi BUMN.
“Kami siap bertransformasi, tapi negara harus hadir dengan regulasi yang tepat,” pungkasnya.
Laba Baru Pulih
Permintaan PT Timah Tbk ini sepertinya untuk menjaga ritme kinerja keuangan yang memang baru saja pulih. Diketahui, setelah melalui tekanan berat sepanjang 2023, PT Timah Tbk (TINS) akhirnya mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan kinerja pada 2024. Dalam tiga tahun terakhir, pergerakan pendapatan dan laba perusahaan tambang milik negara ini tampak cukup dinamis, dengan fase kejayaan, tekanan, hingga perlahan bangkit kembali.
Berdasarkan data keuangan kuartalan sejak awal 2022, pendapatan TINS sempat menembus angka tertinggi sebesar Rp4,39 triliun pada kuartal pertama 2022. Namun setelah itu, tren penjualan mengalami penurunan yang cukup tajam, dan pada kuartal keempat 2023 tercatat hanya sekitar Rp2,01 triliun. Penurunan tersebut juga tercermin pada sisi profitabilitas.
Laba bersih TINS bahkan sempat mengalami defisit pada akhir 2022 dan sepanjang 2023. Perusahaan mencatatkan rugi bersih sebesar Rp362 miliar pada kuartal IV 2023. Angka ini mencerminkan tekanan berat di tengah kondisi pasar global yang tak bersahabat, serta tingginya beban biaya produksi dan logistik.
Namun memasuki 2024, arah kinerja mulai berbalik. TINS berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp30 miliar pada kuartal pertama, lalu melonjak menjadi Rp405 miliar di kuartal kedua, dan berlanjut naik ke Rp474 miliar pada kuartal ketiga. Meski sedikit menurun menjadi Rp278 miliar di kuartal terakhir, capaian ini tetap menunjukkan bahwa perusahaan telah keluar dari zona merah.
Dari sisi pendapatan, tren juga terlihat membaik. Setelah menyentuh titik rendah pada kuartal I 2023 di kisaran Rp2 triliun, angka ini kembali terdongkrak hingga mencapai Rp3,15 triliun pada kuartal II 2024. Artinya, meskipun kondisi global belum sepenuhnya pulih, TINS berhasil menjaga momentum pertumbuhan dan efisiensi operasional.
Meski demikian, tantangan tetap membayangi. Fluktuasi harga timah global, tingginya beban produksi, serta potensi gangguan logistik masih menjadi faktor yang perlu diantisipasi. Kinerja yang lebih solid ke depan akan sangat bergantung pada strategi efisiensi dan penguatan tata kelola operasional perusahaan.
Untuk saat ini, tren positif yang mulai terlihat pada 2024 menjadi modal penting bagi TINS dalam memulihkan kepercayaan pasar dan memperkuat posisi keuangannya pasca tekanan berat dua tahun terakhir. Jika kinerja ini terus konsisten, bukan tidak mungkin TINS akan kembali menjadi salah satu motor penggerak sektor pertambangan di Bursa Efek Indonesia.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.